Sebuah Catatan Pribadi Dr. Achmad S. Ruky Tentang Pengalaman Semasa Kanak-kanak-nya, Tahun 1948 – 1950
Pengantar
Hari ini adalah hari ke 18 keluarga kami menjalankan program tinggal dirumah, baik dalam rangka kerja, belajar atau mengisolasi diri agar tidak tertular Virus Covid 19. Walau kami sempat 2 kali keluar rumah untuk iseng melihat situasi dari dalam mobil tapi pada dasarnya kita cukup disiplin. Walaupun sebagian dari keluarga kami tinggal satu kota yaitu di Jakarta, kami sepakat bahwa untuk selama 15 hari, kami tidak akan bertemu muka dan bersentuhan secara fisik. Komunikasi kami lakukan melalui telpun, WA dan sesekali melalui video call yang biasanya disertai linangan air mata karena rasa kangen yang luar biasa.
Tetapi setelah hari ke 14 saya mulai melihat bahwa 4 orang cucu yang remaja, yang 3 diantaranya sudah dibangku SMA dan satu orang akan mulai kuliah tahun ini, mulai menunjukan gejala-gejala jemu karena tidak bisa keluar rumah apalagi pergi kemana mana. Oleh karenanya, saya sengaja menulis kisah ini untuk mereka tentang bagaimana saat saya, yaitu kakek mereka masih berumur 8 tahun yaitu seusia dengan Rashad yaitu cucu kami terkecil bersama semua anak sekolah di daerah dimana saya tinggal di sebuah desa di Banten harus menjalani “libur paksa” selama sekitar 18 bulan – bukan 18 hari.
Ceritera lengkapnya berdasarkan apa yang saya ingat, dan ditambah oleh yang diingat oleh Saiful, adik saya, adalah di bawah ini.
Masa Kecil Di Kampung Yang Menyenangkan
Begitu negeri kita tercinta Indonesia menyatakan kemerdekaannya yaitu pada tgl. 17 Agustus 1945, ayah kami yang waktu itu Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan R.I diangkat menjadi Camat RI pertama di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak yang lokasi pusat Kecamatannya berada di Desa Kumpay, desa tempat ibu kami berasal. Ayah kami sebenarnya berasal dari kota Rangkasbitung yaitu ibukota Kabupaten Lebak. Entah bagaimana sejarahnya sampai beliau “tersangkut” didesa tempat asal ibu kami pada tahun 1939, saya kurang tahu. Desa itu tidak berlokasi di pinggir jalan raya dari Saketi ke Malingping. Sekitar 10 km dari Saketi yaitu di Pasar Bojong, ada jalan menuju ke Desa Kumpay yang jaraknya 1.5 km. Kemudian, sekitar triwulan pertama tahun 1947 saat saya masih kelas 1 SD, dialih-tugaskan menjadi Camat di Bayah yang letaknya sekitar 85 km dari desa asal kami.
Saya dan Ibu beserta adik adik baru menyusul mengikuti ayah, setelah kenaikan kelas saya ke kelas 2 yaitu sekitar bulan Agustus 1947. Kota Bayah berlokasi dekat sekali ke pantai Samudera Hindia ternyata lebih modern dan ada listrik dan saya ingat ada orang kaya yang punya kulkas, yang seumur hidup baru kami lihat. Untuk pertama kalinya dalam hidup, kami minum minuman dingin hasil mencampurkan es yang diberi oleh orang kaya itu. Kota Bayah saat itu adalah kota yang sangat menyenangkan. Untuk pergi kesana, dari Saketi ada Kereta Api yang lokomotifnya berbahan bakar batubara yang sering diganti dengan kayu dan punya pluit yang nyaring dan khas itu. Perdagangannya ramai, sungai yang mengalir menuju laut dan berlokasi tidak jauh dari gedung Kecamatan, tempat kami tinggal, airnya sangat jernih. Kami sering bermain, berenang dan menangkap ikan dan udang di sungai itu. Sekolah Dasar dimana kami bersekolah berlokasi diatas bukit dekat pusat perdagangan tetapi harus menyeberangi sungai itu pakai jembatan gantung karena jembatan aslinya hancur selama pertempuran antara Jepang dan Belanda.
