Tulisan saya kali ini akan kembali nyerempet soal politik. Tapi hanya menyerempet, karena saya bukan politikus. barangkali bisa disebut pengamat paruh waktu karena saat menjadi anggota pimpinan puncak korporasi walaupun tidak boleh ikut politik praktis tetapi juga tidak boleh buta politik sama sekali. Tulisan ini terdiri dari beberapa buah catatan pendek yang saya kumpulkan sejak tahun 2012 lalu dengan judul judul:

  1. “They Vote The Government Out”
  2. “Lebih Gampang Jadi Politikus
  3. “Nyapres; Serius atau Becanda?”
  4. “Tiga Penggoda”

1. “They Vote The Government Out”.

Sejak bulan Nopember tahun 2016 lalu, banyak orang diseluruh dunia masih terperangah oleh kemenangan Donald Trump dalam pemilihan umum untuk menjadi presiden di Amerika Serikat. Semula, sebagian besar orang masih sangat yakin bahwa harapan Trump adalah kecil untuk bisa memenangkan pemilihan umum tersebut baik karena pengalaman Trump yang minim dalam berpolitik atau karena latar belakangnya sebagai orang bisnis yang memiliki banyak catatan yang dianggap meragukan. Kemenangan  Trump tersebut mengingatkan saya pada sebuah adagiom yang saya dengar dari seorang sahabat saya orang Australia di Melbourne, 40 th lalu. Adagiom tersebut populer diantara para politikus di beberapa  negara “Barat” khususnya Inggeris, Australia dan Negara-negara “Commonwealth”. Adagiom itu berbunyi sbb:

“People do not vote the government IN, they vote the government OUT”.

Maksud (bukan terjemahan harfiah) dari adagiom tersebut adalah sebagai berikut: “Rakyat (pemilih) memberikan suara mereka kepada seorang calon atau kepada sebuah Partai yang berusaha “merebut” kekuasaan, BUKAN karena ingin agar calon dari Partai tersebut dan partainya menjadi pemenang dan berkuasa, atau karena yakin bahwa partai oposisi tersebut akan menjalankan pemerintahan dengan lebih baik. Mereka melakukan hal itu karena sudah tidak suka atau tidak percaya dengan pemimpin atau partai yang saat itu berkuasa (patahana). Itu adalah karakter tipikal dari para “swing voters” yaitu warga yang tidak mau jadi anggota Parpol manapun. Dengan demikian maka warga Negara Amerika Serikat yang berhak memilih, telah memberikan suaranya kepada Trump sebagai calon Partai Republik yang sudah sangat lama menjadi partai oposisi karena sudah “merasa cukup” dengan Partai Demokrat yaitu partainya Obama dan Hillary Clinton, dan tidak yakin bahwa partai tersebut bisa berbuat lebih banyak untuk memperbaiki kondisi perekonomian Amerika Serikat yang banyak ahli menyatakan sedang dalam kondisi tidak sebagus 10 sampai 20 tahun lalu. Beberapa contoh mutakhir di Indonesia adalah apa yang terjadi pada tahun 2013 lalu saat Ganjar Pranowo yang memenangkan Pilkada Tingkat I di Jateng dan Jokowi menang di DKI. Saat itu, para pemilih di Jateng dan DKI  memilih mereka karena SUDAH TIDAK PERCAYA lagi kepada Bibit dan Foke, BUKAN karena sangat yakin bahwa Ganjar dan Jokowi akan lebih baik dari Bibit dan Foke dan akan berhasil membuat perubahan positif di daerah masing-masing. Hal itu masih harus mereka buktikan. Oleh karena itu, tepat sekali bila dua sampai tiga tahun pertama dari era pemerintahan mereka, Ganjar dan Jokowi (yang kemudian digantikan oleh Basuki Tjahaya Purnama) harus terlihat  berusaha keras memenuhi janji-jani mereka. Dengan kata lain, kalau ada pejabat patahana tetap mendapat suara terbanyak itu artinya rakyat masih percaya bahwa mereka masih lebih baik dari lawannya. Bisa dilihat dari hasil Pilkada di Jawa Barat, Bali dan Sumatera Utara walaupun ada calon yang kampanyenya dibantu oleh Jokowi.

Dalam waktu dua minggu yang akan datang, Pemilukada serentak akan dilakukan di sejumlah Daerah Tingkat II dan I (termasuk DKI). Mari kita lihat bagaimana hasilnya.

