Catatan:
Aslinya, tulisan ini adalah sumbangan penulis untuk memenuhi permintaan penyusun buku “Preceeding” Kegiatan Human Resource Excellence Award oleh Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, bulan Mei 2008. Karena setelah saya baca ulang, isinya masih relevan dengan situasi saat ini maka saya putuskan untuk saya sebarluaskan kembali melalui Blog saya dan media lain. Dibelakang tiap data statistik tentang tenaga kerja Indonesia saya berikan dalam kurung data tahun 2016 sebagai perbandingan sehingga anda bisa menilai, berapa persen kemajuan dalam peningkatan kompetensi sumberdaya manusia Indonesia telah tercapai dalam periode 1998 sampai 2016 atau selama 18 tahun. Terus terang sangat menyedihkan karena minim sekali!
Pengantar
Ada dua pertanyaan mendasar terkait dengan manajemen sumber daya manusia yang diajukan dari waktu ke waktu oleh para praktisi MSDM Indonesia baik secara terbuka maupun “di belakang layar”. Pertanyaan pertama adalah tentang peran manajer (eksekutif) sumber daya manusia dalam sebuah organisasi bisnis dan kontribusi yang harus mereka berikan pada organisasinya. Pertanyaan kedua adalah konsep, sistem, teknik atau pendekatan yang bagaimana yang dianggap terbaik dalam mengelola sumber daya manusia dalam organisasi masing-masing. Pembahasan dan perdebatan telah berlangsung sejak hampir dua dekade lalu walaupun kegiatan terus berlangsung, dan tantangan dan peluang untuk menunjukan keberhasilan terus datang silih berganti.
Pembahasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada tantangan yang dihadapi organisasi bisnis yang berkiprah di Indonesia saat ini yang sekaligus menjadi tantangan dan peluang bagi para praktisi manajemen sumber daya manusia. Mereka ditantang untuk meredifinisi peran mereka agar mampu meningkatkan kontribusi nyata kepada organisasi yang mereka layani. Sebaliknya, peluang juga muncul bagi mereka untuk mencoba menerapkan berbagai konsep dan teknik baru dalam bidang manajemen sumber daya manusia yang telah membombardir mereka dalam setengah abad terakhir. Bila mereka berhasil menjawab tantangan tersebut dan memanfaatkan peluang yang ada di depan mereka maka mereka akan berhasil memperkuat kompetensi, status dan dengan sendirinya “harga” mereka sendiri.
Berada dimana kita sekarang?
Setelah satu dasa warsa sejak jatuhnya Presiden Suharto yang terjadi pada puncak dari krisis ekonomi yang melanda dunia dan berimbas ke Indonesia, kita belum sepenuhnya terlepas dari kesulitan dan persoalan besar dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Dalam bidang perekonomian negara kita masih menghadapi tekanan besar dari gejolak (kenaikan) harga minyak dunia yang tidak bisa dihindarkan berimbas ke dalam negeri. Masalah terbesar lainnya adalah kesenjangan dalam berbagai aspek kemakmuran sebagai akibat gagalnya pemerataan hasil pembangunan.
Dalam bidang sosial, Indonesia masih tetap menghadapi persoalan besar yang antara lain adalah:
i. Pengangguran yang melibatkan hampir 40 juta tenaga kerja produktif. Angka ini terdiri dari mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja karena perusahaannya gulung tikar atau melakukan penghematan, para lulusan sekolah dan universitas yang masih mencari kerja dan pekerja sektor informal yang bekerja kurang dari 7 jam sehari.
ii. Pada akhir dari Krisis Ekonomi yaitu tahun 1998, presentasi dari jumlah penduduk miskin di Indonesia melejit dari angka semula yang 11% menjadi 19.9% karena meningkatnya jumlah pengangguran. (Menurut Data BPS tahun 2015, jumlah warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 28.59 juta atau 11% yang berarti sudah kembali ke angka yang tercapai pada era Orde Baru sebelum krisis ekonomi.
iii. Jumlah “anak jalanan” sangat meningkat walaupun sukar diketahui jumlahnya yang pasti.
iv. Meningkatnya kegiatan anarkis, kriminal, pencurian dan kejahatan jalanan lainnya.
v. Konflik sosial horizontal di berbagai daerah baik antar suku, antar kelompok agama dan yang sering terjadi saat ini adalah konflik antar pendukung fanatik calon-calon yang memperebutkan posisi\kepala Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Malahan konflik antar penduduk yang tinggal di wilayah yang berbatasan saja sering terjadi, bukan hanya di pedalaman malahan di Ibu Kota negara!
