PENGANTAR

Sebutan “profesional” sudah sangat populer dan sudah umum diucapkan orang, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Banyak pula orang yang merasa dirinya “profesional” dan menyebut di muka umum bahwa dirinya seorang  profesional dalam bidangnya. Siapakah sebenarnya orang yang bisa disebut profesional? Apakah sebutan profesional terkait dengan jenis pekerjaan (profesi) yang dijalani seseorang, atau justru ada persyaratan lain? Lalu apa pula itu profesionalisme dan apa kriteria atau syarat untuk bisa disebut sebagai seorang profesional? Melalui tulisan ringkas ini saya akan berusaha memberikan penjelasan tentang profesional dan profesionalisme yang disusun mengikuti sub-sub topik di bawah ini.

  1. Definisi Profesional dan Profesionalisme
  2. Kriteria atau Karakteristrik Profesionalisme
  3. Untuk apa harus mencapai status profesional?
  4. Bagaimana mengembangkan profesionalisme.

Contoh-contoh dan rujukan yang saya berikan akan lebih banyak dari sektor bisnis dan industri sesuai dengan profesi dasar dan latar belakang pendidikan saya.

 

SIAPA ITU TENAGA PROFESIONAL?

Bulan Juni tahun 1990 atau hampir 27 tahun lalu, Suharsono Sagir SE, Dosen FE UNPAD, pernah menulis tentang tenaga profesional dalam majalah Manajemen No. 69, dan memberikan definisi sebagai berikut: “Tenaga kerja profesional adalah buruh plus kemampuan profesional, yang dalam jajaran organisasi biasanya disebut tenaga staf (?)”, sedangkan yang disebut buruh adalah “mereka yang hidup dari menjual jasa”. Jadi saat itu Sagir hanya menganggap bahwa yang dimaksud dengan tenaga profesional adalah tenaga kerja yang menjual jasa sebagai pekerja/buruh (karyawan) pada perusahaan atau organisasi lainnya yang:

  1. mempunyai keahlian dan pengetahuan yang mendalam tentang suatu bidang kerja tertentu yang diperolehnya melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman kerja yang cukup lama dan dengan biaya yang cukup banyak.
  2. karena alasan No. 1, di atas, jumlah mereka cenderung tidak besar sedangkan permintaan selalu besar walaupun bisa bersifat musiman.
  3. seseorang profesional, manajer atau teknisi, yang menyadari “kelasnya”, ketinggian keahliannya dan tuntutan lingkungan kepada mereka untuk berprestasi setinggi reputasinya, cenderung berusaha menjaga reputasi tersebut.

Sebenarnya, sejak awal tahun 1990 itu sebutan tenaga profesional tidak hanya diberikan kepada orang yang; “hidup dari menjual tenaga, jasa, pikiran, dan kemampuannya dengan status buruh (karyawan)” tetapi juga diberikan kepada  orang yang menjalankan sebuah profesi sebagai sumber nafkah, misalnya: petinju, penyanyi, pembunuh bayaran dan PSK. Lawan dari sebutan profesional dalam konteks ini adalah “amatir”, yaitu melakukan sesuatu hanya karena atau untuk memenuhi kegemaran saja.

Istilah profesional kemudian dipakai untuk merujuk sekelompok orang yang menjalankan profesi tertentu yang hanya bisa dilakukan setelah melalui pendidikan yang tinggi dan lama, misalnya dokter, notaris, dan pengacara. Akhirnya, sebutan profesional juga dipakai untuk menyebut kelompok pegawai yang menduduki posisi kunci dalam perusahaan dan/atau institusi pemerintahan, contohnya para eksekutif, manajer dan tenaga spesialis (fungsional). Demikian pula para tenaga teknisi dan operator ahli juga masuk dalam kelompok itu. Dewasa ini banyak perusahaan yang menyebut kelompok terakhir dari pekerja mereka sebagai “Talents”.

