Beberapa tahun lalu saya diminta bantuan oleh Komisi Kepolisian Nasional untuk menjadi penasihat bagi sebuah team kecil yang mereka bentuk untuk meneliti “rekam jejak” beberapa perwira tinggi yang mereka akan usulkan kepada Presiden sebagai Bakal Calon Kapolri. Istilah “rekam jejak” memang sudah mulai populer dan sering digunakan di Indonesia bersamaan dengan munculnya istilah “uji kepatutan dan kelayakan” (Fit and Proper Test). Tetapi karena saya tidak yakin bahwa semua yang sering menyebut dan menggunakan istilah “rekam jejak” itu memiliki pemahaman yang sama tentang arti dan lingkupnya. Oleh karena itu maka hal pertama yang saya minta adalah agar semua anggota team dan anggota Kompolnas yang bertanggung jawab atas tugas itu menyepakati dulu arti dan lingkup dari istilah “rekam jejak” yang menjadi obyek penugasan itu. Dengan demikian maka kami akan membicarakan dan memikirkan tentang hal yang sama.
Sudah bisa dipastikan bahwa istilah rekam jejak adalah sebuah peng-“Indonesiaan” dari istilah bahasa Ingeris “Track Record”. Arti/definisi dari “track record” sendiri dijelaskan oleh sebuah ensiklopedia sebagai:
“A sum of recognized accomplishments” = “sejumlah atau sekumpulan capaian atau prestasi yang diakui atau bisa dikenali”. Jadi, “track record” sebenarnya adalah “sebuah catatan berisi kumpulan dari capaian nyata (real performance)” yang menggambarkan prestasi seorang pejabat selama karirnya.
Penelitian atas “track record” biasa dilakukan oleh para praktisi manajemen sumberdaya manusia di “dunia barat” saat memilih kandidat (calon) pengisi jabatan jabatan yang cukup senior, baik terhadap calon yang berasal dari “luar” maupun berasal dari “dalam”. Istilah tersebut juga kerap digunakan oleh para petugas “recruitment” termasuk para konsultan dan “pembajak” tenaga eksekutif.
Bila sebuah perusahaan ingin memastikan apakah seorang pelamar untuk jabatan senior benar-benar bisa dipertimbangkan mereka akan menyelidiki “track record” dari pelamar tersebut.
Yang mereka selidiki bukan hanya “catatan” tentang nama jabatan-jabatan yang pernah diduduki dan dari kapan sampai kapan mendudukinya tetapi juga bukti tentang capaian nyata (real performance) yang sudah dicapai oleh pelamar tersebut sampai saat ini. Para “recruiter” tersebut akan mengecek kebenaran bukti bukti tersebut dengan berbagai cara.
Walaupun penelitian rekam jejak biasanya di fokuskan pada “output yaitu prestasi atau capaian kinerja tetapi belasan tahun terakhir ini, penelitiannya juga dilakukan terhadap “process” yaitu tentang bagaimana cara kandidat itu mencapai prestasi mereka. Penelitian tersebut juga dilengkapi dengan meneliti “input” yaitu banyaknya dan kedalaman “modal” (. (“Hard & Soft Competencies”) yang telah dimiliki oleh calon calon pengisi sebuah jabatan. Penelitian terhadap aspek aspek “proses” dan “input” dari “Rekam Jejak” biasanys dibantu dengan berbagai “alat” atau “metode” dan “alat” yang utama adalah yang dikenal sebagai “assesment center”.
Biasanya penelitian “rekam jejak” memang dilatukan untuk para kandidat yang yang sudah pada posisi yang sangat senior, misalnya sudah menduduki jabatan manajemen puncak. Adalah tidak tepat bila mereka diminta mengikuti seleksi dengan metode assesment center. Saya ingat, pada awal tahun 1990, saat saya Direktur SDM sebuah perusahaan multi nasional, seorang teman baik yang pengajar di sebuah program MBA/MM swasta di Jakarta meminta bantuan saya untuk membantu dengan memberi kuliah MSDM. Saya semula menyatakan bersedia membantunya tapi beberapa hari kemudian staf recruiter mereka menelpun saya menyakan kapan saya ada waktu untuk menguti test dan assesment center. Saya mohon maaf dan saya katakan bahwa saya tidak punya waktu untuk menjalani itu dan saya monta agar nama saya coret saja. Sejak itu mereka tidak pernah menghubungi saya lagi.
Untuk para kandidat senior tersebut, bila “output” yang dicapainya selama ini telah diketahui selalui mencapai atau bahkan melebihi standar dan target yang ditetapkan maka biasanya bisa diasumsikan bahwa calon tersebut memang memiliki “modal” kompetensi yang cukup dan telah “melaksanakan” tugas-tugasnya dengan “proses” yang tepat. Artinya, ia bisa dianggap telah biasa menerapkan “gaya kepemimpinan” yang tepat untuk “situasi” yang berbeda.
Tetapi, bagian yang terpenting dalam dalam proses penelitian “rekam jejak” untuk pengisi jabatan pimpinan senior apalagi pimpinan puncak perusahaan atau institusi adalah catatan tentang integritas mereka. Yang akan dipilih tentunya yang dianggap paling “bersih”. Tetapi, peneltian tentang aspek ini cukup sulit dilakukan dan bersifat sensitif. Kembali ke bagian awal dari tulisan ini tentang penugasan dari Kompolnas, akhirnya disepakati bahwa team yang dibentuk tidak akan masuk ke area tersebut. Itu harus dilakukan oleh Kompolnas sendiri misalnya dengan cara meminta bantuan kepada KPK dan PPATK.
Lalu bagaimana bila yang direkrut oleh sebuah organisasi adalah calon karyawan yang sama sekali belum pernah bekerja misalnya para lulusan Perguruan Tinggi yang direkrut sebagai Management Trainee atau kalau di sektor perbankan disebut “Officer Development Program”? Untuk mereka tentunya tidak bisa dilakukan penelitian tentang prestasi kerja mereka. Hampir semuanya pasti belum pernah bekerja. Yang hanya bisa dilakukan adalah penikaian terhadap tingkat dan kedalaman soft skills dan potensi mereka melalui proses “assesment”. Itu biasanya cukup.
Sebagai penutup, saya meyarankan pada mereka yang sedang berfikir untuk pindah ke perusahaan lain agar selain selalu memutakhirkan CV mereka sebaiknya juga berusaha mengumpulkan semua bukti terkait capaian mereka dalam pekerjaan (jabatan) sekarang dan jabatan-jabatan sebelumnya. Catatan dan bukti bukti itu, dalam bentuk apa saja, penting untuk digunakan sebagai bukti bila fihak peminat melakukan penelitian terhadap rekam jejak mereka.
Mudah-mudahan tulisan ringkas ini membantu memberikan pemahaman yang lebih tepat.
Jakarta, awal 2017