2. “Lebih Gampang Jadi Politikus” Hari Kamis, 14 Maret 2013 | 05:41 Tempo Interaktif mengutip Dahlan Iskan pengusaha media cetak berdomisili di Surabaya yang saat itu menduduki jabatan Menteri Negara BUMN berkata sebagai berikut: “Indonesia Terlalu Banyak Politikus. (Padahal), sebagai pengusaha, seseorang akan bisa bekerja mandiri tanpa harus mengikuti birokrasi-birokrasi).” Untuk melihat berita itu, silahkan klik; http://tempointeraktif.com/hg/bisnis/2013/03/14/brk,20130314-466943,id.html

Secara prinsip, saya sangat setuju dengan pendapat beliau. Maksud saya negara kita masih membutuhkan banyak wirausaha. Tapi, Pak Dahlan yang juga seorang pengusaha pasti sangat tahu, bahwa hanya orang-orang tertentu yang bisa menjadi pengusaha yang sukses. Ia harus kreatif, ulet, berani ambil resiko, hemat, pandai bergaul, dan banyak syarat lain. Mereka yang mau membangun karir sebagai tenaga profesional di industri juga harus memenuhi syarat-syarat yang berat. Perusahaan perusahaan multi nasional atau nasional besar biasanya memilih lulusan universitas ternama, terutama universitas luar negeri. IPK nya minimal 3.5, fasih berbahasa Ingeris, lulus tes psikologis/asesmen, dan memenuhi persyaratan lain. Oleh karena itu banyak mahasiswa yang berfikir lebih  “pragmatis”. Untuk apa repot-repot lulus sebagai  sarjana dengan nilai bagus tapi untuk dapat pekerjaan sebagai tenaga profesional sulit sekali. Lebih baik ambil jalur yang lebih mudah, yaitu jalur politik. Apalagi di banyak Negara seperti Indonesia, justru para politikus yang bisa menentukan seperti apa bunyi undang undang yang akan dibuat. Para tokoh bisnis pun harus berbaik-baik, banyak banyak punya S3 yang bukan gelar doctor tetapi Salam, Senyum dan Setor !

Mengapa saya katakan bahwa persyaratan untuk menjadi poltikus lebih mudah dan sangat jauh berbeda dibanding menjadi tenaga profesional bisnis? Yang dicari oleh Partai Politik (di Indonesia) adalah orang yang punya pengalaman berorganisasi, punya keahlian ber-orasi dan menggerakan massa. Atau minimal sudah dikenal umum, mungkin sebagai selebriti didunia hiburan atau dikenal karena perilakunya. Atau tanpa modal macam macam itu tapi ayah atau ibu adalah yang punya partai atau orang kuat di partai. Dengan modal-modal seperti itu orang bisa jadi “anggota Senayan yang terhormat” dan mendapat gaji puluhan juta Rp, tunjangan besar, plus peluang dapat “sabetan”. Atau bisa meloncat menjadi calon Kepala Daerah dan ikut Pilkada.

Silahkan baca juga berita ini: Deputi Menko Perekonomian; “Minim, Jiwa Kewirausahaan di Indonesia”, Tempo Interaktif, 18 February 2013 Silahkan klik http://tempo.co/read/news/2013/02/18/090462035

3.   “Nyapres: Serius atau Lelucon” Saya ingat, bahwa menjelang pemilihan Presiden tahun 2014 lalu, sejak awal tahun 2013 telah muncul, dimunculkan (atau memunculkan diri) beberapa orang yang mendeklarasikan diri siap untuk jadi Calon Presiden R.I. Saat itu termasuk penyanyi dangdut Rhoma Irama dan yang terakhir adalah berita dibawah ini. http://news.detik.com/read/2013/05/27/122407/2256565/10/undang-politisi-eyang-subur-mau-daftar-konvensi-capres-pd Terlepas dari tujuan mereka atau orang-orang yang berada dibelakang mereka, saat saya membaca berita-berita itu dan melihat tayangannya di TV, saya dilanda bermacam perasaan dan pikiran. Disatu fihak saya mengakui bahwa dalam alam demokrasi ini adalah sah saja bagi tiap orang yang tidak punya masalah hukum untuk  menyatakan diri siap jadi Presiden. Kedua saya juga salut kepada orang-orang itu yang sepertinya yakin sekali bahwa akan mampu memimpin 240 juta bangsa Indonesia  yang multi etnis, multi kultural dan memiliki “seabreg” masalah dan tantangan besar dimasa depan.

