Arti Persepsi dan Persepsi Stereotip
Salah satu penyebab terjadi konflik dalam rangka interaksi budaya adalah persepsi yang keliru yang kemudian dijadikan pembenaran untuk sikap yang ditunjukkan kepada suku atau bangsa lain. Apa yang akan kita bahas adalah persepsi, yang secara awam bisa diartikan sebagai pendapat, anggapan, asumsi dan perasaan tentang orang lain, suku lain, bangsa lain atau sesuatu, baik negatif atau positif, yang terbentuk atau tertanam dari hasil pengamatan, pengalaman melakukan interaksi dan yang terbanyak adalah dari apa yang didengar dari seseorang atau banyak orang yang tidak diuji kebenarannya. Pendapat, asumsi, atau anggapan itu oleh para pakar psikologi dirangkum menjadi sebuah kata yaitu persepsi. Dalam tulisan saya akan menyajikan hasil penelitian penulis tahun 1998 lalu mengenai persepsi Manajer Indonesia dan Manajer Asing dalam rangka pengumpulan data untuk penyusunan disertasi doktoral penulis.
Jadi apa yang dimaksud dengan “Persepsi Stereotip”? Silakan perhatikan karikatur di bawah ini. Gambar yang dimuat oleh seseorang di media LinkedIn sekitar caturwulan ke 3 tahun 2016 lalu merefleksikan persepsi (anggapan) yang tertanam pada sejumlah orang tentang sikap dua bangsa yang berbeda terhadap “kerja”. Yang pertama bangsa Jepang, yang anggapannya terhadap mereka sangat positif. Kedua bangsa-bangsa Timur Tengah yang anggapan terhadap mereka sangat negatif. Itulah contoh dari persepsi stereotip yang umum ditemukan.
Definisi persepsi yang paling populer dikenalkan oleh seorang pakar bernama Shiffman, yang kemudian dikutip oleh banyak penulis lain termasuk Adler (1991), dan Greenberg dan Baron (1995, hal.48). Shiffman menjabarkan persepsi sebagai “suatu proses di mana orang memilih, mengorganisir, dan mengartikan informasi yang datang (diterimanya) dengan menggunakan indera yang bertujuan untuk memahami dunia di sekitarnya”. Dalam konteks studi perilaku manusia, istilah yang digunakan adalah persepsi sosial yang artinya “upaya menggabungkan, mengintegrasikan, dan mengartikan informasi mengenai orang lain agar seseorang bisa mendapatkan kesan yang akurat mengenai orang lain tersebut”. Istilah stereotip (stereotyping) adalah bagian dari konsep persepsi dalam studi perilaku organisasi. Greenberg dan Baron (1995) lebih jauh menambahkan bahwa ada dua variabel penting yang mempengaruhi persepsi seseorang mengenai orang lain yaitu “bias” persepsi, atau tipe kesalahan penilaian yang sering dibuat orang, dan stereotip (“stereotype”), atau kecenderungan orang untuk mengkategorikan orang lain berdasarkan kelompok-kelompok dari mana orang lain itu berasal. Karikatur di bawah ini menggambarkan persepsi stereotip sebagian bangsa-bangsa non Muslim terhadap sebagian bangsa Timur Tengah yang menumbuhkan kumis dan jenggot mereka sangat panjang. Mereka selalu dicurigai sebagai ekstremis bahkan teroris, padahal sebagian bangsa Yahudi dari kelompok ortodoks juga punya kebiasaan yang sama tapi tidak dicurigai sebagai ekstremis.
