PENGANTAR

        Hari ini, tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh Internasional yang dijadikan hari libur nasional oleh Pemerintah kita. Bagi para praktisi manajemen sumber daya manusia atau parktisi manajemen bidang lainnya yang bekerja di sektor usaha yang topik hubungan industrial dan hubungan perburuhan sudah terbiasa ditelinga atau malah menjadi pekerjaan sehari-hari. Tapi bagi mereka yang baru terjun ke bidang kerja ini sejak awal tahun 2000an kemungkinan besar tidak tahu bagaimana riwayat perkembangan organisasi pekerja termasuk tatanan hubungan industrial di Indonesia. Tulisan ini akan menceriterakan tentang hal tersebut berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan juga dari referensi yang relevan. Mudah mudahan bermanfaat, khususnya bagai para pemula dalam bidang ini.

Arti Hubungan Industrial dan Hubungan Perburuhan

Dua istilah ini sejak lama selalu digunakan secara rancu baik oleh praktisi manajemen sumberdaya manusia maupun oleh pejabat pemerintah khususnya para pejabat di departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Uniknya adalah bahwa istilah dan topik hubungan industrial atau “Industrial Relations” sebenarnya sudah tidak pernah dibahas lagi oleh para penulis buku Amerika. Dalam buku-buku mereka seperti Ivancevich, Bernardine & Russel dan Dessler justru membahas secara khusus topik “Labor Relations” atau hubungan perburuhan. Departemen Tenaga Kerja RI, para pengusaha yang tergabung dalam APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) / KADIN dan Serikat Pekerja konsisten menggunakan istilah Hubungan Industrial apalagi ketika masa Orde Baru yang sangat konsisten mempromosikan “Hubungan Industrial” (berbasis) Panca Sila di perusahaan-perusahaan.

Tetapi hampir semua orang yang terlibat dalam “hubungan industrial” mengetahui bahwa istilah tersebut digunakan untuk mengganti istilah “perburuhan” yang didalamnya mengandung kata “buruh” yang banyak digunakan oleh organisasi buruh “kiri” pada masa orde lama. Akhirnya Lembaga Tripartit Nasional khususnya Departemen Tenaga Kerja berusaha keras memberikan definisi yang menunjukan perbedaan antara keduanya. Menurut definisi mereka, “hubungan industrial” adalah hubungan-hubungan yang terjadi dalam lingkungan industri yang melibatkan tiga unsur pelaku yaitu; serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah”. Sedangkan hubungan perburuhan didefinisikan sebagai; “hubungan-hubungan dalam lingkungan perusahaan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak yaitu pengusaha dan serikat pekerja”. Pembedaan antara kedua konsep tersebut mencerminkan keinginan pemerintah untuk memposisikan diri sebagai salah satu pelaku hubungan industrial. Keinginan tersebut adalah refleksi dari “pendekatan keamanan” yang cukup kuat dalam menangani hubungan perburuhan.

Akhirnya, sesuatu yang unik juga ditemukan di Indonesia mengenai “hubungan industrial” ini. Pertama, didalam banyak perusahaan masih tetap digunakan istilah “Hubungan Industrial” dan ada pejabat yang disebut Manajer Hubungan Industrial. Pembaca akan menemukan “Uraian Jabatan” Manajer Hubungan Industrial pada akhir dari Bagian 187 nanti. Kemudian, pada banyak perusahaan yang mayoritas atau hampir semua karyawannya termasuk dalam kelompok “kerah putih” atau yang bergerak pada sektor industri jasa menggunakan istilah “Employee Relations” (Hubungan Kekaryawanan) untuk menggantikan istilah “Hubungan Perburuhan”. Alasannya juga jelas karena masih adanya perasaan “risih” bila menggunakan istilah “perburuhan”. Untuk menghindarkan kerancuan maka penulis menganggap bahwa kedua istilah tersebut pada dasarnya mempunyai arti yang sama.

