Masuknya Tenaga Kerja Asing Adalah Salah Satu Konsekuensi Dari Globalisasi Bisnis
Tenaga Kerja Asing yang bekerja pada perusahaan asing atau nasional dengan mendapat status khusus biasanya disebut “ekspatriat” (Expatriate). Istilah ini banyak digunakan oleh perusahaan, konsultan, penulis, dan bahkan oleh para pekerja asing itu sendiri. Istilah ini tak hanya populer di kalangan perusahaan asing di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Istilah “ekspatriat” juga digunakan tenaga kerja Indonesia yang dikirimkan oleh perusahaan multinasional untuk bekerja di cabang perusahaan mereka di negara lain. Menurut kamus Webster, kata ‘expatriate’ berakar dari kata ‘ex’ (di luar) dan ‘patria’ (tanah air). Karenanya kamus ini menjabarkan makna kata ‘expatriate’ sebagai ‘keluar dari tanah air dan cenderung untuk selama-lamanya’. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah ‘tenaga kerja asing’ atau ‘non-Indonesia’.
Harian The Jakarta Post, pada tanggal 26 Mei 1995, memuat sebuah laporan bahwa jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia sampai awal bulan Mei tahun 1995 tercatat ada 57.159. Sedangkan jumlah orang asing yang memiliki ijin tinggal adalah 195.719 orang. Mayoritas dari orang asing yang memiliki izin tinggal tetap adalah anggota keluarga dari pekerja asing yang jumlahnya hampir mencapai 70% dari seluruh orang asing yang tinggal di Indonesia. Laporan Departemen Tenaga Kerja RI bulan Juli 1998 diketahui bahwa atas dasar negara asalnya, mayoritas TKA yang bekerja di Indonesia pada tahun itu berasal dari negara Korea Selatan sebanyak 6.246 orang, kemudian Jepang sebanyak 5.569 orang, Taiwan 2.613 orang dan akhirnya India sebanyak 2.512 orang.
Sektor-sektor mana saja yang mempekerjakan orang asing? Dari informasi yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja RI tercatat bahwa pada tahun 1998 itu sektor industri manufaktur masih tetap sektor pengguna TKA tertinggi dengan jumlah 17.661 orang. Sektor kedua tertinggi adalah sektor perdagangan grosir, retail, hotel dan restoran sebanyak 3.145 orang dan yang ketiga adalah sektor layanan Jasa Sosial dan Perorangan sebanyak 3.022 orang.
Krisis Moneter 1998 dan Dampaknya TERHADAP tenaga kerja asing
Sebagai akibat dari krisis moneter yang tahun 1998 melanda negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, jumlah TKA seluruhnya telah menurun drastis. Jumlahmya pada bulan Juli 1998 adalah 32.653 orang dan jumlah ini ternyata hanya sekitar 58% dari jumlah total kategori yang sama pada bulai Mei 1995. Banyak dari mereka yang sudah kembali ke negara asal mereka atau dipindahkan ke negara lain sebagai akibat dari resesi ekonomi dan kekhawatiran akan stabilitas dan keamanan di Indonesia saat itu, terutama akibat kerusuhan bulan Mei 1998. Tetapi penurunan ini hanya bersifat sementara dan pada saat stabilitas politik, keamanan dan perekonomian telah kembali, jumlah tersebut telah naik kembali. Pendataan yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2009, menunjukkan bahwa TKA yang bekerja di Indonesia, mayoritas berasal dari negara-negara ASIA non Asean (Grafik 1) dan mayoritas dari mereka berasal dari Republik Cina (ROC), lalu Jepang dan yang ke 3 adalah Korea Selatan (Grafik 2 – Angka dalam 10 ribuan)
Dalam grafik 3 tampak bahwa sejak tahun 2011 terlihat bahwa jumlah terbesar kedua datang dari negara-negara ASEAN didominasi oleh warga Malaysia, Filipina, dan Singapura. Kemungkinan besar, setelah ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN) berlaku mulai awal tahun 2016 lalu, yang salah satu kesepakatannya adalah bebas keluar masuk tenaga profesional untuk bekerja di semua negara anggota ASEAN, jumlah tersebut akan meningkat lagi. Grafik 4 menunjukkan jenis profesi yang dipegang oleh TKA tersebut. Terlihat bahwa hampir semua bidang dan hampir di semua tingkatan hierarki dari struktur organisasi Tenaga Kerja Asing bisa masuk.
