Menjelang hari Natal tahun 2012 lalu, saya dan istri beserta semua anak dan cucu (saat itu yang tertua baru berusia 10 tahun dan yang tercecil baru 10 bulan) berada di Bali untuk berlibur. Kami tinggal disebuah hotel internasional di kawasan Sanur. Dua hari menjelang pergantian tahun dari 2012 ke tahun 2013 lalu saya mendapat kiriman pesan dari seorang kerabat mengingatkan saya bahwa mereka yang merayakan pergantian tahun dengan pesta termasuk meniup trompet adalah sama derajatnya dengan bangsa penyembah berhala. “Peringatan” itu justru telah membuat saya penasaran untuk mengetahui mengapa sebagian besar bangsa di Bumi ini termasuk bangsa Indonesia kok ikut ikutan merayakan pergantian tahun. Kemudian bagaimana sejarah kalender “Gregorian” yang digunakan secara resmi oleh hampir semua negara di bumi ini.
Ternyata “catatan” yang saya himpun dari berbagai referensi itu cukup panjang dan karenanya catatan itu telah saya kirim kepada semua teman dan kerabat melalui email. Menurut referensi yang saya baca, 4000 tahun lalu, Bangsa Babylonia telah merayakan pergantian tahun. Awal tahun baru mereka adalah kira-kira tanggal 25 Maret dalam kalender sekarang yaitu bertepatan dengan awal musim semi saat kegiatan bertani dimulai. Sampai beberapa puluh tahun setelah agama Kristen berkembang, suku-suku bangsa di Eropa yang masih menyembah berhala selalu merayakan pergantian tahun dengan melakukan pesta-pesta “liar”, minum minuman keras dan cara-cara liar lainnya. Kira-kira 46 tahun sebelum Masehi, Julius Cesar yang saat itu memimpin kekaisaran Romawi, merubah awal tahun dari bulan Maret menjadi lebih awal. Ia menamai bulan tersebut “Januari” untuk menghormati “Janos” nama dewa yang punya 2 muka, 1 menghadap ke muka dan 1 menghadap kebelakang penjaga segala pintu dan gerbang. Kalender baru tersebut disebut kalender “Julian”.
Ada ceritera bahwa saat Julius Cesar sebagai Kaisar Romawi menetapkan bulan Januari sebagai awal tahun, ia menyuruh bangsanya untuk merayakan peristiwa tersebut dengan mabuk-mabukan, seks liar dan melakukan pembantaian terhadap orang Yahudi yang saat itu dijajah oleh Romawi. Tetapi ceritera tentang pesta liar dan pembantaian bangsa Yahudi itu disebarkan akhir-akhir ini oleh “Blog” milik Yahudi yang bernama “Judaism on line.com”. Pada awal perkembangan agama Kristen, dalam upaya mereka menghilangkan kebiasaan buruk suku-suku saat merayakan pergantian tahun, pimpinan agama Kristen di Vatikan memutuskan untuk mengembalikan awal tahun ke tanggal 25 Maret. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan hari “Anunciation” yaitu saat malaikat memberitahukan kepada Maria bahwa ia akan hamil mengandung Nabi Isa. Terserah percaya atau tidak, pada saat itu kalender Masehi hanya punya 10 bulan yaitu dari bulan Maret sampai bulan Desember. Bulan September adalah bulan ke 7 (Septem dalam bahasa Latin = 7, Okto =8, Novem = 9 dan Decem =10).
Beberapa usaha untuk kembali ke bulan Januari selalu ditolak oleh para Paus di Vatican. Baru pada abad pertengahan (tahun 1560) awal Kalender Julian dkembalikan oleh Paus Gregory ke bulan Januari. Para ahli astronomi yang menjadi penasihat Paus saat itu menemukan sejumlah kekeliruan dalam penghitungan jumlah hari yang bersifat agak teknis dan tidak akan saya bahas disini. Paus Gregory merubah kalender Julian menjadi 12 bulan dan mengembalikan awal tahun ke tanggal 1 Januari dan kalender baru itu dinamai Kalender Gregorian. Jadi kalender baru itu digunakan oleh semua negara di Bumi ini. Kekecualian yang saya ketahui hanya satu yaitu Saudi Arabia. Negara tersebut tetap menggunakan kalender Islam untuk mengatur semua kegiatannya, termasuk hari libur mingguan yang bukan hari Minggu tapi Jumat, lalu kelender sekolah, dan lain-lain. Tetapi dalam hubungan internasional, baik untuk urusan dagang atau hubungan lain, mereka juga menyesuaikannya dengan kalender Gregorian.