 

PROFESIONALISME DAN KRITERIA PROFESIONALISME

Dalam perkembangannya, para pakar manajemen di negara-negara industri maju dan para eksekutif top dunia telah sepakat bahwa sebutan atau predikat profesional itu hanya layak diberikan kepada mereka yang menjalankan profesinya mengikuti kaidah-kaidah yang menempel pada predikat tersebut. Dengan kata lain, profesionalisme tidak ada kaitan dengan profesi yang dijalankan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang tetapi lebih merefleksikan bagaimana orang itu menjalankan profesinya tersebut. Dengan kata lain, sebutan atau predikat profesional bisa saja diberikan kepada orang yang profesinya hanya petugas pembersihan (cleaning service), pelayan restoran, pengemudi, petugas keamanan dan pekerja tingkat “bawah” lainnya, bukan hanya kepada pekerja level manajer, direktur, atau tenaga profesional lainnya seperti dokter, arsitek, hakim, jaksa, polisi dan sebagainya.

Jadi apa yang dimaksud dengan profesionalisme, dan apa ciri-ciri dan kriterianya? Dari banyak pendapat dan pemikiran para pakar dan praktisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bagi seseorang untuk bisa disebut sebagai tenaga profesional, urut-urutan dari elemen kompetensinya adalah “A.S.K.”. Dengan demikian maka  Attitude-lah yang menduduki urutan pertama dan kemudian baru Skills lalu Knowledge. Urutan itu berbeda dengan urutan yang sering dijadikan pegangan oleh para praktisi MSDM pada awal tahun 1980an yaitu “K.S.A.” untuk Knowledge, Skills, dan Attitude. Pembalikan urutan itu menyiratkan bahwa syarat-syarat untuk mendapat predikat profesional tersebut lebih banyak terkait dengan attitude yang terdiri dari: etika, mentalitas, integritas dan pola pikir. Bila semua itu dijabarkan menjadi sejumlah sikap dan perilaku yang harus dipegang teguh oleh seorang profesional, maka komponen-komponennya antara lain adalah:

  1. Selalu berusaha mencapai dan memberikan hasil terbaik dan menunjukkan komitmen yang tinggi atas tanggung jawabnya.
  2. Berpegang teguh kepada kode etik profesi dan berada dalam koridor undang-undang, hokum, dan aturan lain yang berlaku.
  3. Bersikap dan berperilaku “profesional”; ramah, hormat, sehingga menimbulkan rasa hormat (respek) dari orang yang berurusan dengannya atau yang dilayaninya.
  4. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi (misalnya mendapat promosi) ia akan lebih mengandalkan pada kinerja dan reputasi pribadi dari pada mencari bantuan kelompok atau “sponsor”.
  5. Tidak akan berceritera negatif tentang organisasi, lembaga atau perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya walaupun ia sudah tidak lagi berada di institusi tersebut, karena alasan apapun.
  6. Selalu melakukan “tinjau ulang” atas ilmu, pengetahuan dan kemampuan dan selalu berusaha meningkatkannya sehingga mencapai level yang “mumpuni”.

Dari (a) sampai (f) di atas itu terlihat bahwa hanya (f) yang terkait dengan Knowledge (pengetahuan) dan Skills (Keahlian/Keterampilan) yang walaupun tetap sangat penting tetapi yang pertama akan diperhatikan dan dinilai oleh mereka yang  harus dibantu dan dilayani oleh tenaga-tenaga profesional itu adalah yang komponen (a) sampai (e) lebih dahulu. 

Tentang pentingnya peran “A” (dari A-S-K) bagi seorang profesional, DR. David Maister, mantan guru besar pada sekolah Pasca Sarjana Business Harvard University, yang juga memiliki sebuah perusahaan jasa konsultasi yang membantu biro-biro konsultan besar di USA dalam meningkatkan profesionalisme di kalangan staf mereka, memberi rumus bahwa kunci profesionalisme adalah 3 C yaitu;

  • CARE; yang artinya betul-betul melayani pihak yang harus kita berikan pelayanan misalnya pasien, klien, tamu, dan sebagainya
  • CONCERNED; punya keterkaitan emosi atau perasaan khawatir terhadap “klien” yang meminta bantuan kepadanya untuk mencarikan solusi untuk masalah yang mereka hadapi walapun tidak perlu diucapkan tetapi ditunjukkan dengan keseriusan dan kesungguhan dalam bekerja.
  • COMMITTED; kata yang sudah di-Indonesiakan menjadi “komit” artinya, begitu menyatakan siap membantu maka harus secara sungguh-sungguh dikerjakan, bukan cuma “komat-kamit”.