Dalam bidang politik, masalah terbesar yang masih dihadapi oleh pemerintah adalah gerakan separatis yang mencoba mendirikan negara merdeka diluar lingkungan NKRI. Walaupun persoalan yang terjadi di Aceh sudah bisa diselesaikan dan gerakan RMS bisa diabaikan, tetapi gerakan Organisasi Papua Merdeka masih merupakan api di dalam sekam. Selain daripada itu, para pengamat politik, sebagian besar politikus dan cendekiawan berpendapat bahwa gerakan Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 belum menghasilkan perubahan dan kemajuan yang signifikan kecuali turunnya presiden Suharto dan pemilihan umum yang benar-benar bebas rahasia setelah 32 tahun dibawah kendali Orde Baru. Hasil pertama Reformasi yang menyolok adalah terdaftarnya 99 Partai Politik untuk Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1999,
Masalah dan Tantangan Yang Dihadapi Manajemen Sumber Daya Manusia di Indonesia Dewasa ini
Masalah terbesar yang dihadapi oleh pemerintah dan (terutama) organisasi bisnis di Indonesia dewasa ini adalah rendahnya tingkat produktivitas pekerja. Hasil survey yang dilakukan oleh International Labor Organization (ILO) tahun 2003, yang diyakini masih belum banyak berubah, menunjukan bahwa produktivitas pekerja Indonesia (dan Filipina) adalah yang terendah di negara negara Asean. Sebuah tabel yang berada di halaman berikut menunjukan perbandingan tingkat produktifitas di beberapa negara Asean tersebut. Tiga hal yang BISA menjadi penyebab utama rendahnya tingkat produktifitas tersebut adalah dibawah ini:
1.Job Related Competencies dari pekerja Indonesia masih sangat lemah. Menurut Survey Angkatan Kerja Nasional yang dilaksanakan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik (1998) menunjukan bahwa latar belakang pendidikan angkatan kerja Indonesia adalah sebagai berikut;
- Sekitar 51% hanya memiliki pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar atau dibawahnya (Angka untuk tahun 2016, menurut BPS adalah 47.37% atau hanya berkurang sekitar 3.7% dalam 18 tahun).
- Sekitar 41% hanya memiliki penddidikan tingkat menengah (diatas Sekolah Dasar) selama 6 (enam) tahun (Jadi kira-kira tingkat SLTA atau sederajat) – (Data BPS untuk tahun 2016 adalah 43.66% atau meningkat dengan 2.66% saja).
- Sekitar 8% memiliki pendidikan diatas SLTA (Data untuk tahun 2016 menurut BPS adalah 8.96% atau hanya meningkat kurang dari 1% dalam waktu 18 tahun).
Tentu saja, dari sudut pandang ilmu kompetensi, ijazah dan sertifikat yang dimiliki seseorang belum tentu merefleksikan tingkat kompetensi seseorang tetapi paling sedikit itu adalah gambaran dari salah satu elemen kompetensi mereka.
2.Aspek atau pengaruh nilai-nilai budaya. Yang dimaksudkan adalah belum tertanam kuatnya nilai-nilai yang berorientasi kepada pencapaian prestasi kerja yang tinggi dan rendahnya komitmen pada kualitas. Menarik sekali apa yang ditulis oleh almarhum Prof. Kuncaraningrat dalam bukunya (1997: 34). Ia menulis bahwa menurut pengamatannya, bangsa Indonesia:
- Tidak berorientasi ke masa depan. Kalau meminjam istilah yang populer sekarang ini, mereka tidak memiliki VISI.
- Terlalu membanggakan kejayaan masa lalu (jaman kerajaan-kerajaan Majapahit dan Mataram yang notabene adalah kerajaan Jawa)!
- Berorientasi “keatas”; selalu meminta petunjuk dan pengarahan dari atasan!