Berbagai kategori yang dibuat berdasar imajinasi atau anggapan saja sering menjadi tak efektif kalau kita menempatkan orang lain atau suatu hal ke dalam kelompok yang salah. Pengkategorian antar budaya yang salah bisa saja terjadi jika orang menggunakan kategori yang biasa diterapkan di negara dari mana ia berasal dalam usaha untuk memahami situasi di negara lain. Misalnya, seorang pengusaha asal Indonesia yang berkunjung ke kantor perusahaan Jepang di Jakarta menemukan satu ruangan di mana terdapat lusinan meja kerja. Bisa jadi ia kecewa menemukan meja manajer akan ditemuinya ternyata hanya satu dari lusinan meja di ruang besar tersebut, sehingga menganggap bahwa manajer tersebut kedudukannya tidak penting. Dengan mengasumsikan bahwa setiap manajer biasanya memiliki kantor dan sekretaris sendiri, ia telah salah mengambil kesimpulan dan karenanya salah pula dalam bersikap.
Berdasarkan penjelasan di atas, Adler (1991, hal.71) menawarkan definisi stereotyping lintas budaya yaitu: “sebuah kategorisasi yang mengatur perilaku dan pengalaman kita dalam berhadapan dengan kelompok etnik atau bangsa tertentu. Stereotype tidak pernah mengacu kepada perilaku individu, melainkan kepada norma perilaku para anggota kelompok tertentu.” Menurutnya, stereotip bisa juga membantu apabila memenuhi syarat di bawah ini:
- Secara sadar dilakukan. Orang yang membuat stereotype secara sadar paham jika ia menjabarkan norma kelompok bukan karakter perorangan.
- Sifatnya lebih deskriptif ketimbang evaluatif. Stereotype sebaiknya menjabarkan seperti apa perilaku kelompok tertentu tanpa menilai apakah perilaku tersebut baik atau buruk.
- Akurat. Stereotip sebaiknya bisa secara akurat menggambarkan norma kelompok dari mana seseorang berasal.
- Tebakan pertama yang terbaik mengenai suatu kelompok sebelum mendengar informasi langsung mengenai satu orang atau lebih yang secara spesifik terlibat.
- Sudah dimodifikasi, berdasarkan pengamatan lebih jauh dan pengalaman selama berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok tersebut.
Stereotip yang dibuat secara tak sadar lebih sulit untuk dimodifikasi atau bahkan dibuang. Meskipun seseorang sudah mendapatkan informasi yang sebenarnya mengenai orang lain, stereotype yang sudah ia bangun secara tak sadar dalam pikirannya akan sulit untuk disingkirkan atau diubah karena stereotype tersebut diyakininya sebagai yang benar. Stereotype yang seperti ini juga tidak akurat mengevaluasi seseorang atau situasi, sehingga jika dipertahankan bisa menjadi panduan yang salah dan tidak efektif. Jenis stereotype seperti inilah yang berbahaya dalam proses interaksi lintas budaya dan bisa mendatangkan hasil yang negatif.
Persepsi Stereotip Seringkali Menjadi Penyebab Konflik Budaya
Di setiap level dalam hierarki organisasi, interaksi antara orang Indonesia dan orang asing bisa saja terjadi. Apapun tujuan interaksi tersebut, tetap membuka peluang terjadinya konflik atau insiden sewaktu-waktu. Berikut contoh di mana terjadi insiden budaya yang dilaporkan oleh orang-orang asing yang bekerja di perusahaan-perusahaan internasional di Indonesia dan negara-negara lain di wilayah sekitarnya (terdaftar dalam makalah Goodman yang dibagikan dalam sebuah pelatihan pembentukan tim lintas budaya di Jakarta, bulan Agustus 1998).
- “Saya terbiasa bicara apa adanya dan tanpa basa-basi dalam rapat bisnis dan sebagainya….sebagian orang di sini mengatakan kepribadian saya kuat walaupun rasanya mereka tidak memaksudkannya sebagai pujian.”
- “Rapat bagi orang Filipina merupakan kesempatan untuk bersosialisasi, tak ada keputusan atau kebijakan yang diambil. Tapi bagi orang Indonesia? Sulit sekali untuk memahaminya, dan saya rasa mereka juga tak mengerti saya.”