Agresi ke II Tentara Kolonial Belanda
Sekitar pertengahan tahun 1948, sebelum kenaikan kelas terjadi, tiba tiba ayah menyuruh kami untuk cepat kembali ke desa tempat ibu kami berasal. Tentu saja sebagai anak anak saya tidak tahu alasannya. Yang saya pelajari kemudian setelah duduk di bangku SMP adalah bahwa ayah sudah diberitahu oleh fihak TNI bahwa tentara kolonial Belanda akan melaksanakan serangan kembali sebagai usaha untuk menguasai kembali Indonesia. Saya dan adik adik beserta ibu kami kembali ke Desa Kumpay tempat asal Ibu kami sedangkan ayah bertahan dulu di Bayah.
Pasukan TNI kemudian membumi hanguskan kantor Kecamatan supaya tidak digunakan oleh Belanda, sekaligus dengan beberapa jembatan di jalan raya. Selama proses tersebut ayah kami tetap berada di Bayah menjalankan tugasnya. Saya tidak ingat tepatnya, mungkin sekitar sebulan kemudian, ayah tiba di kampung ibu kami diantar beberapa orang warga. Karena Kereta Api sudah berhenti beroperasi dan memang tidak bisa beroperasi, ayah dan para pengantarnya harus berjalan kaki sekitar 4 hari melewati jalan desa dan jalan di tengah hutan dan ladang.
Menjadi Pengungsi Di Kampung Asal Ibu Kami
Suasana di kampung ibu kami juga sama. Kantor Kecamatan dan rumah dinas Camat sudah dibumi hanguskan tinggal bekas bekasnya. Semua warga desa, termasuk keluarga kami, kecuali para lansia dan mereka yang cacat, pergi mengosongkan desa dan menyebar di hutan, sawah dan ladang jauh dari desa, membangun rumah sederhana dari bambu dan atap rumbia sebagai tempat tinggal darurat. Seingat saya, itu dilakukan oleh keluarga kami sekitar 3 kali, artinya 3 kali pindah lokasi pengungsian.
Karena sekolah di desa kami tutup dan semua guru juga mengungsi maka anak anak sekolah pun harus libur sangat panjang. Cara kami mengisi waktu hanyalah dengan bermain seadanya bersama saudara dan dengan teman sebaya yang tempat mengungsinya berdekatan. Yang paling sering kami lakukan adalah “berenang” atau lebih tepat disebut main air di saluran air dan sungai kecil disekitar tempat mengungsi. Jangan bayangkan bahwa saat itu kami seperti cucu-cucu kita sekarang di kota besar yang bisa terus berkomunikasi via gadget, menonton berita di tv, menjelajah dunia maya pakai internet dll.
Di kampung kami saat itu tidak ada listrik apalagi gas. Sumber penerangan adalah lampu teplok yang menggunakan minyak tanah. Tetapi saat itu keluarga kami menggunakan minyak kelapa. Bila malam hari kami harus keluar, kami menggunakan obor yang dibuat dari daun kelapa kering yang diikat. Bila hujan, kami menggunakan daun pisang besar sebagai payung, tentu saja ala kadarnya. Saya tidak ingat apakah saat itu saya sering pilek, karena setelah dewasa bila kecipratan hujan kok langsung pilek!
Dari Mana Sembilan Bahan Pokok (Sembako) Diperoleh?