- Tidak berorientasi kepada prestasi dan kinerja individual. Melanggar norma-norma kelompok adalah tabu!
- Cenderung emosional, terlalu sensitif dan memiliki kesadaran nasional yang cenderung sempit yang merupakan refleksi dari bangsa yang merasa rendah diri karena perlakuan yang diberikan penjajah selama 350 tahun lamanya!
Pengaruh nilai-nilai budaya tersebut juga masih sangat kuat tertanam pada kelompok karyawan tingkat pimpinan organisasi. Hal itu biasanya ditunjukkan oleh gaya kepemimpinan yang juga tidak berorientasi kepada pencapaian prestasi kerja yang tinggi.
3. Sistem, prosedur dan aturan kerja yang masih sangat birokratis yang dapat mengakibatkan lambannya penyelesaian pekerjaan. Contoh yang lain yang mudah dicari adalah dalam bidang pelayanan publik yang dilakukan oleh badan-badan pemerintahan.
Tingkat Produktivitas Pekerja di Beberapa Negara Asean
(Survey ILO tahun 2003 tentang berapa lama waktu yang dihabiskan pekerja untuk menyelesaikan tugas/pekerjaan yang sama di beberapa negara Asean).
Tantangan terbesar ke-2 yang sekaligus merupakan peluang bagi para praktisi manajemen sumber daya manusia Indonesia dewasa ini adalah apa yang disebut dengan “Talent Management”. Ini adalah bidang dimana para praktisi MSDM profesional bisa berkontribusi cukup besar dan punya kesempatan menerapkan pengetahuan dan keahlian mereka. Tugas-tugas dan kegiatan yang terkait dengan “talent management” adalah sebagai berikut:
- Pencarian, rekrutmen dan seleksi bakat terbaik dari sumber terbaik.
- Melatih dan mengembangan mereka menggunakan berbagai metode.
- Memotivasi dan mempertahankan (retensi) tenaga manajerial dan kelompok profesional dengan menerapkan strategi dan policy yang tepat.
Sayangnya, pada saat yang sama, para praktisi MSDM Indonesia mendapatkan sumber “sakit kepala” yang baru dalam bentuk tatanan dan sistem Hubungan Industrial/Hubungan Perburuhan era reformasi. Pada tahun 1999 dibawah semangat “Reformasi”, Pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin Presiden Habibie meratifikasi 10 Konvensi ini ILO dan salah satunya adalah Konvensi no. 87/1948 tentang kebebasan berserikat dan merundingkan syarat-syarat kerja secara kolektif. Konvensi no. 87 tersebut kemudian disahkan dengan Undang-undang No.21/2000.
Menurut ketentuan Undang-undang tersebut adalah dimungkinkan bagi 10 orang karyawan perusahaan untuk mendirikan sebuah organisasi pekerja dalam sebuah perusahaan. Pimpinan perusahaan tidak diperbolehkan secara hukum untuk menghentikan pendirian atau pembentukan organisasi pekerja tersebut. Sebagai hasilnya, adalah bahwa dalam sebuah perusahaan bisa berdiri lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja. Pada tahun 2003 Pemerintah juga mengeluarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang mengatur tentang hubungan kerja dan segala hak dan kewajiban pekerja yang sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan seru antara pihak Asosiasi Pengusaha, Serikat Pekerja dan Pemerintah.
Kesiapan para praktisi MSDM Indonesia
Sebuah pertanyaan besar yang harus kita jawab adalah apakah kita (khususnya anda yang masih aktif) sebagi praktisi MSDM Indonesia siap menghadapi tantangan besar tersebut dan mengambil keuntungan dari peluang yang tersedia? Tidak dapat dibantah bahwa banyak juga yang sudah menyiapkan diri untuk menghadapi tantangan besar tersebut dan secara kontinyu meningkatkan profesionalisme mereka. Walaupun demikian, hasil menurut pengamatan saya, pada saat menjadi Ketua Asosiasi Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia dari tahun 1987 sampai 1999 dan kemudian sebagai konsultan dalam bidang ini sampai saat ini, masih lebih banyak praktisi MSDM yang membutuhkan bantuan dan dorongan. Banyak dari mereka yang mengeluh tentang hal-hal di bawah ini:
- Mereka merasa tidak dianggap penting oleh pimpinan perusahaan dan tidak memperoleh respek dari para manajer operasional.