- “Di negara Muslim seperti di Indonesia, saya perhatikan kurang ada kontak mata dan fisik (seperti jabat tangan) antara pria dan wanita. Dan umumnya, di Asia Tenggara semua keputusan, sekecil apa pun, diambil oleh mereka yang posisinya lebih tinggi.”
- “Orang Amerika biasanya tidak pemalu, mereka mampu mengartikulasikan gagasan mereka dengan baik dan tidak mudah terintimidasi oleh atasan. Buat saya sebagai orang Asia, perilaku tersebut sangat berbeda dari budaya saya yang malu-malu, diam, dan ‘patuh’ pada atasan.”
Contoh-contoh di atas menggambarkan eksistensi dari anggapan-anggapan atau asumsi yang bersifat “stereotip” yang seringkali melekat pada hati dan kepala tiap orang mengenai bangsa lain. Apabila anggapan-anggapan tersebut kemudian direfleksikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang negatif dalam berinteraksi maka ini sudah menunjukkan adanya konflik. Apabila persepsi stereotip negatif tersebut sudah sangat melekat dan hampir sulit dihilangkan (”pokoke”) maka sikap itu disebut “prejudis” dan sikap prejudis inilah yang telah menimbulkan konflik atau malah perang antar etnis di mana-mana! Ada banyak definisi tentang konflik. Salah satunya ditawarkan oleh Thomas (1992) seperti dikutip oleh Greenberg dan Baron (1995, hal.415). Menurutnya, konflik adalah proses yang muncul dari tindakan kelompok atau perorangan yang dianggap pihak lain berdampak negatif terhadap kepentingan-kepentingan mereka.
Pendapat Eksekutif/Pengamat Asing Mengenai Orang Indonesia
Faulkner (1995) seorang eksekutif Australia yang pernah tinggal di Indonesia selama 9 tahun memberikan pengamatan yang agak lebih bersifat netral. Pengamatannya tentang orang Indonesia adalah sebagai berikut:
- Perilaku orang Indonesia berbeda-beda tergantung dari kelompok etnis mana ia berasal. Orang dari Sumatera Utara biasanya lebih terbuka dan tak suka berbasa-basi. Orang Jawa lebih menahan diri dan mengikuti tata cara. Mereka lebih dituntut untuk bertingkah laku yang ‘berbudaya’ dan biasanya menghindari konflik terbuka dengan orang lain. Di sisi lain, orang Madura yang pulaunya berdekatan dengan Jawa Timur dan orang Bugis terkenal bertemperamen panas dan cepat bereaksi terhadap hal yang mereka anggap sebagai ancaman atau penghinaan.
- Bahasanya memiliki makna tersembunyi. Karena sikapnya yang tertutup, bisa jadi kita sulit menebak pikiran dan reaksi orang Jawa. Kebanyakan orang Indonesia lebih mengandalkan perasaan, sementara orang Barat lebih mengandalkan otak. Orang Indonesia akan mengatakan, “saya rasa…”, sedangkan orang Barat akan mengatakan, “saya pikir…”. Karenanya orang Barat yang datang ke Indonesia harus lebih peka terhadap makna tersembunyi yang ada dalam perkataan orang Indonesia.
- Sensitif terhadap perilaku agresif. Tingkah laku kasar, bahasa badan agresif, dan suara yang keras bisa dianggap menyinggung dan membuka konfrontasi oleh orang Indonesia. Kebanyakan gampang tersinggung oleh perilaku yang terlalu blak-blakan atau komentar dan pertanyaan yang diajukan orang asing.
- Harga diri dan gengsinya tinggi. “Kehilangan muka” terutama jika menyangkut urusan pribadi atau kehormatan keluarga dianggap sebagai hinaan terbesar oleh orang Indonesia. Karenanya semua persengketaan pribadi juga harus diselesaikan secara tertutup.
