(Sebuah catatan lama yang saya perbaharui dan lengkapi.)
“Kartu Nama”, adalah sebuah potongan kertas tebal (kadang2 plastik) berukuran rata-rata 9 x 5 cm, yang disatu muka (dan mungkin dibelakang juga) tercetak nama seseorg, nama instansi atau perusahaan tempat dia bekerja atau ia pimpin, atau ia miliki dan alamat lengkapnya. Itu adalah sebuah benda yang sudah umum bagi kita semua.
Dalam bahasa Ingeris, istilah resmi untuk Kartu Nama adalah “Business Card”, bukan “Name Card”. Mungkin karena dahulu kala, yang pertama kali membuat kartu nama adalah pebisnis dan para profesional (misalnya: Pengacara) yang harus memasarkan produk atau jasa mereka secara agresif. Jadi kegunaan “kartu nama” pada awalnya adalah sebagai alat bantu untuk mengenalkan diri, lalu berfungsi sebagai “data kontak” saat di perlukan oleh yang membutuhkan produk atau jasa yang ditawarkan oleh pemberi kartu nama.
Yang lebih menarik bagi saya adalah etiket terjait pertukaran atau penyerahan “benda” itu. Mungkin anda pernah melihat atau mengalami sendiri, orang yang baru berkenalan, saat diberi kartu nama, langsung disimpan tanpa dilihat apalagi dibaca.Orang2 yang punya kebiasaan seperti itu biasanya duanggap sebagai orang yang tidak faham etika pergaulan atau angkuh karena tidak punya perhatian pada fihak lain.
Para “penjual” profesional dan mereka yang berkecimpung dalam interaksi bisnis internasional biasanya telah dibekali etika atau tata krama ttg cara memberikan dan menerima kartu nama yg mungkin dianggap sepele. Bila memberikan kartu nama, para manajer dan eksekutif Jepang, Korea dan beberapa negara Asia dan juga orang2 “Barat” yang sudah terlatih akan memegang kartu nama mereka dengan kedua belah tangan. Lalu, kartu nama fihak lain akan mereka baca dengan teliti dan mengajukan pertanyaan2 tentang perusahaan mereka, produknya, dll.
Bila nama itu asing mereka akan minta petunjuk kepada pemilik kartu nama tentang cara mengucapkannya secara benar. Bila dalam pertemuan ada beberapa orang, semua kartu nama “lawan” biasanya diletakkan dulu diatas meja didepannya agar tidak keliru. Oleh karena itu, agar mudah diingat, banyak perusahaan internasional menyuruh para pejabatnya memasang foto masing2 di kartu nama mereka.
CATATAN
Saat saya menyebarkan tulisan ini di media sosial yang lain, saya menerima banyak pertanyaan dan komentar yang menarik dari sejumlah teman. Beberapa diantaranya adalah dibawah ini:
1. “Mengapa saat menyerahkan dan menerima kartu nama harus repot-repot pakai dua tangan?”
Etika tersebut bukan semata mata untuk menunjukan hormat pada orang yang menerima kartu tetapi justru untuk menghormati diri sendiri dan institusi kita dimana kita bekerja. Sebuah kartu nama adalah “wakil” kita dan/atau perusahaan atau lembaga kita. Cara kita menyerahkan kartu nama sendiri akan mencerminkan cara bagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Bila kita tidak menghargai diri kita sendiri, bagaimana orang lain akan menghormati kita?
2. “Eksekutif bisnis umumnya tidak menyantumkan gelar-gelar sedangkan akademisi umumnya mencantumkan semua gelarnya. Bagaimana etiketnya? Terus terang saya serba salah soal ini”.
Soal “gelar” (akademis, bangsawan, dll.) adalah bukan soal etik tapi terkait “budaya organisasi”. Bagi pebisnis dan eksekutif bisnis, gelar2 akademis misalnya, tidak dianggap sebagai “key success factors”. Hal itu tentu berbeda dengan para akademisi. Walaupun demikian, banyak perusahaan internasional yang menyarankan para manajer senior dan eksekutif yang punya gelar DR atau PhD untuk mencantumkannya dalam kartu nama mereka karena memberi citra positif juga untuk perusahaan mereka.
3. “Sedikit tambahan Bro. Waktu menyerahkan kartu nama pakai dua tangan, harus dipastikan bahwa posisi cetakan huruf menghadap kepada penerima dan langsung terbaca olehnya, huruf jangan terbalik”.
“Tentu saja Bro, Thanks. Hahahaha”. 😀 ({})
4. “Terima kasih Pak atas sharing tulisan tentang kartu nama. Sangat inspiratif dan memberikan wawasan bagi saya. Ternyata seperti itu pengaruhnya sebuah kartu nama dalam dunia pergaulan internasional.Lain lagi kalau di Indonesia, terutama bagi orang2 yang memang ingin mengumpulkan kartu nama pejabat untuk kepentingan menguatkan “power” mereka dalam menghadapi penegakan hukum di Indonesia. Mereka bukan hanya membacanya, tapi juga meminta tanda tangan dari kami sebagai pemberi kartu nama. Bagaimana etikanya, kalau ada permintaan seperti itu Pak ? he he hehe…..Artinya, bagaimana caranya kita menghadapi permintaan tanda tangan seperti itu. Apalagi saat memberikan tanda tangan, posisi kita sedang berdiri dan melayani tamu yang lain lagi. Wah, cara seperti ini sangat mengganggu sekali. Terima kasih”.
Wah itu sebuah pertanyaan yang menarik tapi untuk saya sulit sekali jawabannya. Mungkin karena Bapak adalah seorang penegak hukum (Pati POLRI) maka orang orang itu minta tanda tangan untuk memperkuat bahwa kartu nama itu benar2 diberi oleh yang punya, bukan dapat dari orang lain. Soalnya kartu nama seperti itu sangat “sakti”. Saya pernah di hentikan oleh Polantas. Waktu saya mengambil SIM, didompet saya terlihat ada beberapa kartu nama Pati Polri termasuk kartu nama bapak. Anggota Lantas itu langsung bilang; “Bapak silahkan lanjut saja”. Hahahaha
Kalau di lingkungan bisnis tidak pernah ada permintaan tanda tangan di kartu nama. Malahan nomor HP pun tidak kami berikan, kecuali kita sudah saling mengenal atau orang itu pejabat penting. Soalnya takut disalah gunakan.Jadi, pertanyaan bapak tentang cara menanda tangani tidak bisa saya jawab atau tidak tahu jawaban nya.
Mudah2an bermanfaat. Selamat Ber-aktivitas.
Jakarta 21 Desember 2016