Barangkali ada yang bertanya dalam hati, darimana kami dan penduduk lain memperoleh sembako? Sembako yang menjadi perhatian semua penduduk saat itu hanya bahan makanan pokok seperti beras, ubi-ubian seperti ubi kayu, singkong, lauk pauk. Saat itu penduduk tetap menggarap sawah mereka demikian pula orang yang menggarap sawah milik keluarga Ibu kami. Penduduk juga tetap bertanam singkong dan ubi ubian lain dan juga pisang. Yang paling sulit diperoleh adalah garam dan gula. Garam yang tentunya sangat diperlukan untuk memberi rasa asin pada makanan, dipasok oleh pedagang yang datang dari daerah pantai di Banten Selatan berjalan kaki beberapa hari. Karena saat itu tidak ada uang, mereka membarter-nya dengan beras. Kalau gula, seingat saya, selama masa pengungsian itu kami tidak pernah mencicipinya. Tapi kami seringkali hanya makan nasi sekali sehari, siang atau sore. Waktu lainnya diisi dengan ubi-ubian dan buah-buahan.
Sebuah kenangan yang masih tetap menempel di pikiran saya adalah seringkali Ibu kami meminta saya yang saat itu berusia 8 tahun untuk menemaninya mencari ikan di saluran air yang tidak jauh dari rumah. Ibu menangkap ikan menggunakan serok yang dibuat dari kulit bambu yang di Banten disebut “sair”. Jenis ikan yang sering tertangkap adalah ikan “Beunteur”, ikan kecil yang di Jawa disebut Wader. Juga sejenis udang air tawar yang juga kecil kecil. Ibu akan memasaknya dengan cara mencampurnya dengan parutan kelapa muda, yang tentu saja porsinya jauh lebih banyak kelapa mudanya dari pada ikannya. Fungsi ikan dan udang hanyalah untuk memberi aroma khusus pada parutan kelapa itu! Dalam perjalanan ke tempat mencari ikan atau dalam perjalanan pulang, kami biasanya juga mencari daun-daunan yang akan dijadikan lalaban.
Menyembunyikan Diri Dari Patroli Tentara Belanda
Pengalaman lain yang juga masih tetap menempel adalah saat kami harus menyembunyikan diri dari patrol tentara Belanda dan kaki tangannya. Itu harus kami lakukan bila ada informasi bahwa patrol tentara Belanda itu terlihat akan menuju ke wilayah kami. Saat itu, wilayah kami memang dikenal sebagai basis bagi sebagian kecil pasukan dari Divisi Siliwangi yang diperintahkan untuk tidak ikut hijrah ke Yogya, tetapi harus menyebar keseluruh wilayah Banten untuk mengganggu pasukan Belanda. Ayah kami dan semua orang dewasa harus menghindari patrol tersebut karena apabila bertemu akan dipaksa dan disiksa untuk memberikan informasi dimana pasukan Divisi Siliwangi dan para Gerilyawan bersembunyi.
Untuk menghindari patroli Belanda, kami harus melarikan dari dari rumah rumah tempat kami mengungsi ke hutan-hutan sekitarnya. Saya ingat bahwa pada suatu malam kami harus bersembunyi disemak belukar didalam kebun karet rakyat. Kami mendengar bunyi benda yang menyerempet cabang dan ranting pohon karet dengat keras dan tidak lama kemudian ada ledakan keras. Baru kemudian kami tahu bahwa itulah yang disebut peluru mortir. Kami terpaksa tidur beralaskan rumput dan sempat melihat ada ular menyingkir dan dibawah cahaya bulan terlihat seperti Ular Tanah, tapi Alhamdulillah ia tidak mematuk salah satu dari kami lebih dahulu.
Pengalaman lainnya adalah saat kami mengungsi di sebuah rumah kosong yang berbentuk panggung dan dikolongnya dijadikan kandang ayam. Saat para pria melarikan diri, ibu-ibu membawa anak anaknya bersembunyi dikolong rumah dalam keadaan gelap gulita bersama ayam ayam itu. Hampir semalaman kami harus menikmati bau kotoran ayam itu.