Anggapan Manajer Asing Tentang Karyawan Indonesia
Aspek Positif
Ada 150 jawaban yang diberikan responden asing atas pertanyaan mengenai karakter positif orang Indonesia. Menariknya, 50% dari mereka memberikan jawaban serupa dengan para responden Indonesia yang menyatakan orang Indonesia ramah, mudah bersosialisasi, sopan, dan suka tersenyum. Sebanyak 42% menganggap orang Indonesia memiliki sikap yang baik terhadap pekerjaan, perusahaan, dan setia kepada atasan. Hanya 8% yang beranggapan orang Indonesia memiliki kualitas dan kemampuan cukup.
Aspek Negatif
Jawaban mereka terhadap pertanyaan ini memberikan gambaran menarik mengenai bagaimana kedua kelompok responden menjabarkan persepsi mereka mengenai karakter negatif orang Indonesia di perusahaan mereka. Sebanyak 85% responden asing menempatkan “Sikap/Mentalitas/Etika Kerja yang Buruk” di urutan pertama. Yang termasuk dalam kategori ini adalah sikap malas dan kurang disiplin (disebutkan 15 kali oleh responden asing), kurang inisiatif (18 kali), kurang rasa tanggung jawab (28 kali), mentalitas lemah dan punya kebiasaan buruk (36 kali), dan kurang transparansi atau keterbukaan (12 kali). Nilai-nilai tinggi di atas mencerminkan perhatian yang sangat besar dari responden asing terhadap mutu karyawan Indonesia. Tetapi anggapan tersebut bisa juga merupakan stereotip yang memang sudah tertanam di benak mereka.
Mengenai “Kualitas Profesional”, hanya 10% responden asing, atau 13 jawaban yang masuk. Ini menunjukkan bahwa yang menjadi keprihatinan mereka bukanlah kualitas keahlian tetapi perilaku dan sikap atau etos kerja. Meski demikian, hanya sedikit responden asing yang menyebutkan secara spesifik karakter orang Indonesia yang tidak mereka sukai (lihat kategori “Hal-hal yang Tak Disukai Orang Asing). Kategori ini sebetulnya merupakan bagian dari “Perilaku Sosial” tetapi sengaja dipisahkan. Ada 6 responden yang memberi jawaban. Temuan ini memperkuat kesimpulan yang diambil Kuntjaraningrat.
persepsi Manajer Asing Tentang Diri Mereka Sendiri
Aspek Positif
Jawaban yang diberikan responden asing dikategorikan sedikit berbeda. “Perilaku Sosial” di sini digantikan dengan “Kontribusi dan Peran Positif”. Kebetulan orang asing sendiri banyak yang beranggapan bahwa mereka memiliki etos dan etika kerja yang sangat kuat seperti terlihat dari nilai mereka yang mencapai hampir 48%. Hampir 20% responden asing juga beranggapan bahwa mereka memberikan kontribusi dan memainkan peran khusus. Sejumlah responden asing menyebutkan ‘bisa mengajar kolega Indonesia’, ‘membantu Indonesia’, dan ‘membantu orang-orang Indonesia yang miskin’ sebagai contoh kontribusi yang mereka berikan. Persepsi diri yang seperti ini agaknya yang mempengaruhi sikap mereka terhadap orang Indonesia. Bahkan sebagian responden asing mengakui sikap ini sebagai sikap yang ‘sok tahu’.
Aspek Negatif
Jawaban responden asing dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu “Sikap dan Perilaku Sosial” dan “Kualitas Profesional”. Sama seperti pendapat orang Indonesia, orang asing pun menyebut perilaku sosial (negatif) sebagai karakter negatif nomor satu mereka. Sebanyak 75% dari mereka memberikan jawaban seperti itu atau mengakui hal itu sebagai kelemahan mereka. Sedangkan 25% responden lain menyebutkan “Kualitas Profesional” kolega mereka yang mereka anggap kurang memenuhi standar. Dalam hal ini adalah menarik untuk dicatat bahwa mayoritas dari responden yang manajer asing sendiri menggunakan kata-kata seperti “We are rude” (kami kasar), atau “We are blunt” (Kami bicara “tanpa tedeng aling-aling”) dalam menggambarkan citra mereka yang “negatif”.
