Bulan Nopember dan Desember tahun 2016 lalu beberapa Serikat Pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia melakukan unjuk rasa memprotes PP No.78 yang dianggap oleh buruh sebagai tidak adil. Untuk awal tahun 2017 ini belum terdengar bahwa mereka juga akan mekukan unjuk rasa lagi. Tulisan ini tidak saya buat untuk membahas PP No.78 Tahun 2015 tersebut apalagi tentang bagian mana yang dianggap tidak adil. Saya hanya akan membahas tentang dua butir terkait pengaturan upah di Indonesia yang sudah belasan tahun “menggelitik” saya.

Pada bulan Nopember tahun 2016 lalu saya ajukan  pertanyaan tentang dua hal tersebut dalam satu Group WA dan satu Group Telegram para praktisi dan konsultan manajemen sumberdaya manusia Indonesia. Saya mengharapkan agar peryanyaan tersebut akan dijawab untuk dijawab oleh siapa saja. Tetapi ternyata, dari jam 07.00 WIB sampai jam 15.00 WIB ini tidak ada yang bisa atau mau menjawab dua pertanyaan saya tersebut.

Dua pertanyaan saya tersebut  adalah dibawah ini.

1. ISTILAH UPAH vs. GAJI.

UU No.13 tahun 2003, Kepmen No.49 Tahun 2004, dan PP No.78 Tahun 2015 yang semua mengatur tentang imbalan untuk orang yang bekerja di sektor usaha (di perusahaan), secara konsisten menggunakan istilah UPAH dalam semua pasal pasalnya. Tetapi dalam semua Peraturan Pemerintah dan UU termasuk UU Aparatur Sipil Nasional tahun 2014, pemerintah dan DPR secara konsisten menggunakan istilah GAJI untuk imbalan bagi pegawai negeri. Sebenarnya bukan hanya untuk Pegawai Negeri Sipil tetapi istilah gaji juga digunakan untul anggota TNI dan POLRI. Apakah UPAH dan GAJI itu berbeda? Bila berbeda, apa sebenarnya perbedaan antarnya? Lalu, MENGAPA pemerintah menggunakan istilah yang berbeda untuk dua sektor ini? Apa alasan dan latar belakangnya?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Upah berkonotasi sebagai imbalan untuk mereka yang mengerjakan pekerjaan “rendahan”, misalnya tukang,  pekerja kasar seperti operator pabrik dan pekerja lapangan. Sebaliknya, gaji berkonotasi sebagai imbalan untuk pekerja kantoran (krah putih) dan pejabat. Bukankah pembedaan itu dapat menimbulkan kesan bahwa  orang yang bekerja di sektor usaha dianggap punya derajat lebih rendah dari PNS dan Anggota TNI atau POLRI?

Saya juga tidak tahu apa  alasan dan latar belakangnya. Saya juga pernah menanyakan kepada beberapa pejabat di Kemnaker, Kementrian PAN dan BKN tapi mereka semua hanya tertawa. Mungkin juga tidak mau menjawab pertanyaan tersebut. Hehehehe

2. PENERAPAN KONVENSI ILO No.100

Pemerintah Indonesia dengan kesepakatan DPR pada tahun 1999 lalu telah meratifikasi KONVENSI ILO No.100 tahun 1951 yang ringkasannya berbunyi sebagai berikut: “Equal Remuneration for Jobs of Equal Value”. Konvensi no. 100 ini “aslinya” ditujukan untuk menghilangkan diskriminasi dalam penetapan upah antara pekerja laki laki dan perempuan. Ditetapkan bahwa selama pekerja perempuan dan laki laki mengerjakan pekerjaan yang sama jenis dan nilai (“bobot”) -nya maka pekerja perempuan harus diberikan remunerasi yang sama dengan pekerja laki laki. Remunerasi yang dimaksud dalam konteks ini adalah upah/gaji ditambah berbagai tunjangan, fasilitas dan lain lain yang mungkin diberikan oleh pemberi kerja.

Walaupun semula dimaksudkan untuk menghilangkan diskriminasi atas dasar gender dalam pengupahan teyapi bunyi konvensi tersebut, sebenarnya adalah prinsip dasar bagi sistem pengupahan yang adil (fair) karena didasarkan pada “job value” atau “bobot jabatan”. UU No.13 tahun 2003, Kepmen No. 49 tahun 2004 dan PP No 78 tahun 2015 sebenarnya telah menetapkan dan mengatur tentang hal itu. Tetapi, bunyi pasal 92 UU no.13, pasal 10 Kepmen no.49/2004 dan pasal 14 PP No.78/2015 secara konsisten menyatakan bahwa;

“dalam menyusun struktur dan skala upah perusahaan (harus) perhatikan  GOLONGAN, Jabatan, dan MASA KERJA”.

Untuk bagian yang ini, pertanyaan saya sebenarnya ada dua:

a. Apa yang dimaksud dengan GOLONGAN dalam konteks ini? Dari mana datangnya istilah “golongan” itu? Apakah menjiplak PGPS yang menetapkan bahwa  semua Pegawai Negeri Sipil yang berstatus  tetap nendapat “golongan dan pangkat” yang ada kaitannya  dengan, atau menhadi dasar bagi besarnya gaji mereka?

Bila para pembuat undang undang mau secara khusus mempelajari dulu bagaimana perusahaan-perusahaan modern di Indonesia mengatur dan menata pengupahan pekerja, mereka akan menemukan berbagai sebutan dan cara telah digunakan tanpa melanggar ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri.

b. Mengapa MASA KERJA  harus dijadikan acuan untuk STRUKTUR SKALA UPAH? Ada anggapan  bahwa pertambahan pengalaman kerja seorang pekerja harus dihargai dalam bentuk kemajuan upah/gaji. Tapi bagaimana kalau pekerja itu selama bertahun tahun hanya mengerjakan tugas yang sama (itu itu saja) dan unjuk kerja serta produktivitasnya juga “begitu begitu” saja alias  tidak pernah meningkat?

Sekali lagi, saya tidak akan berusaha menjawab 2 atau 3  pertanyaan tersebut karena saya juga tidak tahu.

Hehehehe

Jakarta Januari 2017