Pindah Pengungsian Ke Daerah Banten Selatan
Beberapa bulan setelah kami berada di desa Ibu kami, saya tidak ingat tepatnya kapan, tetapi menurut perhitungan sekitar bulan Februari atau Maret tahun 1949, ayah kami diperintahkan oleh atasannya, entah yang dimana untuk menjalankan pemerintahan dari tempat pengungsian tetapi harus berada di wilayah Kecamatan Bayah di Banten Selatan. Tempat pengungsian tersebut adalah Desa Citorek yang baru baru ini menjadi terkenal dan viral sebagai “Negeri Diatas Awan”. Saya ingat ada banyak laki-laki penduduk desa Citorek itu yang menjemput kami membawah segala alat terutama keranjang.
Ayah membawa kami sekeluarga berangkat menuju ke desa tersebut dengan berjalan kaki melewati jalan desa dan jalan setapak melewati sawah, ladang, dan hutan belukar. Jarak yang harus ditempuh untuk menuju desa tersebut adalah sekitar 80 km dan kami memerlukan 4 (empat) hari untuk tiba disana. Para pria yang menjemput tersebut masing masing membawa barang dalam keranjang yang digendeong dipunggung mereka terutama beras, air bersih untuk makan selama perjalanan dan alat masaknya. Tiga orang diantara mereka menggendong 3 (tiga) orang adik saya yaitu Saiful, Rivai dan Toufik sedangkan Uu yang masih bayi digendong sendiri oleh Ibu. Saya yang sudah berusia 8 tahun dianggap cukup kuat untuk berjalan kaki, jadi tidak ada yang menggendong. Kami semua berjalan kaki tidak ada yang menggunakan alas kaki. Jangankan sepatu, sandal pun tidak ada yang punya. Selain daripada itu, ada kebiasaan di daerah kami, sampai kami tinggal dikota dan sampai kelas 5 SD, tidak memakai sepatu atau sandal.
Saya ingat, para pria itu mulai masak nasi liwet sejak subuh untuk makan pagi hanya dengan garam, kemudian kami mulai berjalan begitu matahari mulai terbit. Sore hari sebelum matahari terbenam, para penjemput tersebut sudah mengetahui dimana kami akan menginap, yaitu gubug-gubug kosong ditengah sawah atau ladang dan mereka masak nasi liwet lagi untuk makan malam. Pada sore hari, hari ke 4 kami tiba di desa Citorek dan langsung diarahkan ke sebuah rumah seperti rumah lainnya di desa itu yang kebetulan kosong dan disediakan untuk ayah kami.
Lokasi Desa Citorek tidak jauh dari lokasi desa desa warga Baduy. Malahan cara berpakaian orangorangnya pun mirip hanya saja warga Citorek beragama Islam. Diperkurakan bahwa mereka aslinya adalah sama dengan orang Baduy tetapi lalu menganut Agama Iskam sehingga memisahkan diri. Rumah rumah di desa itu pun mirip dengan rumah warga Baduy dan seingat saya agak unik. Rumah itu rumah panggung juga tetapi dapurnya ada didalam rumah demikian pula tungku-nya. Karena lokasi Citorek diatas gunung sehingga cukup dingin maka tiap malam, kami anak anak selalu tidur disekitar tungku yang ada arang yang menyala sehingga terasa hangat.
Kegiatan Selama Berada Di Citorek
Sama dengan saat berada di kampung sendiri, yang kami anak anak lakukan selama mengungsi di desa Citorek adalah bermain di sawah dan disungai yang mengalir dipinggir desa. Ada bagian dari sungai itu yang tidak deras dan digunakan oleh penduduk desa untuk mencuci pakaian, peralatan, mandi dan sekaligus melepas itik peliharaan mereka.