Tentang tenaga profesional yang berprofesi sebagai “pekerja” yaitu bekerja pada sebuah perusahaan atau organisasi lain dengan mendapat bayaran tetap dalam bentuk gaji atau upah, Prof. David Maester menegaskan bahwa tenaga profesional kelompok itu cenderung mempunyai kebutuhan untuk sukses sekaligus kebutuhan akan “power” dan pengaruh (n.pow – menurut Mc Lelland) yang tinggi. Orang-orang yang seperti ini, tidak ada kaitannya dengan generasi yang mana mereka berasal, bisa Milenials, bisa generasi “X”, dan malah bisa juga dari Baby Boomers,  cenderung akan;

  • mencari tantangan dan kesempatan berkembang
  • tidak sabar
  • memerlukan umpan balik yang cepat, tentang prestasi kerjanya
  • menuntut keleluasaan, wewenang dan dukungan untuk keputusan-keputusan yang mereka buat.
  • berorientasi pada presentasi yang bisa diukur secara jelas.
  • fokus pada sasaran dari tujuan kerja yang jelas.
  • ingin dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan
  • mengharapkan agar diberikan tanggung jawab yang jelas dan tegas.

Sehubungan dengan ciri-ciri tersebut, DR. Maister menyimpulkan, bahwa perbedaan antara orang profesional dengan tenaga kerja biasa bukanlah semata-mata terletak pada hal yang bisa diukur seperti; tingkat pendidikan, tetapi lebih banyak pada watak dan kejiwaan mereka. Para profesional biasanya menggambarkan dirinya sebagai orang yang cepat jemu, benci pekerjaan rutin dan suka mencari tantangan-tantangan baru. Begitu ia tahu bahwa ia sudah mampu  mengerjakan sesuatu dengan mudah maka pekerjaan itu tidak menarik lagi untuk mereka. Kelihatannya, gambaran di atas agak berlebihan. Tetapi, banyak pakar mengakui kebenarannya. Dalam kenyataan, tenaga profesional yang terbaik adalah mereka yang terus menerus mencari sesuatu yang baru yang belum dikenal dan menantang.

 

UNTUK APA/MENGAPA JADI TENAGA PROFESIONAL?

Siapapun yang mencari nafkah dengan menjual sesuatu, apakah itu barang, jasa atau pun tenaga dan pikiran tidak punya pilihan kecuali menjalankan usaha atau pekerjaannya mengikuti prinsip-prinsip profesionalisme. Tuntutan untuk menerapkan profesionalisme secara sungguh-sungguh itu semakin keras dirasakan sejak 40 tahun terakhir, yaitu saat perubahan-perubahan besar dalam semua elemen lingkungan strategis organisasi bisnis dan institusi publik terjadi dengan semakin deras dan cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi sangat pesat adalah pada;