Anggapan Manajer Indonesia Tentang Diri Mereka Sendiri, Kolega, dan Bawahan Mereka yang Juga Orang Indonesia
Bulan September 1998, saya meminta sekitar 15 mahasiswa program MBA yang diselenggarakan oleh Universitas Teknologi Filipina di Jakarta untuk mengisi kuesioner berpilihan ganda. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok profesional Indonesia yang menjadi responden survei kecil-kecilan ini memandang orang Indonesia (berdasar urutannya) sebagai orang yang ramah, sopan, fleksibel, pekerja keras, dan setia kepada atasan. Di sisi negatifnya, mereka mengganggap orang Indonesia tak mau susah, pesimis, kurang sabar, terlalu nasionalis, dan terlalu formal.
Kemudian antara bulan November 1998 – Januari 1999, penulis mengulang survei serupa dengan jumlah responden yang lebih besar. Mereka diminta menyebutkan tiga hal yang mereka sukai dari kolega Indonesia mereka. Jawaban yang diberikan baik oleh orang Indonesia maupun orang asing dikelompokkan dalam tiga kategori utama: “Kualitas Profesional”, “Perilaku dan Etika Kerja”, dan “Perilaku Sosial atau Terhadap Orang Lain”. Sebanyak 270 jawaban diberikan responden Indonesia dan sebanyak 145 atau 55% daripadanya berkaitan dengan “Perilaku Sosial (positif)”. Mereka memandang diri mereka sebagai orang yang ramah, suka bersosialisasi dan mudah berteman, dan mengharap orang lain bersikap serupa dengan/seperti mereka. Dengan jumlah jawaban sebanyak 79 (28%), orang Indonesia juga menganggap dirinya memiliki “Perilaku Kerja” yang sepantasnya. Sebanyak 46 jawaban (17%) mengatakan mereka memiliki kualitas profesional yang cukup.
Aspek Negatif
Responden survei yang disebutkan di atas ini juga diminta untuk menyebut tiga hal yang tidak mereka sukai dari kolega Indonesia. Dari responden Indonesia saja terkumpul 228 jawaban. Jawaban-jawaban ini diperlakukan sama dengan jawaban-jawaban untuk pertanyaan sebelumnya. Hasilnya menarik karena kedua kelompok responden (asing dan Indonesia) memberi gambaran yang mirip mengenai karakter negatif kolega Indonesia. Yang menempati urutan pertama adalah “Etika/Mentalitas/Sikap Kerja yang Buruk”. Sebanyak 48% dari total responden Indonesia memberi jawaban di atas. Sikap yang termasuk di dalam kategori ini adalah malas dan kurangnya disiplin, kurang inisiatif, kurang rasa tanggung jawab, mentalitas lemah dan kebiasaan buruk, dan kurangnya transparansi dan keterbukaan. Persepsi negatif yang kuat mengenai pekerja dan manajer Indonesia ini mencerminkan stereotype negatif yang khususnya sudah berakar dalam benak para eksekutif dan manajer asing.
Responden Indonesia menganggap kolega Indonesia mereka juga buruk kualitas profesionalnya dalam hal keahlian dan pengetahuan (termasuk kemampuan berbahasa asing). Menariknya, mereka juga menganggap orang Indonesia memiliki perilaku sosial yang buruk karena kurang peka, mudah cemburu/iri, suka bergosip, gampang terpengaruh, tidak terus terang, dan jika sudah di atas sering jadi sombong. Pernyataan terakhir agaknya memperkuat temuan Dananjaya mengenai sistem nilai manajer Indonesia. Sebaliknya, anggapan yang diberikan oleh para manajer Indonesia ini ternyata juga didukung oleh para manajer asing yang menjadi responden yang akan dibahas dalam bagian berikut.
