PKWT adalah sebuah singkatan  “resmi” dari istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang berarti bahwa hubungan kerja yang dikuatkan dengan sebuah perjanjian kerja tertulis ditetapkan masa  berlakunya. Sedangkan PKWTT yang adalah singkatan “resmi” dari istilah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu mengindikasikan bahwa hubungan kerja yang diperjanjikan itu tidak ditentukan masa berlakunya. Dalam praktek, istilah yang sering digunakan sehari hari dalam lingkungan dunia usaha adalah untuk PKWT adalah hubugan kerja bersifat “kontrak” sedangkan untuk PKWTT adalah hubungan kerja bersifat “permanen”. Semua istilah itu sudah sangat familiar bagi para praktisi manajemen sumber daya manusia terutama yang tugasnya menangani hubungan industrial dan juga menangani hubungan kerja.

Tulisan ringkas saya ini TIDAK akan  membahas berbagai aspek hukum  PKWT. Fokus tulisan saya adalah pada apa yang seharusnya dilakukan sebuah perusahaan atau organisasi lain bila menggunakan sumber daya manusia dengan status PKWT.

PKWT vs. PEKERJA “CASUAL”

Pada banyak negara Industri maju seperti USA, negara negara Eropa dan Australia, ada konsep atau hubungan kerja yang bersifat tidak permanen yang banyak digunakan  disebut “Casual Work”. “Casual Work” bisa disebut sebagai hubungan kerja bebas atau “semaunya”. Artinya, kalau pekerja datang (mau datang) untuk bekerja maka pekerja dibayar pada hari itu juga pada saat selesai kerja. Tetapi kalau pekerja setuju untuk dibayar setiap 5 hari atau 6 hari sekali juga bisa. Hubungan kerja “casual” biasanya hanya dipakai untuk jenis jenis pekerjaan yang tidak tetampil atau semi terampil dan pekerjaan yang memang tidak terus menerus ada. Saya pribadi, saat tinggal di Melbourne Australia untuk mengikuti program MBA, 45 tahun lalu, pernah mengalami bekerja sebagai pekerja kasual di pabrik furniture sebagai  operator selama libur akhir tahun. Di Dinas Pekerjaan Umum kota sebagai peng-input data statistik dan pada sebuah lembaga survey pemasaran pengolah data hasil survey preferensi calon konsumen terhadap produk yang akan dikembangkan. Hubungan  kerja casual juga dipakai di Indonesia misalnya untuk Sales Promotion Girls, Penyaga Stand Pameran. Yang paling umum adalah  para tukang yang bekerja dalam proyek pembangunan rumah dan bangunan pribadi, tukang gali dan sebagainya yang dibayar berdasarkan hasil kerja yang mereka capai yang biasa disebut “upah borongan”.

KEUNTUNGAN DARI DIIJINKANNYA PKWT BAGI PERUSAHAAN.

Adanya peluang untuk mempekerjakan orang dengan ketentuan PKWT seharusnya disyukuri oleh para pengusaha/pimpinan perusahaan. Keuntungan bagi perusahaan adalah bahwa pada suatu saat yang telah diperhitungkan, saat beban kerja operasional mungkin menurun atau selesai maka hubungan kerja dengan pekrerja  bisa diakhiri sesuai isi perjanjian yang ditanda tangani oleh fihak pekerja dan fihak pemberi kerja. Pemutusan hubungan kerja sebagai konsekwensi dari betakhirnya kontrak seringkali tidak menimbulkan masalah hubungan industrial. Prosesnya berjalan normal saja tanpa gejolak protes atau sejenisnya, kecuali bila pekerja menganggap bahwa pemberi kerja telah melakukan pelanggaran terhadap salah satu fasal dalam perjanjuan kerja yang mereka tanda tangani.

Sehubungan dengan itu, maka SEHARUSNYA dan sewajarnya, perusahaan yang menggunakan sistem PKWT memperlakukan tenaga kerja yang dipekerjakan atas dasar PKWT bukan hanya sama baik tetapi malah HARUS LEBIH BAIK daripada pekerja yang diikat secara permanen (PKWTT). Tentu saja selama beban kerja dan tanggung jawab mereka yang berstatus PKWT dan PKWTT sama/seimbang. Selain daripada itu, pekerja yang terikat hubungan kerja secara permanen memiliki “job security” (jaminan/rasa aman akan bekerja terus) baik atas dasar undang undang atau perjanjian kerja yang mereka tanda tangani. Mereka juga pasti mendapat berbagai benefits (fasilitas dan jaminan kesejahteraan) lainnya.

BAGAIMANA APLIKASINYA

Pertama, selain diberikan THR, semua pekerja berstatus PKWT juga harus dilindungi dengan BPJS Ketenaga Kerjaan dan Kesehatan dan juga berhak mendapat insentif atau bonus yang berbasis kinerja korporasi selain kinerja pekerja itu sendiri.

Kemudian, pekerja berstatus PKWT juga harus mendapat Uang Jasa saat perjanjian kerja mereka berakhir. Bila pekerja yang berstatus PKWT dan masa kontraknya melewati hari raya Idul Fitri, mereka harus diberikan THR yang besarnya prorata tergantung pada lama masa kerja mereka sesuai ketentuan Permenaker yang berlaku. Jadi, mereka  diperlakukan sama dengan pekerja yang “permanen”.  Demikian pula hak cuti tahunan mereka sesuai dengn ketentuan dalam UU No. 13 Th. 2003 Pasal 58 dan 59 dan  Kepmenaker No.100 tahun 2004.

PESAN PENUTUP.

Penggunaan tenaga kerja berbasis PKWT seharusnya BUKAN dengan tujuan untuk menekan/menghemat biaya tenaga kerja rutin tetapi lebih sebagai solusi untuk kebutuhan tenaga kerja bersifat jangka pendek. Penghematan biaya yang diperolehpun akan bersifat jangka panjang.

Itu pendapat saya dan semyanya itu pernah saya terapkan.

Jakarta 10 Januari 2017