- Mereka selalu dijadikan “kambing hitam” dan “kambing congek” yang bisa dikorbankan setiap saat!
- Mereka mengerjakan pekerjaan yang orang lain tidak mau kerjakan dan tidak pernah mendapat ucapan terima kasih untuk apa yang mereka kerjakan!
Keluhan para praktisi MSDM tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan. Banyak pimpinan perusahaan dan manajer operasional yang memiliki persepsi (dan paradigma) bahwa apa yang dikerjakan oleh bagian atau fungsi sumber daya manusia (personalia) hanyalah hal-hal di bawah ini:
- Menyediakan atau mengurusi pelayanan untuk karyawan seperti kantin, transportasi, air minum, foto copy, administrasi gaji/upah, cuti, dll.
- Mengeluarkan dana/anggaran untuk berbagai kegiatan yang tidak kelihatan hasilnya.
- Menjadi “Keranjang Sampah” yang menjadi tempat membuang barang-barang kotor yang kita tidak gunakan lagi.
Karena kuatnya persepsi dan ketidak tahuan itu maka para manajer puncak dan manajer operasional juga menganggap bahwa pekerjaan pengelolaan sumber daya manusia adalah pekerjaan mudah. Siapa saja, dan biasanya orang yang dianggap gagal dalam bidang lain, bisa diangkat jadi “Manager Sumber Daya Manusia”.
Sebenarnya, yang bisa disalahkan atas terciptanya citra profesi “manager” sumber daya manusia yang kurang menyenangkan tersebut adalah para manager sumber daya manusia itu sendiri. Dalam pengalaman saya, citra negatif manager sumber daya manusia akan terjadi bila manager SDM:
- Tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka oleh organisasi tempatnya bekerja (atau tidak berusaha tahu)!
- Tidak berusaha mengedukasi para manager operasional tentang apa sebenarnya peran dan kontribusi Manajemen SDM dan Manajer SDM pada organisasinya.
- Lemah dalam semua dimensi dari kompetensi yang dituntut.
- Sebenarnya tidak tertarik pada bidang SDM dan menjadi manager SDM bukan atas pilihannya sendiri.
Apakah Ada Obat Mujarab Untuk Masalah Sumber Daya Manusia?
Dalam masa 50 tahun terakhir, para praktisi manajemen dan para spesialis dari berbagai bidang dalam manajemen organisasi, bisnis ataupun non-bisnis telah mendapat tawaran bertubi-tubi untuk menggunakan berbagai konsep, pendekatan, metode, teknik dan sistem baru. Konsep, metode, dll yang baru itu ditawarkan untuk mencoba memecahkan masalah-masalah manajemen termasuk masalah rendahnya produktifitas, motivasi dan kualitas hasil kerja. Sebagian besar dari konsep, metode, teknik, dll itu dikembangkan oleh para praktisi sendiri di perusahaan-perusahaan tapi sebagian besar dikembangkan oleh para konsultan, mantan praktisi yang menjadi konsultan dan akademisi. Hampir keseluruhannya dikembangkan di negara-negara Barat dan ada 1 atau 2 yang dikembangkan di Jepang. Apa yang ditawarkan kepada kita dalam setengah abad terakhir ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.
Berkat gencarnya promosi yang diperkuat oleh bukti-bukti keberhasilan organisasi yang menerapkannya dan adanya kehausan untuk mencoba hal-hal baru maka hampir semua konsep, metode dan teknik itu laku keras di “pasar”. Belum lama ini ada seorang rekan seprofesi yang Direktur sumber daya manusia di sebuah perusahaan nasional meminta pendapat saya, apakah kalau perusahaan dia belum menerapkan Competency Based HRM maka perusahaannya dan rekan itu dianggap ketinggalan jaman? Jawaban saya untuk pertanyaannya singkat saja bahwa sebagai seorang Direktur yang menangani bidang sumber daya manusia di perusahaan tersebut ia harus bisa memutuskan apakah konsep itu yang saat ini sangat dibutuhkan oleh perusahaannya?
