Pengantar

Selama tahun 1970an sampai akhir tahun 2000, profesi sebagai “manajer” begitu populer dan mempesona. Menjelang krisis ekonomi melanda Indonesia, kehidupan para “yuppies” – para manajer dan eksekutif muda — yang sekarang dikenal sebagai Generasi X, seringkali dipublikasikan oleh media cetak dan elektronik. Sinetron-sinetron di stasiun TV-pun banyak mengambil tema sekitar eksekutif dan manajer muda yang terlihat begitu “wah” dan sukses tanpa diceritakan bagaimana mereka memperoleh sukses tersebut! Kemudian, pada pertengahan tahun 1980an, ada berita istimewa bahwa seorang manajer Indonesia mendapat “uang pindah” (“transfer fee”) sampai sebesar satu milyar rupiah. Jumlah tersebut pada masa itu tentunya sangat “wah” karena nilai tukar rupiah terhadap dolar waktu itu masih Rp. 2.250,-.

Gara-gara manajer profesional Indonesia “top” yang disebut itu ternyata memiliki gelar Master of Business Administration yang disingkat MBA, maka hampir semua orang muda yang ingin meniru kesuksesan manajer top tersebut berusaha memperolehnya dari berbagai institusi di dalam dan di luar negeri dan dengan berbagai cara. Mereka berasumsi bahwa gelar MBA atau MM akan sangat menolong dalam memperoleh kemajuan dalam karir mereka. Program pendidikan jenjang S2 yang menawarkan gelar MBA atau MM bahkan sampai Doctor dan Ph.D., cukup marak diiklankan. Bahkan ada yang menawarkan hanya dengan biaya 5 juta rupiah (saat itu, sekitar US$ 2,000.-) plus wisuda di Singapura walaupun gelarnya diberikan oleh sebuah institusi di Amerika Serikat! Akhirnya, mulai akhir tahun 1980an itu, beberapa universitas negeri dan swasta Indonesia yang cukup besar ikut menyelenggarakan program MBA.

Sudah diduga bahwa jumlah peminatnya juga cukup besar dan yang sangat menarik adalah bahwa sebagian terbesar dari mereka adalah “anak-anak” muda yang baru lulus pendidikan S1 dari berbagai jurusan. Karena setelah satu atau dua tahun belum mendapat pekerjaan dan kebetulan orang tuanya masih punya uang, maka mereka memutuskan untuk memperoleh gelar MM dengan harapan akan lebih mudah memperoleh pekerjaan. Tentunya ini didasarkan pada asumsi bahwa “gelar” MM merupakan nilai tambah yang ampuh bagi mereka untuk dipertimbangkan sebagai calon karyawan (dan calon manajer).

Tetapi akhir-akhir ini muncul sinisme, seperti yang dikemukakan oleh Datuk Robert Kuok, pengusaha dan orang terkaya di Malaysia, di bawah ini.

Image result for "when i hire people i look for great attitude", robert kuok

Bila kita hitung, ternyata lebih banyak “manajer” profesional Indonesia yang dianggap “top” karena sukses dalam pekerjaannya yang tidak punya gelar MBA (atau MM) daripada yang punya embel-embel itu. Sebagai contoh, penulis akan sebutkan nama-nama di bawah ini pasti pernah anda dengar:

  1. Cacuk Sudarijanto (Almarhum), seorang manajer profesional yang memulai kariernya di dunia bisnis dengan bekerja pada IBM Indonesia, kemudian di INDOSAT, lalu menjadi Direktur Utama PT TELKOM, adalah seorang Insinyur Tambang.
  2. Kuntoro Mangkusubroto, yang pernah memimpin PT Bukit Asam kemudian PT Timah dengan sukses, kemudian menjadi Menteri Pertambangan, lalu sempat pula menjadi Direktur Utama PLN.
  3. Bapak Teddy Rachmat, mantan Presiden Direktur Astra Internasional, sebuah perusahaan nasional yang pernah mendapat pujian internasional dalam beberapa aspek manajemen selama 2 dasawarsa, adalah seorang Insinyur.
  4. Ibu Rini Suwandi, yang juga merintis karir dalam lingkungan ASTRA Internasional dan sempat menjabat sebagai Presiden Direkturnya antara tahun 1998-2000, sempat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan (dalam Kabinet Megawati – Hamzah Haz) dan saat ini, sejak tahun 2014, (dalam Kabinet Jokowi) adalah Menteri Negara BUMN.
  5. Ibu Eva Riyanti Hutapea, Mantan Presiden Direktur INDOFOOD, perusahaan konglomerasi produsen makanan dan bumbu terbesar di Indonesia saat ini.
  6. Bapak Robby Djohan SE., memulai karier di Citibank kemudian ke Bank Niaga dan sempat menjadi Presiden Direkturnya selama beberapa tahun. Terakhir sebagai Direktur Utama Bank Mandiri pada saat pembentukannya.
  7. Bapak Abdul Gani, SE., mantan Direktur Utama Bank Duta, kemudian setelah sempat menimba ilmu lagi lalu menjadi Direktur Utama Garuda dari tahun 1999 sampai tahun 2002.
  8. IGM Mantera, beliau mengembangkan karir di IBM Indonesia sampai mencapai jabatan Presiden Direktur. Latar belakang pendidikannya adalah bidang elektro.
  9. Bapak Erry Riana Hardjapamekas, Direktur Utama PT Timah menggantikan DR. Kuntoro sampai tahun 2002. Latar pendidikannya adalah akuntansi.

Masih banyak lagi nama-nama yang dapat anda sebut, belum lagi mereka yang menjadi wiraswastawan sekaligus manajer. Memang ada beberapa manajer Indonesia, yang tercatat sebagai manajer “top” yang punya gelar MBA atau MM. Tetapi, sebagian besar dari mereka sebenarnya sudah lebih dulu sukses sebagai manajer sebelum mereka “iseng” kuliah lagi untuk menambah “kredibilitas” akademisnya. Mengapa sekarang timbul beberapa pertanyaan terkait kritik dan sinisme tersebut? Apa penyebabnya? Di mana letak kesalahannya? Dan apa yang harus dilakukan?

 

Asal Usul Program MBA

Pada awalnya, (Harvard Business School didirikan tahun 1908), program pendidikan strata dua bidang manajemen bisnis yang memberikan gelar MBA di negara Amerika Serikat sana, sebenarnya diciptakan untuk membantu orang-orang yang sudah menduduki jabatan manajerial tingkat madya yang berlatar belakang teknologi, engineering, dan disiplin ilmu lain yang di luar bisnis atau manajemen. Mereka mungkin tidak pernah belajar teori, konsep dan teknik-teknik manajemen bisnis tetapi berminat dan berambisi untuk memperluas wawasan mereka untuk meningkatkan karir menjadi seorang “generalis”. Program MBA dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan “generalist” yang disiapkan untuk menduduki jabatan General Manager dan Chief Executive Officer (Presiden Direktur).

Oleh karenanya, “isi” dari sebuah program MBA biasanya selain teori, konsep, dan teknik manajerial pada semua bidang manajemen (Strategis, Pemasaran, Operasi, Keuangan dan Sumber Daya Manusia) juga sarat dengan pelatihan mengidentifikasi dan menganalisis masalah, merumuskan alternatif solusi dan membuat keputusan yang tepat. Untuk menjelaskannya, kita menggunakan kembali ilustrasi tentang persyaratan kompetensi manajerial yang aslinya dikemukakan oleh Prof. Herbert Katz dari Harvard Business School di bawah ini.

Model Kompetensi Manajerial dari Prof. Herbert Katz (Harvard University)

Dengan menggunakan ilustrasi tersebut di atas sebagai model, program pendidikan MBA sebenarnya lebih dirancang untuk membantu memperkaya atau memperkuat bagian Conceptual Skills dari keseluruhan tuntutan persyaratan kompetensi jabatan manajerial ditambah dengan aspek teoritis dari People Skills dalam bentuk teori-teori kepemimpinan dan pengetahuan tentang gaya kepemimpinan. Dalam metode pengajarannya, dengan Harvard Business School yang menjadi pionir, hampir semua universitas ternama yang menyelenggarakan program MBA sangat menekankan penggunaan studi kasus dan simulasi untuk melatih peserta mempertajam kemampuan analitis dan kemampuan membuat keputusan. Selain itu, peserta juga belajar berkomunikasi secara efektif, baik secara lisan melalui presentasi di kelas maupun tertulis dengan membuat laporan bisnis.