Kalau kita teliti, ternyata cara merayakan pergantian tahun sangat banyak tergantung kepada latar belakang dan dasar penetapan awal tahun dan suasana saat itu. Oleh karena itu terjadi perbedaan dari tiap penganut Agama dalam cara menyambut pergantian tahun atas dasar kalender masing-masing. Kalender bangsa Cina awal tahun 4711 nya akan dimulai tanggal 10 Februari tahun 2013 kalender Gregorian dan perayaannya akan berlangsung selama 15 hari. Pada malam ke 15 diadakan perayaan besar dengan jamuan dan semacam festival yang dinamai Cap Go Meh (Malam Lima Belas). Cap Go Meh ini juga disebut hari Valentine bangsa Cina. Awal kalender Islam (Hijriah) ditetapkan bertepatan dengan peristiwa penting dalam perkembangan Agama Islam yaitu hijrah (pindah)-nya Nabi Muhammad dan para sahabat ke kota Madinah untuk menghindari gangguan dan teror dari Kaum Quraish dan suku penyembah berhala lainnya.
Oleh karena itu pergantian tahun diperingati secara prihatin dan diisi dengan kegiatan amal terutama menyantuni anak-anak yatim. Demikian pula cara orang Hindu, khususnya saudara-saudara kita di Bali, merayakan pergantian tahun berdasarkan kalender Saka yang dimulai sejak tahun 78 Masehi dengan acara «Nyepi». Pada hari itu semua kegiatan apapun dihentikan termasuk aktivitas penerbangan kecuali Rumah Sakit. Tujuan «nyepi» adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan «Bhuana Alit» (Alam Manusia/Microcosmos) dan «Bhuana Agung» (Alam Semesta/ Macrocosmos). Kalau kita kembali kepada kebiasan sebagian bangsa kita, terutama yang tinggal dikota, untuk merayakan pergantian tahun berdasarkan kalender Gregorian, yaitu pada tanggal 31 Desember malam, tiap orang bisa merenungkan sendiri, apa sebenarnya tujuan merayakannya? Mengapa kita merayakannya? Kalau kita mau merayakannya, seharusnya karena kita ingin merayakan keberhasilan yang telah kita capai selama masa setahun yang telah lalu. Bila kita tidak menghasilkan sesuatu yang baru dalam hidup kita, pekerjaan kita, hobby kita, lalu apa yang kita rayakan?
Oleh karena itu, bagi mereka yang cukup berpendidikan dan kelompok profesional, saat menjelang akhir tahun, seharusnya melakukan evaluasi atas kinerja diri sendiri. Memeriksa daftar awal tahun yang pernah dibuat dan menetapkan mana yang berhasil dicapai atau direalisasikan dan memberi tanda mana yang tidak terealisasikan dan memberi catatan tentang penyebabnya. Bila ternyata yang berhasil dicapai lebih banyak daripada yang gagal maka wajarlah bila kita merayakannya. Tetapi, terus terang, bahwa kalau kita perhatikan, ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang yang keluar rumah bahkan tumpah ruah dijalan untuk merayakan malam pergantian tahun BUKAN karena alasan rasional yang saya sebutkan. Mereka itu hanya ikut-ikutan merayakan dan meramaikan untuk tujuan menikmati hiburan tanpa memahami apa sebenarnya alasan melakukan perayaan tersebut.
Tetapi selama tidak berlebihan sampai melakukan hal terlarang oleh Undang-undang dan oleh agama, seperti minum minuman keras, narkoba, dan membahayakan jiwa orang lain dan diri sendiri boleh-boleh saja atau masih bisa dibenarkan. Bagi yang merasa penasaran dan ini tahu lebih banyak tentang soal ini silahkan buka situs-situs ini:
http://www.simpletoremember.com/articles/a/newyearshistory/
http://www.infoplease.com/spot/newyearhistory.html
http://adoptionworld.org/kid/newyear.html