Banyak praktisi MSDM yang merasa diri mereka ketinggalan jaman karena misalnya belum menerapkan sistem penilaian kinerja/unjuk kerja karyawan yang berbasis Balance Score Card padahal organisasi lain sudah. Banyak praktisi MSDM Indonesia mencemohkan perusahaan yang masih menggunakan sistem yang berbasis sasaran kerja individu atau kelompok seperti diajarkan oleh konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBO) dan menganggap MBO sudah ketinggalan jaman dengan segala kelemahannya. Padahal di negeri Jepang MBO baru sangat populer dalam 5 tahun terakhir dan masih banyak perusahaan di beberapa negara Asia yang maju seperti Singapura masih menggunakan MBO! Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa masih banyak industri manufaktur yang menggunakan konsep dan teknik Time and Motion Study yang diajarkan oleh Frederick Taylor lebih dari setengah abad lalu untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas pekerja dan operasinya!
Keputusan menggunakan sebuah konsep, pedekatan, metode atau teknik harus dibuat untuk memenuhi kebutuhan organisasi tersebut pada saat itu? Kebutuhan tersebut mungkin berupa solusi atas masalah yang mereka hadapi pada saat itu yang berkaitan dengan kinerja organisasi dan kinerja sumber daya manusia mereka. Atau bisa saja kebutuhannya adalah sebuah konsep, pendekatan atau metode untuk memperkuat kinerja dan kapabilitas organisasi agar terhindar dari masalah yang akan dihadapi di masa depan! Oleh karena itu, sebelum membuat keputusan tentang konsep, pendekatan, metode atau teknik mana yang akan digunakan haruslah dilakukan studi, penelitian, kajian dan telaahan tentang beberapa hal. Pertama, apa sebenarnya masalah yang dihadapi dan harus dipecahkan? Apakah produktifitas yang rendah? Kalau ya, apa penyebabnya? Apakah kompetensi SDM pelaksana? Kompetensi SDM pimpinan? atau malah tidak ada kaitan dengan SDM? Setelah itu, harus dipelajari pula visi, strategi dan nilai-nilai (budaya) organisasi yang mereka ingin terapkan! Dengan demikian maka keputusan untuk menerapkan sebuah konsep baru bukanlah karena perusahaan saingan kita telah menerapkan konsep itu. Mengacu ke “the best practice” untuk membuat keputusan mengandung resiko kegagalan. Apa yang cocok dan berhasil untuk organisasi lain belum tentu cocok untuk organisasi kita. Pendekatan yang harus dipilih adalah konsep “the best fit”.
Jadi apa yang harus dilakukan praktisi MSDM Indonesia?
Para praktisi manajemen sumber daya manusia yang ingin menyiapkan diri mereka menerima tantangan dan memanfaatkan peluang yang berada di hadapan mereka haruslah pertama-tama menyadari bahwa peran mereka sekarang sudah berubah. Peran baru mereka seharusnya adalah membantu memastikan bahwa organisasi dimana mereka bekerja akan bersikap pro-aktif dan selalu mengantisipasi perubahan yang akan terjadi dalam lingkungan strategik dan mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut secara cepat. Para manager dan eksekutif sumber daya manusia memiliki peran yang kritis dalam memastikan bahwa organisasi tempat mereka bekerja akan mampu bertahan dan malah menjadi pemenang dalam persaingan yang ganas dalam abad 21 ini melalui pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia mereka.
Sebuah survey menarik diselenggarakan oleh KORN Ferry International, salah satu biro kunsultan pencari eksekutif yang biasa disebut “Head Hunter” terbesar di dunia yang bekerja sama dengan Columbia University, New York, pada tahun 1988. Hasilnya menunjukan bahwa dalam abad 21, MSDM dianggap sebagai keahlian dan kekhawatiran nomor 2 oleh hampir semua Chief Executive Officers (CEO) dari 2000 perusahaan besar di USA, Eropa, Jepang dan Amerika Latin yang menjadi respondent survey tersebut (KORN Ferry Int. & Columbia University; “Reinventing the Corporations” – 1989). Urutan yang ditampilkan oleh para CEO mengenai kekhawatiran mereka pada tahun 1989 dibandingkan dengan untuk tahun 2000 dan seterusnya ditunjukkan dalam Tabel di bawah ini:
Pandangan 2000 orang CEO perusahaan dunia tersebut sebenarnya sudah diadopsi oleh para CEO perusahaan Indonesia terutama yang berklasifikasi perusahaan multi-nasional dan perusahaan nasional besar. Sayang sekali bahwa setelah Indonesia terimbas krisis ekonomi yang sangat parah pada tahun 1997 fokus perhatian sebagian pimpinan perusahaan Indonesia masih pada usaha untuk survive dengan berbagai cara dan tentu saja yang paling mudah dilakukan adalah melakukan “pehaka” besar-besaran. Tabel hasil survey tersebut di atas sebenarnya mengindikasikan peluang yang sangat terbuka lebar bagi para manager dan praktisi MSDM Indonesia untuk meningkatkan peran mereka.