Sebaliknya, tanpa bermaksud memandang rendah mereka, saya juga bertanya dalam hati  apakah mereka benar-benar serius atau hanya membuat lelucon? Kita semua tahu bahwa seorang Presiden dalam Negara yang menerapkan sistem yang disebut presidensial seperti Indonesia, Presiden, bukanlah hanya Kepala Negara seperti Presiden Singapura atau Yang Dipertuan Agong Kerajaan Malaysia tetapi juga Kepala Pemerintahan. Selain sebagai Kepala Negara, Presiden Indonesia, menurut UUD 45 adlh juga Kepala Pemerintahan yang memimpin sebuah “tim” manajemen pemerintahan yang disebut Kabinet. Mereka yang bermimpi jadi “Ca-Pres.” sebaiknya memeriksa “rekam jejak” diri masing-masing. Pengalaman kerja dan prestasi besar apa yang pernah mereka capai dan bisa jadi “modal” untuk membangun bangsa dan negara ini? Ketika kemarin pagi saya melihat dalam berita di sebuah  statsiun TV swasta, salah satu dari “politisi” yang ikut berkunjung ke rumah salah seorang “calon Presiden” yang sebelumnya berprofesi sebagai orang “pinter” dan digelari embah itu, tanpa ragu-ragu berkata bahwa negara kita ini perlu dipimpin oleh seorang yang punya kekuatan “supra natural”. Hampir saja saya  menganggap orang itu telah menghina bangsanya sendiri. Tapi saya lalu sadar kalau dia hanya mau numpang populer dengan memanfaatkan kesempatan muncul di televisi. Makanya dia asal “ngejeplak”!

4. “Tiga Penggoda”

Setelah berita tentang ditangkapnya seorang Hakim Mahkamah Konstitusi dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, seorang sahabat yang tinggal di Surabaya menulis pesan singkat kepada saya sebagai berikut: “Pak Ruky, kalau saya baca kembali tulisan anda di Blog ini yang berjudul: “Integritas vs Hipokritas”, ternyata begitu besarnya godaan untuk memiliki uang atau harta. Tidaklah salah jika dari jaman dahulu sampai sekarang ini, uang di kategorikan sebagai satu dari 3  penggoda, khususnya untuk kaum pria yang kebetulan punya kekuasaan (power),  yaitu: harTA, tahTA dan waniTA. Semoga hakim MK yang kena OTT itu tidak kesenggol juga oleh TA yg ke 3…:” Ketika menerima pesan teman tersebut saya  tergelitik juga untuk membahasnya tapi hanya fokus pada dua TA saja yaitu harTA dan tahTA. Dalam salah satu tulisan saya yang berjudul “Keluar Dari Labyrinth”, saya menyebut tentang lima jenis kecondongan atau orientasi manusia dalam hidup ini. Saya katakan bahwa para pakar mengidentifikasi 5 jenis kecondongan yaitu: 1. Finansil/Materi 2. Kekuasaan 3. Kegiatan Sosial 4. Keilmuan (hal2 berbau Sain) 5. Spiritual Ukuran kepuasan mereka yang ber-orientasi FINANSIL/MATERI tentunya adalah jumlah (banyaknya) dan jenis materi yang dimiliki. Mereka juga akan memilih jalan hidup yang cepat memberi kepuasan itu misalnya sebagai pebisnis. Mereka yang ber-orientasi KEKUASAAN akan terjun ke, dan aktif di dunia politik, dan seterusnya. Dari hasil test oleh para pakar tersebut terhadap ribuan orang, diketahui bahwa seorang bisa punya dua sampai tiga buah orientasi yang sama-sama kuat atau bisa terjadi pergeseran orientasi pada tahap-tahap lanjut dalam siklus hidup mereka. Misalnya, banyak pebisnis yang telah memiliki HARTA melimpah masih bernafsu untuk punya TAHTA (kekuasaan) sehingga bisa turut menentukan kebijakan dan arah pembangunan bangsa dan Negara. Contoh-contohnya di Indonesia adalah: Bapak Jusuf Kalla yang saat ini menjadi Wakil Presiden untuk kedua kalinya. Kemudian Abu Rizal Bakrie yang sempat menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan menjadi Menko dalam Kabinet SBY. Lalu Surya Paloh, dan sekarang Hary Tanu S sang konglomerat bisnis media yang telah membangun Parpol. Ada yang menyatakan bahwa hal itu menunjukan bahwa system nilai warisan agama Hindu yang menetapkan bahwa dalam tatanan status sosial, tingkatan dari kasta Ksatria (Penguasa/Pejabat) adalah masih diatas dari tingkatan kaum Sudra (Saudagar) walaupun dari sudut harta, seorang Sudra bisa jauh lebih kaya dari seorang Ksatria. Tapi anehnya, yang lebih banyak adalah banyak kaum “saudagar” yang berusaha merebut “tahta” tapi lalu menggunakannya untuk mendapat lebih banyak “harta” dengan mudah atau melindungi bisnisnya. Yang lebih aneh lagi adalah banyaknya  tokoh-tokoh Agama, yang dalam status sosial Hindu termasuk kasta tertinggi yang juga ingin punya “tahta” dan sekaligus banyak “harta”.

Feneomena ini mestinya sangat menarik sebagai obyek studi bagi para psikolog yang sedang kuliah lagi untuk mengambil S2 atau S3.

Selamat Beraktivitas