Sehubungan dengan jenis materi dan metode pengajaran yang digunakan, maka pada awalnya, program ini hanya dapat dan tepat untuk diikuti oleh mereka yang telah punya cukup pengalaman kerja sedikitnya empat tahun atau lebih dalam organisasi bisnis. Semua universitas terkemuka di USA, Australia, dan Asia sangat ketat dalam menerapkan persyaratan tersebut. Pada saat itu, sampai sekitar akhir tahun 1980an, program pendidikan MBA diakui manfaatnya oleh mereka yang berprofesi dalam organisasi bisnis, khususnya yang menduduki jabatan manajerial, terutama oleh mereka yang latar belakang disiplin ilmunya bukan ilmu bidang manajemen bisnis atau, kalau di Indonesia, dari jurusan ekonomi perusahaan.

 

KRITIK TERHADAP PROGRAM MBA

Merosotnya penghargaan terhadap program pendidikan pasca sarjana manajemen bisnis yang dikenal dengan sebutan MBA sebenarnya mulai muncul di negara asalnya yaitu Amerika Serikat. Salah seorang dari mereka adalah Profesor Mintzberg, dari MIT dalam bukunya Manager, Not MBA” (2004). Salah satu pernyataannya dalam buku itu yang banyak dikutip berbunyi sebagai berikut: “The MBA trains the wrong people in the wrong ways with wrong consequences” (Program MBA melatih orang yang salah dengan cara yang salah). Lalu; “Using the classroom to help develop people already practicing management is a fine idea, but pretending to create managers out of people who have never managed is a sham”.

Sekitar sepuluh tahun sebelum buku Professor Mintzberg terbit, ada buku dari seorang eksekutif bisnis Amerika yang saat itu sangat dikenal, yaitu Mark H. McCormack, menulis buku berjudul; “What They Don’t Teach You At Harvard Business School” yang sangat laris manis dan menjadi best seller. Pada dasarnya, yang ia kemukakan adalah bahwa apa yang sebenarnya diperlukan untuk berhasil dalam karir sebagai manajer profesional justru sama sekali tidak diajarkan di program pasca sarjana, dalam hal ini MBA.

Bunyi kritik lainnya dari kalangan pengusaha pengguna lulusan program tersebut juga sama, yaitu bahwa kebanyakan penyelenggara program yang lebih mementingkan jumlah peserta karena mengejar target pemasukan tanpa melalui seleksi yang ketat. Akibatnya banyak bermunculan lembaga pendidikan tinggi abal-abal yang melaksanakan program MBA jarak jauh (on-line) yang sebenarnya bisa disebut sebagai “Pabrik Ijazah” (Diploma Mills). Bukan hanya di negara-negara “Barat”, tetapi di India diketahui banyak lembaga seperti itu dan di Indonesia pun pernah ada.

 

PENYELENGGARAAN Program MBA atau MM di Indonesia

Sampai tahun 1989, sejumlah lembaga pendidikan swasta di Jakarta menjadi pelopor dalam penyelenggaraan program pendidikan MBA di Indonesia, yang isinya hampir merupakan copy paste dari program sejenis di luar negeri. Pada saat itu, lembaga-lembaga seperti IPMI, Prasetiya Mulya dan PPM sangat dikenal. Tetapi pada tahun 1989, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (namanya saat itu), melarang penyelenggaraan program MBA dan memaksa para penyelenggara program MBA untuk mengubah programnya menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai program Magister Manajemen disingkat MM. Lembaga-lembaga yang diijinkan untuk menyelenggarakan program MM pun hanya yang berstatus perguruan tinggi yang telah mendapat ijin dan pengakuan dari pemerintah. Sejak saat itulah maka permasalahan di bawah ini mulai dirasakan:

  1. MM Tidak Identik dengan MBA.

Program MM tidak lagi fokus ke manajemen bisnis tetapi menjadi lebih bersifat umum. Banyak peserta program ini datang dari sektor non-bisnis seperti pejabat pemerintah, anggota TNI, anggota POLRI, Politisi, dan bahkan Ulama. Mungkin tujuannya sebenarnya bagus karena mereka bisa memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas tentang manajemen. Permasalahan akan timbul saat semua buku dan contoh yang digunakan masih berorientasi pada bisnis. Belum lagi studi kasus yang digunakan untuk bahan pembahasan dan diskusi juga masih tentang organisasi bisnis. Mereka yang tidak datang dari dunia bisnis hanya bisa “terbengong-bengong” atau “asal bunyi” sewaktu membahas konsep atau kasus bisnis dan dosenpun “cuek” atau paling-paling minta maaf!

  1. Latar Belakang Peserta.

Tidak bisa dipungkiri bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah usaha bisnis karena memerlukan investasi uang cukup besar baik untuk aset tetap maupun untuk SDM, maka harus ada kepastian bahwa dana investasi itu harus bisa cepat kembali. Untuk mengejar target pemasukan maka hampir semua penyelenggara program MM menerima peserta yang baru lulus program Strata Satu dari berbagai jurusan malahan ada beberapa lembaga menerima lulusan program D3. Apalagi tentunya yang bersifat pendidikan “jarak jauh” (“distance learning”). Adalah sebuah keistimewaan bila ada peserta dengan kualifikasi seperti itu dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar.

Masalah kedua adalah bahwa sebagian besar peserta tidak punya kemampuan berbahasa Inggris yang memadai. Akibatnya, mereka sulit sekali memahami “text books” yang tebalnya bisa 300 sampai 500 halaman dan hampir semuanya berbahasa Inggris. Akhirnya mereka lebih sering mengandalkan diri pada catatan kuliah dan fotokopi dari transparansi milik dosen bila kebetulan dosennya telah menyiapkan diri. Masalah ini juga diperburuk oleh kebiasaan dan cara belajar mahasiswa Indonesia yang sangat pasif yang mereka bawa sejak mengikuti kuliah pada program S1.

Berdasarkan pengalaman penulis saat turut membantu mengajar pada beberapa program MM di beberapa universitas negeri dan swasta, sukar sekali merangsang mahasiswa untuk aktif tetapi tidak “asal bunyi” (karena tidak membaca). Apalagi menyuruh mereka membuat analisis tertulis atas sebuah studi kasus dan melakukan presentasi di muka kelas. Mungkin ini juga berkaitan erat dengan sistem nilai budaya bangsa kita yang menuntut mahasiswa untuk “tunduk” saja pada sang dosen!

Setiap kali penulis berhadapan dengan mahasiswa MM yang belum pernah bekerja, saya sering berterus terang bahwa bila tujuan mereka mengikuti program MM adalah untuk memperoleh tambahan “modal” agar bisa mendapat pekerjaan dengan mudah, mereka akan kecewa! Lebih baik bila uang sebanyak 40 sampai 60 juta rupiah itu digunakan untuk belajar bahasa Inggris secara intensif di salah satu negara yang berbahasa Inggris selama 6 sampai 12 bulan. Selain itu, sejak masih kuliah pada level Strata Satu, mereka harus berusaha mengembangkan soft skills mereka, selain berusaha menguasai teknologi informasi. Dengan bekal-bekal tersebut pintu-pintu perusahaan akan terbuka lebih lebar, bukan hanya di Indonesia tapi juga di negeri lain!

  1. Kurikulum dan Metode Belajar-Mengajar.

Kurikulum program MBA di manapun, (apalagi MM) memang dirancang untuk memberikan pengetahuan teoritis (theoretical kowledges) yang merupakan bagian dari komponen hard competencies. Aspek aplikatif dari tiap-tiap teori tersebut minim sekali karena mayoritas dari pengajar juga berasal dari kalangan akademisi. Peserta tidak mendapatkan soft competencies yang penting seperti misalnya komunikasi interpersonal, apalagi yang bersifat lintas budaya. Peserta mungkin belajar sedikit-sedikit tentang konsep kepemimpinan dalam mata kuliah Struktur dan Perilaku Organisasi (SPO) tapi sekedar teorinya. Metode pengajaran mirip dengan program S1 dan agak bersifat pengulangan bagi mereka berasal dari fakultas ekonomi.