Pendapat tenaga kerja Indonesia Mengenai Kehadiran Tenaga Kerja Asing di Sektor Swasta
Menjelang dan selama Krisis Moneter berlangsung, masalah “membanjirnya” TKA di Indonesia dalam jumlah sedemikian besar telah menimbulkan bermacam reaksi dari orang Indonesia, baik yang sudah bekerja, masih kuliah dan masyarakat biasa. Banyak orang Indonesia yang merasa khawatir dengan segala keterbukaan tersebut. Mereka takut menghadapi persaingan berat dalam mencari pekerjaan dengan datangnya tenaga kerja asing yang berdasarkan perjanjian bebas hambatan itu memang akan dimudahkan untuk mencari kerja di Indonesia. Harian Republika pernah memuat laporan bernada kritis dan khawatir mengenai bertambah banyaknya pekerja asing di Indonesia. Laporan tersebut juga dilengkapi tulisan yang membahas persaingan ketat yang bakal dihadapi orang Indonesia saat pemerintah harus mulai menaati perjanjian AFTA dan WTO. Kemudian pada bulan April 1997, majalah mingguan Tiara yang sekarang sudah tidak terbit dan kebanyakan pembacanya berasal dari kalangan profesional dan kelas menengah muda, melakukan survei melalui Internet. Ditanya mengenai pendapat mereka mengenai kedatangan pekerja asing ke Indonesia, 159 responden (terdiri dari 51% pria dan 49% wanita) memberikan jawaban yang beragam antara ‘tak tahu/tak punya pendapat’ dan ‘tidak setuju’. Tabel di bawah ini merupakan ringkasan survei tersebut.
Hasil Survey Majalah Tiara (April 1997) Mengenai Pendapat Masyarakat Tentang Tenaga Kerja Asing
Hasil survei tersebut mengindikasikan adanya perasaan “was-was” di kalangan tenaga profesional dan keinginan mereka untuk menyiapkan diri menghadapi persaingan dari para pendatang tersebut. Demikian pula dari jawaban responden survei tersebut terhadap pertanyaan terakhir sudah menunjukkan adanya kesadaran untuk meningkatkan kemampuan diri termasuk dalam kemampuan bahasa asing dan etos kerja. Walaupun demikian, dari jawaban mereka belum terlihat adanya kesadaran tentang perlunya pengetahuan tentang perbedaan budaya, baik tentang karakteristik budaya sendiri, maupun tentang perbedaan-perbedaannya dengan budaya-budaya lain! Oleh karena itu, maka tulisan ini diharapkan akan menumbuhkan kesadaran tersebut dan sekaligus memberikan pengetahuan dasar yang perlu tentang pengaruh perbedaan budaya pada efektivitas interaksi dalam organisasi bisnis dan pada penerapan manajemen. Sayang sekali bahwa 20 tahun setelah survei tersebut tidak ada media yang mengambil inisiatif untuk melakukan survei serupa.
Masa Depan Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Banyak manajer dan eksekutif terkemuka Indonesia, seperti mantan Presiden IBM Indonesia, I Gusti Made Mantra, Ph.D dan Tanri Abeng (dulu di Bakrie Group, Menteri Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara dalam Kabinet Habibie), yang menganggap sulit dalam upaya pengurangan Tenaga Kerja Asing, terutama untuk mereka yang tergolong manajer dan profesional, selama jumlah orang Indonesia yang mampu menggantikan mereka tidak mencukupi. Selain daripada itu, dengan semakin cepatnya perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, tenaga profesional pada level spesialis dan teknisi tingkat menengah dan tinggi akan tetap banyak diperlukan khususnya pada proyek dan industri berteknologi tinggi. Dapat dilihat dari data survei Bank Indonesia tahun 2011 lalu yang menunjukkan jumlah tenaga profesional dari negara-negara Korea dan Cina. Dengan berlakunya perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN, tahun depan jumlah tenaga kerja asing dari negara ASEAN terutama kelompok tenaga profesional diperkirakan akan semakin meningkat.
Meski banyak upaya dari sektor swasta, kalangan universitas, dan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi tenaga Indonesia pada semua tingkatan, kekurangan sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih agaknya masih akan tetap dirasakan dalam masa 15 tahun mendatang. Ada banyak penyebab kekurangan tersebut. Salah satunya bisa dilacak melalui sejarah. Selama pendudukan Belanda, tak pernah ada (setidaknya tak pernah tercatat) orang Indonesia yang dilatih untuk atau menduduki posisi manajer di perusahaan-perusahaan Belanda di sini. Posisi tertinggi yang bisa dicapai orang Indonesia ketika itu hanyalah juru tulis senior atau mandor perkebunan. Baru pada awal tahun 1960-an, orang Indonesia mulai mengenal konsep, prinsip, dan teknik manajemen modern.
Ketika itu, orang-orang dari berbagai latar belakang, tetapi kebanyakan pensiunan tentara, ditunjuk menjadi manajer pengelola perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah. Baru mulai tahun 1975, kalangan bisnis dan lembaga-lembaga pendidikan manajemen dan profesi lainnya bertumbuhan dan berkontribusi cukup besar dalam meningkatkan jumlah manajer profesional dan tenaga spesialis dalam berbagai bidang profesi..
Jakarta 8 Maret 2017