Anggapan Manajer Indonesia Atasan dan Kolega Asing Mereka
Aspek Positif
Responden yang sama diminta menyebutkan tiga hal yang mereka anggap sebagai karakter positif dari kolega-kolega asing mereka. Sebanyak 235 jawaban terkumpul dari responden Indonesia dan 98 jawaban terkumpul dari responden asing. Jawaban dari responden Indonesia digolongkan ke dalam tiga kategori: “Kualitas Profesional dan Pribadi”, “Perilaku Sosial” (sikap terhadap orang lain dalam lingkungan sosial), dan “Sikap/Gaya/Etika Kerja” (mencakup semua hal yang berkaitan dengan komitmen, ketegasan, disiplin, dan sebagainya). Dari jawaban-jawaban yang terkumpul dari responden Indonesia, dapat disimpulkan bahwa mayoritas dari mereka setuju bahwa kekuatan manajer asing terutama adalah; sikap pada pekerjaan, gaya bekerja, dan etika kerja mereka yang sangat kuat atau tinggi!
Ternyata pendapat responden tersebut mirip dengan hasil survei yang dilakukan majalah Tiara (lihat tulisan saya berjudul Jago Kandang) juga menunjukkan pandangan orang Indonesia mengenai orang asing yang bekerja di Indonesia sebagai profesional dan manajer. Contohnya, menjawab pertanyaan mengenai kualitas orang asing, 35,8% responden Tiara menyakini bahwa orang asing hanya lebih disiplin dan lebih kuat komitmennya, tetapi dalam hal lain sama saja dengan orang Indonesia. Hanya 22,8% responden yang beranggapan pekerja asing lebih profesional dan hanya 8,9% yang menganggap bahwa mutu pekerja asing lebih baik daripada pekerja Indonesia “hanya karena mereka mampu berkomunikasi dalam bahasa asing yang kebetulan memang bahasa ibu mereka”!
Aspek Negatif
Akibat terburuk dan tak diharapkan dari interaksi budaya pasif adalah terbentuknya persepsi stereotype menyangkut orang asing. Misalnya rata-rata orang Indonesia, menganggap orang Amerika sedikit-sedikit main pistol, seperti dalam perang, baik polisi dan bandit sama-sama tak segan membunuh orang. Kebanyakan orang Indonesia juga beranggapan bahwa wanita Amerika penganut ‘gaya hidup bebas’. Tentu saja pandangan stereotip seperti ini terbentuk dari seringnya menonton film-film Hollywood dan membaca majalah-majalah Amerika populer seperti Playboy yang meskipun dilarang masuk Indonesia tetapi tetap saja tersedia lewat orang-orang Indonesia yang pulang dari luar negeri. Anggapan-anggapan negatif yang lain masih banyak, seperti misalnya orang Amerika sombong dan tak sopan, orang Belanda dan India pelit, orang Jerman arogan dan merasa superior.
Menarik untuk dicatat bahwa orang Amerika dianggap sombong dan kasar/tidak sopan ternyata tidak hanya bagi orang Indonesia, tapi juga bagi orang-orang di berbagai negara (Maddox, 1993, hal. 20 yang mengutip Schreiber, 1992, hal.10B). Schreber (kembali dikutip Maddox) juga mengatakan bahwa anggapan itu muncul akibat sikap orang Amerika sendiri yang ‘ngotot’ bersikap seperti di rumah sendiri meski berada di negara orang. Sedangkan kesan negatif mengenai orang Jerman agaknya berkaitan dengan slogan ‘Deutsche Uber Alles’ (Bangsa Jerman di Atas Semua) yang dulu dipakai Adolf Hitler. Banyak siswa, termasuk dari Indonesia, yang kenal slogan ini dari mata pelajaran Sejarah Dunia.