Riwayat Pergerakan Perburuhan Di Indonesia

Pergerakan Perburuhan di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak lama yaitu sejak Indonesia masih dibawah penjajahan Belanda. Tentu saja gerakan tersebut juga merupakan imbasan dari apa yang terjadi di Eropa dan diperkenalkan oleh orang-orang Belanda yang waktu itu bekerja di Indonesia. Organisasi buruh pertama adalah Netherlands Onderwerpen Genootschaft sebuah organisasi yang mengorganisir guru-guru sekolah Belanda yang berdiri pada tahun 1879. Baru pada tahun 1908 berdiri sebuah organisasi buruh untuk pekerja Indonesia dalam lingkungan perusahaan yaitu Vereneging van Spoor en Trem Personeel. Serikat Buruh-nya para pekerja Kereta Api dan Trem. Dimasa pendudukan Jepang gerakan perburuhan di Indonesia terhenti karena dilarang oleh pemerintahan pendudukan Jepang.

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan serikat pekerja / organisasi buruh mendapat kesempatan kembali untuk berkembang. Hampir semua organisasi buruh pada saat itu bernaung atau menjadi anak organisasi (‘underbouw”) partai politik yang waktu itu jumlahnya juga puluhan. Organisasi buruh yang menonjol pada waktu itu antara lain adalah Kesatuan Buruh Marhaen (KBM)  yang bernaung di bawah PNI, sentral Organisasi Buruh eluruh Indonesia (SOBSI) “underbouw” dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SARBUMUSI yang bernaung di bawah NU. Atas desakan organisasi buruh tersebut pemerintah Indonesia membuat sejumlah Undang-undang yang mengatur standar perburuhan dan hak-hak azazi manusia di Indonesia antara lain :

  1. UU NO.2 tahun 1948 (Undang-undang Kerja)
  2. UU No.33/1947 tentang Kecelakaan Kerja
  3. UU No.23/1948 tentang Pengawasan Perburuhan dan banyak lagi

Pembaca dapat melihat nama dan nomor Undang-undang peraturan, Peraturan Pemerintah dan peraturan lain yang penting untuk diketahui isinya dalam Daftar yang khusus dibuat dan dimuat dibuku ini.

Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru, keaneka ragaman organisasi buruh berakhir denga berakhirnya juga keaneka ragaman dalam partai politik. Dalam ruang lingkup hubungan perburuhan ini pemerintah bertindak lebih ekstrim lagi karena akhirnya hanya mengizinkan satu organisasi buruh untuk berdiri padahal dalam ruang lingkup politik pada saat itu diijinkan ada 3 (tiga) partai politik. Pada awalnya langkah yang ditempuh pemerintah adalah mensponsori terbentuknya Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI) pada tahun 1969 beranggotakan 22 serikat pekerja sisa-sisa sebelum era Orde Baru. Selanjutnya, MPBI digiring oleh pemerintah untuk membentuk wadah tunggal untuk gerakan buruh dengan merubah diri menjadi Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang akhirnya menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

Pemerintah RI mendapat banyak kritik baik dari dalam atau dari luar negeri (yang dilancarkan dalam sidang-sidang tahunan Organisasi Buruh International / ILO). Sehubungan dengan itu maka pemerintah meminta SPSI merubah diri mereka untuk kembali menjadi “federasi” yang merupakan organisasi induk bagi SPSI Sektor Industri sehingga seolah-olah di Indonesia jumlah serikat pekerja banyak. Selain daripada itu, pemerintah juga mendorong berdirinya Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan (SPTP) yang berstatus perhimpunan pekerja internal perusahaan yang tidak perlu berafiliasi ke SPSI sektor manapun. Pada masa Orde Baru tersebut gerakan serikat pekerja tidak banyak menghasilkan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah kecuali UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mendorong diperkuatnya posisi PT. JAMSOSTEK yang sebetulnya lebih untuk kepentingan pemerintah dalam menarik dana dari Perusahaan. Sebuah Peraturan Pemerintah yang cukup penting dikeluarkan pada waktu itu adalah PP.No.8/1981 tentang Perlindungan Upah.

Hubungan Perburuhan Di Indonesia DALAM ERA REFORMASI

Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada bulan Mei tahun 1998 maka pemerintah baru tidak dapat lagi mempertahankan FSPSI sebagai organisasi tunggal untuk gerakan buruh. Hanya beberapa bulan setelah turunnya Presiden Soeharto telah terjadi perubahan yang sangat besar dalam pola dan arah perkembangan Hubungan Industrial dan Hubungan Perburuhan di Indonesia. Pada bulan Mei itu juga pemerintah dipaksa untuk meratifikasi kembali Konvensi ILO No.87/1948 melalui Keputusan Presiden No.8/1998. Pada saat yang bersamaan Menteri Tenaga Kerja juga mengeluarkan PERMENAKER No.5/1998 yang membuka kesempatan untuk serikat pekerja / organisasi buruh yang baru berdiri untuk mendaftarkan diri agar eksistensinya dianggap legal.