  1. Kualitas Penyelenggara.

Keputusan Pemerintah yang melarang program MBA telah merangsang beberapa universitas negeri dan swasta untuk berlomba-lomba membuka program MM dengan menggunakan kurikulum yang disahkan oleh Pemerintah. Beberapa universitas swasta yang reputasinya diragukan juga ikut-ikutan latah menyelenggarakan program MM bagi lulusannya. Wajar bila ada pertanyaan bagaimana mungkin kualitas lulusan S2-nya dapat dipertanggungjawabkan? Akhirnya, banyak juga penanggung jawab program MM yang tidak pernah mengikuti program MBA apalagi punya pengalaman sebagai “manajer” dalam korporasi. Bagaimana mungkin mereka bisa menghayati suka duka dan dinamika bekerja sebagai manajer bisnis sungguhan?

 

KORPORASI MENGEMBANGKAN SENDIRI PARA CALON MANAJER

Sebagai akibat dari kekecewaan tersebut, banyak perusahaan lebih suka menyelenggarakan sendiri program pendidikan para calon tenaga pimpinan atau manajerial mereka. Pada saat saya masih aktif sebagai Direktur Sumber Daya Manusia di perusahaan-perusahaan tempat saya bekerja, perusahaan tempat saya bekerja dan juga beberapa perusahaan besar lain, terutama perusahaan “multi-nasional” lebih suka merekrut anak-anak muda berpendidikan S1 terbaik dari universitas terbaik dan memasukkan mereka dalam program yang disebut Management Trainees Program (MT) sedangkan di sektor perbankan program itu mereka namai Officer Development Program.

Program MT adalah sebuah program kaderisasi yang diselenggarakan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan tenaga menajerial pada masa depan. Calon peserta disaring dengan sangat ketat menggunakan berbagai metode seleksi yang canggih berpatokan pada standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Tes yang diberikan meliputi pengetahuan umum, pengetahuan teknis yang berkaitan dengan disiplin ilmunya, dan yang terpenting adalah elemen hidden competencies-nya yang mencakup; minat, bakat, sikap, kepribadian, dan sistem nilai.

Selama peserta berstatus trainee yang biasanya berlangsung antara 12 sampai 24 bulan, mereka mendapat pelatihan langsung dalam pekerjaan pada semua bidang untuk menguasai aspek-aspek hard skills sekaligus juga mendapat pengayaan dalam pengetahuan teoritisnya. Selain itu, mereka juga mendapatkan pelatihan soft skills yang mutlak diperlukan untuk menjadi supervisor atau manajer, seperti kepemimpinan, bahasa Inggris, komunikasi, dan pembentukan team kerja efektif. Pada akhir program, peserta yang dinyatakan “lulus” akan ditempatkan pada bidang tertentu yang dianggap paling tepat baginya untuk memulai karir. Metode pengembangan ini dirasakan lebih efektif dan lebih memenuhi kebutuhan perusahaan dan ternyata dilakukan oleh hampir semua perusahaan besar, baik nasional maupun (terutama) perusahaan internasional.

Bila di antara tenaga muda lulusan program Management Trainee itu nanti ada yang ingin mengikuti program MBA / MM dengan biaya sendiri boleh saja, namun sebaiknya mereka lakukan itu setelah 4 sampai 5 tahun bekerja dan mulai menduduki jabatan manajerial tingkat pertama (pratama).

 

PENUTUP – Masa Depan Program MM/MBA di Indonesia dan di Dunia.

Mungkin ada di antara pembaca yang berpikir, mengapa penulis membuat tulisan yang bernada kritis terhadap usaha penciptaan manajer melalui pendidikan MBA atau MM. Bukankah penulis sendiri pernah mengikuti program MBA di sebuah sekolah bisnis di Australia yang menurut hasil survey majalah Asia Week bulan Mei tahun 2000 lalu dianggap sebagai sekolah bisnis terbagus di Asia Pasifik?

