Dalam beberapa bulan sejak bulan Juni tahun 2011, begitu saya diangkat menjadi Komisaris P.T. Krakatau Steel, tiap kali saya ke kantor yang berlokasi di Jalan. Gatot Subroto, Jakarta, begitu mobil masuk halaman kantor, anggota Satpam yang jaga pintu segera berkomunikasi melalui HT dengan rekannya yang berjaga di lobby. Begitu saya keluar dari mobil, anggota Satpam lain membuka pintu, menawarkan untuk membawakan tas (yang saya selalu tolak), lalu mengawal menuju Lift. Ia menekan tombol Lift dan mengawal saya terus sampai di lantai tempat ruang kerja saya. Pintu ruangan juga dibuka oleh anggota Satpam (saat itu tidak bisa saya tolak karena pintu hanya bisa dibuka oleh ID Card mereka!). 25 tahun lalu, sebagai Direktur di sebuah perusahaan makanan raksasa dengan jumlah karyawan hampir 10.000 orang, saya melakukan perjalanan dinas ke Medan. Tidak disengaja, dalam pesawat GIA dikelas bisnis saya duduk disebelah seorang teman kuliah di Unpad. Saat itu ternyata dia juga Direktur di salah satu PTPN. Ketika kami mendarat di Medan begitu pintu terbuka, tiba-tiba seorang pria masuk lalu dengan sigap mengambil tas kerja dan tas pakaian teman tersebut dari tempat bagasi kabin dan membawanya turun diikuti teman saya yang berjalan melenggang menuju mobil dinas yang menunggu. Saya menjinjing sendiri tas kerja dan tas pakaian dan mencari sopir yang menjemput saya diluar. Saya memang telah meminta Kepala Pabrik disana untuk hanya mengirim kendaraan saja untuk menjemput saya. Ia harus tetap berada di tempat kerja yang merupakan tanggung jawab utamanya.
Contoh-contoh diatas adalah 2 buah ciri dari Budaya Organisasi yang feodalistis. Pelayanan dan perlakuan istimewa untuk para pejabat senior seperti itu selalu membuat saya merasa rikuh. Kebetulan, cara-cara seperti itu tidak ada di perusahaan multi nasional dan perusahaan nasional besar tempat saya dulu bekerja sejak level Manager sampai level Direktur. Beberapa pimpinan perusahaan dan pengusaha sukses yang saya kenal baik selalu bersikap dan berperilaku jauh dari feodalistis. Kebiasaan tersebut telah membuat mereka (dan saya) tidak mengalami apa yang disebut “sindroma pasca kekuasaan” setelah jadi orang “biasa” lagi. Saya malah bisa menikmati status sebagai orang ‘biasa” tanpa canggung.
Catatan saya tentang topik itu rupanya dianggap menarik dan telah mengundang banyak tanggapan dan diskusi. Beberapa tanggapan, antara lain:
- Dari seorang teman yang pejabat di Ditjend Pajak: “Menurut pengalaman saya, budaya ‘feodalistis’ masih sangat terlihat diantara para Pejabat Daerah. Kita bisa saksikan, betapa sangat birokratisnya jika ingin ketemu dengan Bupati apalagi Gubernur atau pejabat daerah lainnya. Walaupun hal ini tergantung juga dari pribadi pejabat. Tapi pada umumnya para ‘abdi dalem’ terlihat senang sekali memberikan perlakuan ‘protokoler’ kepada para pejabat daerah tersebut”.
- Dari seorang pengusaha muda: “Saya pernah menyaksikan contoh yang lebih buruk. Seorang Bupati dari luar Jawa yang sehat walafiat, tiap kali mau main golf, dia bawa pelayan sendiri yang membantunya memakaikan sepatunya didepan banyak orang. Bayangkan kalau dia jadi Presiden”
- Dari seorang teman yang Sekretaris Jenderal sebuah Kementrian: “Saya lihat budaya feodal tersebut masih terdapat di banyak BUMN kita. Saya pernah mengalami langsung kondisi tersebut waktu praktek kerja di salah satu BUMN di Jember sekitar tahun 1977. Saya suprised sekali bagaimana sifat feodal sangat terasa di lingkungan perusahaan tersebut. Seorang pejabat disana di perlakukan dan dilayani oleh para karyawan sebagaimana kita lihat di film-film tentang gaya orang-orang Belanda terhadap pribumi jaman penjajahan dulu. Saya bersyukur tidak mengalami hal yang sama di BUMN dimana saya pernah bersama-sama dengan Pak Sofyan. Hehehehe”
- Di bawah ini adalah komentar bernada humor dari seorang teman baik saya yaitu Prof. Jana T. Anggadiredja (BPPT); As.w.w. heheheh, kang, saya punya pengalaman mengenai sikap feodalistis di kantor saya. Dari dulu sampai sekarang, kalau di mobil, saya punya kebiasaan duduk di depan di samping supir. Dulu ketika saya menduduki jabatan Eselon I kebiasaan itu tetap saya jalankan. Kebiasaan lain yang saya tidak suka dan tidak pernah dijalankan adalah dibukakan pintu dan dibawakan tas oleh satpam atau siapa saja. (Masalahnya tiap hari di tas saya selalu ada uang 3 M, hehehe,.. Marebu, Maratus, Mapuluh)… Perilaku saya jadi gunjingan,.dan ada satpam yang kemudian berani tanya : “Bapak kenapa kalo di mobil selalu duduk di depan di samping supir, tidak dibelakang seperti bos-bos yang lain?” Saya jawab dengan santai; “Saya tidak mau sampainya keduluan sama supir, kalo duduk di depan kan bareng sampainya sama supir. Awalnya si Satpam kurang paham karena dia ngerutkan dahi, tapi kemudian tersenyum. Eh alasan saya kurang bisa diterima, dan minggu depannya ada lagi Satpam bertanya tentang hal sama. Sambil rada keuheul (kesal) tapi dibarengi ketawa akhirnya saya jawab: “Saya ini orang kampung. Waktu kecil malahan saya sering berdiri di mobil agar bisa lihat jalan, Saya duduk di depan agar bisa lihat jalan, karena sebagai orang kampung, kalo naik mobil tidak bisa lihat jalan,…. Suka pusing”…. Setelah itu tak ada lagi yang berani tanya…. Hehehehe.