Akhirnya, pada tahun 2000 pemerintah menerbitkan UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja yang merupakan penjabaran Konvensi ILO No.87/1948. Sejak keluarnya UU No.21/2000 maka terjadi perubahan drastis dalam pola dan tatanan hubungan industrial / hubungan perburuhan di Indonesia. Yang dapat dilihat dengan jelas dan dirasakan adalah sebuah fenomena dan keadaan yang mirip dengan yang terjadi pada masa “Orde Lama” yaitu jumlah Serikat Pekerja / Organisasi Buruh yang sangat besar. Sejak PEREMENAKER No.5/1998 diberlakukan sampai bulan Juli 2001 sudah tercatat ada 40 organisasi buruh / serikat pekerja baru. Bila ditambah dengan SPSI Sektoral yang bernaung dibawah FSPSI maka jumlahnya sudah lebih dari 60.

Sedangkan berdasarkan data dari Kementrian Ketenagakerjaan, pada tahun 2014 tercatat ada 6 Konfederasi, 100 Federasi dan 6808 Serikat Pekerja tingkat perusahaan (diantaranya banyak yang tidak berafiliasi dengan Federasi manapun tapi bertindak mandiri, misalnya Serikat Pekerja semua BUMN). Jumlah itu meliputi 1.678.364 orang anggota Serikat Pekerja. Tetapi pada tahun 2016 hanya diperoleh nama 63 buah Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja yang daftarnya tersedia di Web Kemnaker atau Web I.L.O.

Penyebab mengapa sampai sedemikian besar jumlah organisasi buruh baru yang didirikan dan terdaftar menurut para pakar dan pengamat adalah sebagai berikut :

  1. Merupakan bagian dari euphoria kebebasan berpolitik yang jalannya dibuka oleh pemerintah melalui ratifikasi Konvensi ILO No.87/1948 dan UU No.21/2000. Undang-undang ini sangat mempermudah pendirian sebuah serikat pekerja / organisasi buruh baru dalam perusahaan dengan mensyaratkan jumlah 10 (sepuluh) orang pekerja sudah dapat mendirikan serikat pekerja / organisasi buruh. Bayangkan saja bila dalam sebuah perusahaan yang jumlah pekerjanya 1.000 dapat berdiri sebuah organisasi buruh yang diprakarsai / didukung oleh hanya 1% dari jumlah seluruhnya.
  2. Pendirian serikat pekerja / organisasi buruh baru merupakan refleksi dari protes terhadap pengekangan dan monopoli kegiatan perburuhan selama ini.
  3. Pekerja merupakan basis massa yang bila kondisi ekonomi membaik jumlahnya akan semakin besar dan sehingga dapat dijadikan instrumen politik dan kekuatan penekan yang cukup besar.
  4. Mendirikan organisasi buruh / serikat pekerja secara resmi adalah merupakan cara terbaik untuk memperjuangkan hak-hak buruh / pekerja secara efektif.
  5. Beberapa organisasi buruh / serikat pekerja berdiri dengan dilatar belakangi pertimbangan moral dan idealisme yang tinggi untuk merobah pola perilaku dan sikap sebagian pengusaha yang masih memperlakukan buruh semata-mata sebagai alat produksi tanpa memikirkan kesejahteraan mereka.

Implikasi Dari Pola dan Tatanan Multi Organisasi Pekerja.

Pola multi organisasi buruh yang sekarang berkembang mempunyai sejumlah konsekwensi dan berimplikasi cukup berat pada manajemen sumberdaya manusia dan khususnya penanganan hubungan perburuhan didalam perusahaan. Manajemen dan manajer sumberdaya manusia akan lebih disibukkan dan dipusingkan dengan masalah ini. Bila tadinya mereka dengan mudah menghadapi 1 (satu) atau malah nol serikat pekerja tiba-tiba sekarang harus menghadapi 2 atau lebih serikat pekerja yang satu sama lain juga belum tentu sepakat dalam segala hal. Implikasi yang dicatat adalah dibawah ini :