Untuk bisa ikut berkontribusi dalam melakukan perubahan di organisasinya mereka sendiri harus melakukan perubahan besar pada diri mereka sendiri yaitu dari seorang “pegawai tata usaha yang dibayar tinggi” menjadi “penasihat ahli” dalam bidang pendayagunaan sumber daya manusia dan terlibat dalam perumusan visi dan strategi bisnis. Mereka juga harus berubah dari seorang pejabat yang melaksanakan pekerjaan administrasi kepegawaian menjadi pejabat yang melaksanakan “manajemen” sumber daya manusia. Untuk keperluan pembahasan ini saya akan mendefinisikan Manajemen Sumber Daya Manusia sebagai: “Manajemen dari kegiatan pengadaan, pelatihan, pengembangan, pendayagunaan, pengintegrasian, pemeliharaan dan pengembalian tenaga kerja dalam organisasi”. Definisi tersebut saya rangkumkan dari berbagai definisi yang diberikan oleh para penulis seperti Bernardin & Russel, Flippo, dan Ivancecich.
Menurut survey yang dilakukan oleh Tower Perrin (1993) dan Singapore Institute of HR Management 1996, bidang-bidang utama dimana para manager dan eksekutif MSDM diharapkan oleh para CEO untuk memainkan peran utama (leading role) adalah di bawah ini:
- Peningkatan produktifitas karyawan!
- Management Development dan Program Suksesi
- Moril dan Kepuasan Kerja
- Hubungan antara pimpinan perusahaan dan pekerja yang kondusif
Perubahan atau pengayaan kompetensi secara lebih lengkap dapat digambarkan dalam tabel dimensi kompetensi di bawah ini.
Dalam pengalaman saya sebagai praktisi MSDM selama 25 tahun, yang kemudian dilanjutkan sebagai konsultan MSDM selama 10 tahun terakhir, keahlian berkomunikasi adalah keahlian terpenting yang dalam profesi ini. Seorang manager SDM berkomunikasi setiap hari dengan setiap orang pada tiap level dari organisasinya dan dengan pihak-pihak di luar organisasinya. Termasuk dalam keahlian berkomunikasi adalah kemampuan mempengaruhi, “menjual” (gagasan/konsep), negosiasi, mengajar, membimbing dan melakukan prsentasi.
Jakarta, 24 Mei 2008
Referensi:
- Drucker, Peter F; “The New Reality”, Mandarin, London UK, 1989
- Becker Brian E., Huselid, Mark A., & Ulrich, Dave.; “ HR Scorecard Linking People Strategy & Performance”, Harvard Business School, USA, 2001.
- Departmen Tenaga Kerja RI (Ministry of Manpower of RI); “Laporan Enam Bulanan” (Six Monthly Report), Juli 1998.
- Korn Ferry International; “Reinventing the Corporation” (1989)
- Krames, Jeffry A. “The Welch Way; 24 Lessons From the World ‘s Greatest CEO”, Mc Graw-Hill Book Company, USA 2002
- Kuncaraningrat; “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1997.
- Naisbitt, John; “Megatrends”, Ten New Directions Transforming Our Lives”, Warner Bross, New York, 1985
- Newsweek Magazine, February 18, 2002
- Newsweek Magazine, Special Davos Edition, December 2001 – February 2002
- Tofler, Alvin; “The Adaptive Corporation” (Indonesian Version), Panca Simpati Jakarta, 1985