  1. TEKNOLOGI. Terutama dalam teknologi pengolahan data (teknologi informasi), transfer data digital, teknologi komunikasi dan otomatisasi menggunakan robot dan kendali jauh (remote control). Sebagai akibatnya semua pekerjaan pengolahan dan transfer data menjadi super cepat, yang rembetannya adalah pada komunikasi dan akhirnya pada proses pengambilan semua keputusan yang perlu untuk jalannya organisasi bisa menjadi lebih cepat. Demikian pula dampaknya pada penyebaran informasi, baik positif maupun negatif yang termasuk dalam kategori “hoax”. Berbagai penemuan dan perubahan dalam teknologi juga telah menciptakan berbagai jenis baru misalnya yang disebut “online shopping” dan pemesanan jasa transportasi berbasis aplikasi. Mereka yang ingin terus bertahan dalam status profesional mau tidak mau harus berusaha keras mengikuti perkembangan teknologi tersebut dan berusaha mengambil manfaat dari perubahan yang terjadi.
  2. TEKANAN KOMPETISI GLOBAL. Dengan telah mulai berlakunya beberapa kesepakatan perdagangan bebas, seperti AFTA dan MEA dan 2 tahun lagi World Trade Organization (WTO), maka tekanan akibat persaingan itu sudah mulai terasa. Masuknya investasi asing sebenarnya sudah dimulai lagi sejak 50 tahun lalu dan akan semakin gencar dalam tahun mendatang. Dampak sampingannya adalah berduyun-duyunnya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, yang pada umumnya mempunyai kompetensi yang lebih tinggi. Tenaga profesional Indonesia dari berbagai latar belakang pendidikan dan bidang keahlian harus selalu berusaha memutakhirkan pengetahuan dan keahlian mereka, termasuk keahlian dalam berkomunikasi menggunakan bahasa asing dan dengan bangsa-bangsa yang berbeda budaya.
  3. PERUBAHAN BESAR DALAM TEKNIK MANAJEMEN BISNIS DAN PEMERINTAHAN. Harus diakui bahwa dalam masa 50 tahun terakhir telah terjadi pula kemajuan pesat dalam penelitian dan pengembangan teknik-teknik dan sistem manajemen baik untuk sektor bisnis maupun untuk sektor pemerintahan. Bila sampai tahun 1970an hanya dikenal konsep-konsep dan teknik seperti Time and Motion Study dari Frederick Taylor, lalu TQC dari Jepang, MBO dan beberapa lagi, maka mulai awal tahun 1990 telah muncul Six Sigma, kemudian Balance Scorecard, lalu akhirnya konsep Kompetensi, Asesmen, Talent Management dll untuk pengelolaan sumber daya manusia.

 

LALU APA UNTUNGNYA MENJADI TENAGA PROFESIONAL BISNIS?

Sejumlah keuntungan yang bisa dinikmati seimbang atau malah bisa melebihi semua pengorbanan energi, waktu, dan mungkin biaya untuk selalu meningkatkan kompetensi dan memenuhi persyaratan lain untuk menjadi tenaga profesional.

  1. BAYARAN LEBIH BESAR/NEGOSIASI LEBIH MUDAH. Yang sudah pasti, seorang tenaga profesional yang reputasinya sudah diakui dan sudah diketahui secara luas tidak perlu lagi menegosiasikan besarnya bayaran yang harus diterimanya. Bagi tenaga profesional yang bekerja sendiri, besar tarif bayarannya tidak akan ada yang menawar apalagi mempertanyakan. Bagi mereka yang berstatus pegawai pun pasaran “harga” (imbalan) mereka pun biasanya sudah diketahui oleh perusahaan-perusahaan pengguna mereka.
  2. TIDAK MUDAH DISINGKIRKAN. Seorang tenaga berkualifikasi profesional tidak akan mudah “disingkirkan” dengan alasan bahwa jasanya tidak dibutuhkan lagi, misalnya saat perusahaan menjalankan program perampingan (downsizing dan “lean organization”). Mereka biasanya justru dianggap tenaga “inti” (key personnel) yang sangat diperlukan karena kontribusi mereka melebihi biaya untuk mempekerjakan mereka sehingga perusahaan bisa sangat tergantung kepada mereka.
  3. MEMUASKAN KEBUTUHAN AKTUALISASI DIRI. Tenaga profesional umumnya memiliki kebutuhan yang tinggi untuk apa yang disebut “aktualisasi diri” dari apa yang dikerjakannya. Mereka mendapat kepuasan dalam pekerjaan mereka bukan dari nama/sebutan atau titel jabatan mereka dan status yang menempel kepadanya, tetapi dari apa yang mereka capai dan hasilkan yang mencapai standar yang tinggi.
  4. PENGHARGAAN NON MATERI. Walaupun demikian, tanpa mereka cari atau perjuangkan, penghargaan publik, mungkin bukan yang bersifat resmi, terhadap prestasi dan reputasi mereka akan mereka rasakan dan lihat atau dengar dan itupun sudah merupakan sumber kepuasan, walaupun bukan yang utama (yang diuraikan dalam butir 3).