  1. Sesuai dengan ketentuan UU No.21/2000 semua organisasi buruh yang berdiri secara resmi dan terdaftar tidak boleh dihalang-halangi dan harus dibiarkan. Walaupun tidak ditetapkan oleh peraturan pemerintah, perusahaan harus memberikan bantuan berupa fasilitas seperti ruang kantor, meja kerja dan alat kantor dan telekomunikasi kepada tiap serikat pekerja.
  2. Bila jumlahnya lebih dari satu dapat dipastikan akan terjadi persaingan keras diantara serikat pekerja / organisasi buruh untuk meluaskan pengaruh masing-masing dan memperoleh pendukung. Apalagi bila organisasi buruh baru tersebut menjadi “onderbouw” partai politik. Untuk memperluas pengaruh tiap organisasi akan berusaha menjadi populer dan menjadi “pahlawan” dengan berbagai usul atau tindakan yang ditujukan kepada perusahaan !
  3. Penetapan segala kebijakan dalam bidang sumber daya manusia yang harus disepakati serikat pekerja termasuk Kesepakatan Kerja Bersama yang merupakan salah satu instrumen utama dalam Hubungan Industrial Panca Sila sekarang harus dimusyawarahkan dengan lebih dari satu serikat pekerja. Diantara serikat pekerja / organisasi buruh sendiri harus terjadi kesepakatan lebih dahulu untuk memiliki sikap yang sama. Hal ini sukar sekali untuk terjadi karena adanya persaingan antar mereka.
  4. Permintaan ijin dari pada pengurus serikat pekerja / organisasi buruh untuk menghadiri acara-acara dengan induk organisasinya akan meningkat jumlahnya dan dapat melibatkan belasan orang per bulan-nya. Hal ini dapat menjadi gangguan bagi kelancaran pelaksanaan pekerjaan dan menurunkan produktivitas.
  5. Tuntutan-tuntutan kenaikan kesejahteraan yang seringkali tidak rasional padahal bukan komponen yang “normatif” yang seringkali didasari oleh pertama “ephoria”, ingin menonjol dan mencari pengaruh atau kekurangan pengetahuan anggota pengurus serikat pekerja / organisasi buruh.

MENYIKAPI TATANAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BARU

Untuk menghadapi pola dan tatanan hubungan industrial baru di Indonesia, perusahaan yang masih “bebas” dari serikat pekerja / organisasi buruh, atau yang masih memiliki satu, maupun yang sudah memiliki lebih dari satu, harus selalu mengambil tindakan-tindakan dibawah ini untuk menciptakan dan memelihara suasana kerja yang kondusif dan produktif didalam organisasinya.

  1. Selalu meninjau ulang (mereview) dan mengaudit seluruh strategi, kebijakan dan sistem-sistem manajemen sumberdaya manusia mereka untuk mendeteksi segala kekurangan atau penyesuaian yang harus dilakukan agar lebih tepat untuk situasi, kondisi dan tatanan baru.
  2. Meninjau ulang, menegaskan dan menyepakati hak-hak dan kewajiban semua pelaku dalam hubungan industrial / perburuhan termasuk hak-hak dan kewajiban perusahaan (yang terpenting adalah apa yang disebut dengan “hak prerogative” manajemen dalam mengelola perusahaan). Penegasan hak dan kewajiban ini dibuat secara tertulis dalam bentuk Peraturan Perusahaan (bila belum ada SP / ORBU) atau berbentuk Kesepakatan Kerja Bersama.
  3. Mengembangkan program Manajemen Konflik dan Diteksi Dini untuk mengidentifikasi potensi konflik dan menangani setiap konflik yang muncul dengan tepat dan cepat. Dalam program atau sistem itu harus termasuk pula sebuah prosedur untuk menyampaikan keluhan pekerja/karyawan yang harus disosialisasikan kepada seluruh jajaran dalam perusahaan.
  4. Khusus untuk para praktisi MSDM yang masih pemula atau baru, adalah perlu berusaha memahami isi semua Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja yang mengatur semua aspek legal dari manajemen sumber daya manusia. Selain itu, bagi yang belum menjadi praktisi, disarankan untuk mulai belajar melakukan interaksi dan negosiasi terutama dari aspek psikologi-nya.

 

Jakarta 1 Mei 2017

Achmad S. Ruky