Sama sekali bukanlah maksud penulis untuk melecehkan program MM atau MBA. Setelah hampir 50 tahun bekerja dalam lingkungan bisnis sebagai manajer dan eksekutif dan juga sebagai konsultan, penulis merasakan bahwa apa yang penulis pernah pelajari dalam program MBA dulu telah membantu memperkaya pengetahuan dan wawasan penulis. Tetapi setelah masa 50 tahun itu, penulis juga menyadari bahwa kemajuan yang diperoleh dalam karir penulis, bukanlah karena pendidikan dan gelar itu sendiri, tetapi karena usaha untuk mengembangkan Soft Competencies khususnya sikap, etika, dan soft skills terutama kemampuan interaksi interpersonal, termasuk komunikasi lisan dan tertulis. Tentu saja juga kemampuan berbahasa Inggris dan kemampuan interaksi lintas budaya. Penulis sering bergurau bahwa modal utama penulis dalam mengembangkan karir bukanlah gelar atau ijazah MBA tetapi salah satunya adalah gelar HBA, yaitu Has Been Abroad atau pernah di luar negeri!

Untuk bisa survive dalam menghadapi persaingan yang semakin keras dan kadang-kadang mengabaikan etika, sebuah Lembaga Penyelenggara Program MM harus “tampil beda” dalam arti punya kelebihan dari saingannya. Beberapa langkah yang menurut pendapat penulis harus segera diambil oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program MM adalah di bawah ini.

  1. Seyogyanya program MM yang semula adalah program MBA tetap berorientasi pada manajemen bisnis dan hanya menerima peserta dari dunia bisnis. Mereka yang datang dari sektor non-bisnis dan akan tetap bekerja pada bidang kerja semula, sebaiknya diarahkan mengikuti program MM yang “Umum” atau program S2 di Jurusan Administrasi Negara.
  2. Pada awal tahun 2000an ada muncul program-program MBA Finance, MBA Human Resources Management, MBA Marketing, dan lain-lain. Program ini bisa dihidupkan kembali dan kurikulumnya dirancang khusus agar memenuhi kebutuhan mereka yang ingin mengembangkan diri menjadi tenaga spesialis. Program ini mungkin akan dianggap merebut “kue” yang semula dikuasai oleh program-program Strata 2 dalam disiplin ilmu asalnya karenanya kurikulumnya harus dirancang khusus agar cukup berbeda.
  3. Penyelenggara Program MM harus berusaha untuk dijadikan pemasok kebutuhan pelatihan oleh korporasi, bagi karyawan kelompok manajerial mereka, bila mungkin sejak tahap management trainee. Tetapi untuk bisa mendapat job tersebut, mereka harus mampu mencapai, dan lebih baik bila melampaui, standar kualitas yang ditetapkan oleh korporasi.
  4. Terkait dengan butir (3) di atas, para penyelenggara Program MM dan semua pengajarnya harus lebih sering keluar dari “menara gading” mereka untuk banyak berinteraksi dan “bergaul” dengan para pimpinan perusahaan dan para praktisi melalui berbagai cara dan forum. Pergaulan tersebut akan sangat membantu dalam usaha untuk selalu memutakhirkan pengetahuan tentang apa yang terjadi di “dunia nyata” dan sekaligus untuk meminta masukan saran untuk peningkatan kualitas program mereka.

Tetapi tentunya semua itu tergantung pada Visi dan Misi terkait institusinya yang mereka telah tetapkan. Bila “misi” mereka hanyalah menyelenggarakan program Pasca Sarjana Manajemen bagi siapa saja yang mau dan mampu bayar, ya lupakan saja. Tanpa ada perubahan-perubahan besar, masa depan program MM di Indonesia saya khawatirkan akan suram dan mungkin tidak lagi diharapkan oleh dunia usaha sebagai “sumber” bagi calon manajer.

Mudah-mudahan membantu.

 

Catatan:

Untuk panduan yang lebih detil tentang cara mengembangkan karir sebagai tenaga profesional sektor bisnis, silakan baca tulisan saya yang berjudul: Menyiapkan Diri Menjadi Tenaga Profesional Sektor Bisnis dan Industri untuk Menghadapi Tantangan Era Globalisasi.