Sayang hanya sedikit orang yang tahu bahwa slogan tersebut asalnya adalah “Deustcheland Uber Alles” (Tanah Air Jerman di Atas Segalanya”) sebenarnya dipopulerkan oleh Hoffman von Fallersleben dan merupakan bagian dari lagu kebangsaan Jerman, sama fungsinya dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika milik Indonesia. Adolf Hitler mempelesetkan slogan tersebut 100 tahun setelah slogan tersebut dikenalkan kepada khalayak umum. Ia juga menghapus slogan asli dari lagu kebangsaan Jerman agak tak timbul kebingungan di tengah masyarakat (Runkel, Maret 1998, dari catatan pribadi).
Menyangkut tiga hal yang tidak mereka sukai dari orang asing yang bekerja di perusahaan mereka, responden memberikan 223 jawaban atau hampir 2 jawaban per responden. Jawaban-jawaban dikelompokkan dalam empat kategori utama yaitu “Sikap dan Perilaku Sosial”, “Sikap Kerja”, “Kualitas Profesional” dan “Perbedaan Perlakuan” (dari orang Indonesia). Perlu dicatat bahwa “Perilaku Sosial (Negatif)” ternyata menempati urutan nomor 1 sebagai karakter yang paling tidak disukai oleh responden Indonesia maupun asing. Sebanyak 53% jawaban yang diberikan responden Indonesia berhubungan dengan karakter tersebut. Termasuk di dalamnya jawaban-jawaban yang mengatakan orang asing ‘sombong’, ‘tak suka bersosialisasi’, ‘memandang rendah orang Indonesia’, ‘merasa lebih pintar’, dan sebagainya. Karakter ‘sombong’, ‘perasaan superior’, dan ‘memandang rendah orang lokal’ disebutkan oleh 40 dari 132 responden Indonesia. Seorang responden Indonesia bahkan terang-terangan mengaku tak punya kesan baik sedikit pun mengenai orang ‘bule’. Pengakuannya ini menunjukkan betapa negatif sikapnya tersebut.
Jawaban-jawaban yang tergolong ke dalam kategori ‘Sikap dan Gaya Kerja’ adalah ‘terlalu suka mengatur’, ‘terlalu kaku’, ‘terlalu ketat menetapkan tenggat’, ‘cuma berpikir jangka pendek’, dan sebagainya. Termasuk ke dalam kategori “Kualitas Profesional” adalah ‘awam lingkungan setempat’, ‘kurang kemampuan’, ‘kurang pengalaman’, ‘tak semuanya memiliki kualifikasi yang dibutuhkan’, ‘tak semuanya mampu berbahasa Inggris’, dan sebagainya. Sebanyak 25% responden asing ternyata memberikan jawaban serupa dengan responden Indonesia. Lalu, sebanyak 16 orang, atau 12,5%, responden Indonesia juga mengungkapkan ketidaksukaan mereka pada ‘perbedaan perlakuan menyangkut kompensasi dan tunjangan’ yang menyebabkan kesenjangan ekonomi antara orang asing dan orang Indonesia. Perbedaan perlakuan tersebut misalnya terlihat dari pembayaran gaji dalam US$ untuk orang asing, penempatan orang-orang asing yang muda dan kurang pengalaman dalam posisi-posisi tinggi, gaji dan tunjangan yang lebih besar, dan semua itu, menurut responden, diperoleh orang asing sejak mereka menginjakkan kaki di Indonesia.
Apa Kata Para Pakar Budaya Indonesia Tentang Orang Indonesia
Sejumlah pakar Indonesia telah banyak menulis buku atau tulisan mengenai aspek budaya negeri ini. Buku-buku mereka juga mengandung bayak persepsi stereotip tentang bangsa Indonesia. Dua pakar yang akan penulis kutip adalah pertama almarhum Kuntjaraningrat (1997, hal.37), profesor antropologi lulusan Universitas Yale dan yang kedua adalah (Alm) Prof. DR. A.S. Munandar, Guru Besar Fakultas Psikologi UI yang penulis kenal cukup baik.