Tambahan catatan dari saya adalah dua contoh perilaku “boss” yang sangat kontradiktif dengan budaya feodalistik.
- Waktu saya bekerja di Roy M Hufficton inc (sekarang Vico Indonesia) perusahaan minyak dan gas bumi A.S di Kalimantan Timur tahun 1982- 1985 lalu. Suatu hari pemegang saham utama yaitu Mr Roy M Huffington datang, Perusahaan menyelenggarakan resepsi penyambutan dan para manajer serta istri mereka diundang, Mr Huffington menyambut dan menyalami semua orang di pintu dan pada waktu semua akan pulang membantu membukakan pintu mobil untuk istri2 manajer (termasuk manajer Indonesia) yang suaminya mengemudi sendiri……
- Akhir tahun 1994, waktu akan terjadi pergantian Presiden Direktur perusahaan tempat saya bekerja sebagai Direktur saya diminta datang ke Kantor Pusat di Jerman untuk memberikan briefing kepada Presiden Direktur yang baru tersebut sebelum ia datang ke Indonesia. Baru saja saya duduk ia menawari saya kopi dan saya jawab “ya”. Saya mengira ia akan menelpun seseorang untuk minta dibawakan kopi tetapi ternyata ia pergi ke mesin pembuat kopi untuk membuatnya sendiri. Saya tergesagesa bangun dan menemaninya ketempat membuat kopi sambil ngobrol dan membawa kopi hasil buatannya.
Sejak saya menyebarkan tulisan tersebut melalui BlackBerry Messenger, sampai esok sorenya saya menerima hampir 40 buah komentar yang pada dasarnya bernada kurang “sreg” dengan budaya organisasi seperti itu. Beberapa komentar itu saya sebarkan pagi ini. Sebenarnya saya tidak bermaksud membahas topik ini dengan terlalu mendalam tetapi sebagian besar tentu bertanya tanya: “Apakah keburukan budaya organisasi feodalistis itu dan apa dampak negatif bagi kinerja organisasi”. Dalam organisasi (perusahaan, atau institusi pemerintahan, dan lain-lain) yang kental sekali budaya feodalistisnya dengan mudah akan terlihat bahwa tiap orang akan berusaha memberikan pelayanan yang istimewa kepada semua jajaran pimpinan dimulai dengan atasan langsung, terus sampai ke yang paling atas. Pelayanan istimewa juga diberikan kepada pejabat institusi lain yang dianggap punya “posisi” tinggi dari organisasi tersebut, misalnya para pemegang saham bagi perusahaan, atau lembaga legislatif, penegak hukum dan pengawas bagi institusi pemerintahan. Waktu, energi, dan perhatian pegawai pada semua jajaran lebih banyak dipakai untuk memuaskan pribadi para atasan dan pimpinan.
Sebaliknya, para pemangku kepentingan lain, yang terutama para pengguna produk atau jasa (terutama pelayanan publik), dan pemasok bahan dan jasa justru malah dianggap warga negara “kelas dua”. Semua keluhan hanya dilayani sekedar basa basi saja. Selain itu, karena atasan/pimpinan dianggap “penguasa” maka kepemimpinan otokratis akan mudah sekali berkembang dan akibatnya: inovasi, kreativitas dan keberanian untuk mengambil inisiatif sukar berkembang. Mengapa program Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah sejak 5 tahun lalu minim sekali dampak positifnya dalam bentuk peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik adalah karena yang menjadi sasaran utama untuk dirubah dan diperbaiki adalah peraturan dan aturan, bukan budaya organisasi. Dengan ini maka diskusi tentang topik ini saya akhiri dan terima kasih untuk komentar Anda semua