Tetapi kegiatan yang selalu teringat karena menyenangkan adalah bahwa ternyata disawah sawah dan selokan air disekitar desa itu banyak sekali ikan, terutama ikan Lele dan Belut. Oleh karenanya, kegiatan saya bersama Saiful dan Rivai (adik yang satu lagi) sejak subuh adalah berusaha menangkap ikan tersebut. Pernah suatu kali kami mengambil ikan-ikan yang yang terperangkap dalam sebuah bumbung bambu besar dan ternyata itu adalah perangkap yang sengaja di taruh oleh seseorang. Ketika orang itu mengetahui yang kami lakukan ia memarahi kami dan saya hanya cengar cengir dan berjanji tidak melakukannya lagi karena memang tidak tahu tentang perangkap bambu itu.
Mengalami Idul Fitri di Citorek.
Kami berada di Citorek sampai melewati bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri tahun itu (bulan Juli 1949) yang sangat mengesankan sekali. Setiap malam ramai dengan sholawat dan bunyi bedug dari masjid dan musola. Untuk berlebaran, Ibu kami membuatkan kami baju baru dari kain katun lurik lurik yang biasa dipakai untuk membuat kasur yang disi dengan kapuk. Ibu pasti menjahitnya dengan tangan pakai jarum biasa karena saat itu tidak membawa mesin jahit.
Model baju kami dikenal dengan “baju monyet”. Baju Monyet pada masa itu berbentuk bagian atas (baju) dan bawah (celana) menjadi satu. Baju itu tanpa kerah yaitu lehernya bulat saja. Kancingnya di bagian dada sebelah atas.. Dibagian perut ada kantung cukup besar untuk menyimpan macam macam. Tapi biasanya kami isi dengan kelereng dan benda benda mainan lainnya.
Kembali Lagi Ke Kampung Ibu Kami
Seperti tercatat dalam Sejarah Negara kita, pada tanggal 27 Desember 1949, terjadilah penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda kepada Indonesia. Buku-buku sejarah mencatat bahwa penyerahan tersebut dilakukan di Belanda dan juga di Indonesia. Di Negeri Belanda, delegasi Indonesia dipimpin oleh Bpk. Moh. Hatta sedangkan pihak Belanda hadir Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Sasseu bersama-sama menandatangani akte penyerahan kedaulatan di Ruang Tahta Amsterdam. Di Indonesia dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.S. Lovink.
Posisi ayah sebagai Camat Bayah kemudian digantikan oleh orang lain. Ayah dan kami kembali ke kampung Ibu dan ayah menunggu penugasan selanjutnya disana. Saya tidak ingat bagaimana perjalanan kami kembali ke kampung ibu karena saat kembali bukan sebuah perjalanan yang mengesankan lagi.
Mulai Bersekolah Lagi.
Pada pada bulan Juli tahun 1950 sekolah dibuka lagi dan akhirnya, saya dan Saiful mulai masuk sekolah lagi. Saya kembali masuk ke kelas 2 (dua) dan Saiful ke kelas 1 (satu) Sekolah Dasar. Saya tidak ingat kapan tepatnya, tetapi pada tahun 1950 itu juga ayah kami menerima penugasan baru sebagai Kepala Kantor Penerangan (sekarang Kominfo) di kota asalnya yaitu di Rangkasbitung ibu kota Kabupaten Lebak. Kami sekeluarga turut pindah kesana dan melanjutkan sekolah kesana.
Kemudian pada tahun 1951 ayah kami dipindahkan ke kota Pandeglang dan kami bersekolah di Pandeglang. Akhirnya pada tahun 1953 ayah kami pindah ke kota Jakarta dan kamipun turut serta. Sejak itu kami selalu berada di luar Banten sampai saat ini. Oh ya, selama saya bersekolah di Banten sampai 1953 (kelas 5 S.D), saya tetap tidak pernah punya sepatu. Barulah saat pindah ke Jakarta dan masuk sekolah di Jakarta, di kelas 6, saya pakai sepatu karena semua pelajar diharuskan memakai sepatu. Saya ingat sekali, sepatu yang dibelikan ayah itu adalah sepatu kanvas merek Bata, warna coklat yang biasa dipakai oleh Pramuka!
Jakarta 5 April 2020