 

BAGAIMANA MENGEMBANGKAN DIRI MENJADI SEORANG TENAGA PROFESIONAL SEKTOR BISNIS

Beberapa kali saya berhadapan dengan para peserta program pendidikan S2 Magister Manajemen yang ijazah S1-nya ternyata terdiri dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dan sama sekali belum pernah bekerja bisnis sebagai apapun. Sebagian telah menganggur antara satu sampai dua tahun akibat sukar mendapat pekerja di sektor industri dan bisnis bank. Mereka memutuskan untuk mengikuti program tersebut berdasarkan harapan dan asumsi bahwa ijazah tambahan apalagi yang bersifat pendidikan pasca sarjana manajemen akan mendapat penghargaan lebih tinggi dari perusahaan yang mencari tenaga kerja. Kenyataannya, banyak perusahaan besar dan modern tidak menetapkan ijazah atau sertifikat lanjutan manajemen tersebut sebagai persyaratan, karena hampir semuanya dari mereka telah punya program khusus untuk mendidik dan mengembangkan calon manajer mereka. Jadi apa yang harus dilakukan? Bagi mereka yang masih kuliah, beberapa hal yang akan saya uraikan di bawah ini harus dilakukan.

  1. ANDA HARUS BERUSAHA TAHU DULU APA ORIENTASI ANDA? Yang dimaksud dengan orientasi dalam konteks ini adalah ke arah mana atau apa kira-kira arah hidup yang anda ingin jalani? Sebagai pengusaha? Sebagai ilmuwan/akademisi? Politikus? Aktivis sosial, pendakwah, pejabat publik (birokrat) atau menjadi pejabat dalam organisasi bisnis. Kecondongan itu bisa diteliti oleh seorang yang ahli, biasanya psikolog yang mendalami bidang tersebut dan anda bisa minta kepada salah seorang dari mereka untuk melakukan asesmen lengkap pada anda. Adalah lebih baik melakukan “self assessment” secara sukarela lebih dahulu dan anda mengetahui hasilnya daripada menjalani asesmen yang dilakukan oleh perusahaan tempat anda melamar kerja dan anda tidak tahu hasil detilnya kecuali keputusan bahwa anda diterima atau tidak. Bila kita melakukan asesmen dengan inisiatif sendiri, maka kita akan memiliki informasi lengkap selain tentang kecondongan, juga tentang aspek-aspek mana yang kita kuat, mana yang memerlukan penyempurnaan, apa yang kita sukai dan tidak sukai dan dan apa saja yang “lebih baik kita lupakan saja”. Bila dari hasil asesmen ternyata diketahui bahwa anda tidak menyukai “bisnis” dan menganggap bahwa kegiatan bisnis adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang anda pegang, janganlah memaksakan diri masuk ke sektor tersebut. Anda akan merasa “tersiksa” dan merasa berada di “dunia” lain yang anda tidak sukai sama sekali.
  2. PERKUAT KEMAMPUAN BERBAHASA ASING, KHUSUSNYA BAHASA INGGRIS. Untuk menghadapai era globalisasi ini, penguasaan bahasa Asing merupakan persyaratan mutlak bagi mereka yang ingin berkarir mengikuti arus globalisasi. Bisa pilih apakah salah satu dari bahasa-bahasa Jepang, Cina atau Korea atau bahasa Inggris saja. Saya pernah secara terang-terangan mengatakan kepada sejumlah mahasiswa program MM bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk mendapat ijazah MM, akan segera mendapatkan hasilnya bila mereka menggunakannya untuk belajar salah satu bahasa asing di Negara yang penduduknya menggunakan bahasa tersebut selama sekitar setahun dan selama tinggal di sana gunakan waktu untuk memperoleh kesempatan kerja paruh waktu dan magang.
  3. PERLUAS PERGAULAN, BANGUN JEJARING DAN AKTIF BERORGANISASI. Khususnya untuk mereka yang masih berstatus mahasiswa dan juga yang telah bekerja, saya selalu mendorong mereka dengan keras untuk selalu memperluas jejaring profesional mereka. Yang dimaksudkan adalah aktif dalam organisasi profesi yang ingin mereka masuki dan berkenalan dengan para anggota yang sudah lebih senior, lalu gunakan kesempatan yang ada untuk menimba ilmu dan memperluas jejaring yang bisa menghasilkan penawaran pekerjaan. Mereka yang “kuper” dan hanya bergaul dengan gadget atau dengan teman-teman tapi terbatas dengan yang se-hobby akan tertinggal jauh dan berisiko menjadi penganggur selama bertahun tahun.

Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.

 

Jakarta 21 April 2017