Prof. Kuntjaraningrat Ph.D (Alm.)
Prof. Kuntjaraningrat menyebutkan sejumlah aspek yang beranggapan bahwa budaya Indonesia bisa jadi penghambat kemajuan menuju negara modern di abad mendatang misalnya:
- Kurangnya orientasi pencapaian prestasi sebagai bagian dari sistem nilai budaya (Karena yang diberi nilai tinggi oleh bangsa Indonesia adalah “hubungan”). Tapi ini agak bertentangan dengan hasil penelitian Dananjaya.
- Orientasi berlebihan kepada kejayaan masa lalu yang tercermin dari banyaknya ornamen, mitos, dan patung yang mengagungkan sejarah. Menurutnya, hal ini melemahkan motivasi untuk mempunyai visi, merencanakan masa depan, menabung dan meningkatkan efisiensi, ada kaitan erat dengan skor rendah untuk dimensi “Uncertainty Avoidance” dari Geert Hofstede.
- Mentalitas yang lebih banyak mengandalkan firasat dan keberuntungan daripada perencanaan jangka panjang dan penetapan tujuan (termasuk mencari petunjuk dari paranormal, dukun dan “orang pintar”).
- Ketergantungan kepada kelompok dan keinginan untuk mempertahankan harmonisasi kelompok yang berlebihan sehingga orang Indonesia kurang memiliki usaha dan keinginan untuk berhasil secara perorangan (Refleksi dari nilai tinggi untuk dimensi “Kolektivisme” dari Hofstede).
- Mentalitas orientasi vertikal yang terlalu banyak mengandalkan petunjuk dan pengarahan atasan dalam pengambilan keputusan yang kecil sekalipun. Akibatnya tak ada inisiatif dan kreativitas perorangan, dan ada kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab (refleksi dari skor tinggi untuk dimensi “Power Distance” dari Hofstede).
Kuntjaraningrat juga menambahkan bahwa setelah revolusi kemerdekaan, ada lagi karakter-karakter negatif baru orang Indonesia sebagai berikut:
- Kurang peduli mutu. Agaknya hal ini disebabkan oleh kemiskinan yang memaksa orang untuk berproduksi sebanyak mungkin tanpa mempedulikan mutu barang dan jasa yang mereka produksi atau konsumsi. Alasan lain bisa jadi kurangnya semangat kompetisi yang memang tidak dibiasakan karena dianggap membahayakan keharmonisan kelompok dan yang memang dipengaruhi oleh kebijakan nasional yang menyokong monopoli.
- Senang mencari jalan pintas dan “suka menerabas”. Orang lebih suka mendapatkan hasil secepat mungkin tanpa peduli jalan bagaimana (proses dan prosedur) yang ditempuhnya untuk mendapatkan hasil tersebut. Awalnya ini disebabkan karena pada awal masa kemerdekaan dulu, banyak orang dibebankan terlalu banyak tanggung jawab yang melebihi kemampuannya.
- Kurang percaya kemampuan diri sendiri. Ini agaknya disebabkan banyaknya proyek pembangunan yang gagal di tahun-tahun awal kemerdekaan, ditambah lagi sikap orientasi vertikal yang memang sudah mendarah daging. Banyak orang Indonesia yang lebih mendengar apa kata orang asing ketimbang apa kata orang sendiri. Banyak pula orang Indonesia yang menunjukkan rasa tidak suka yang berlebihan pada orang asing, terutama orang barat, hanya untuk mengkompensasi rasa inferioritasnya.
- Kurang disiplin. Banyak orang Indonesia yang hanya bersikap disiplin kalau dekat atasannya. Di lingkungan pegawai negeri, biasanya hal ini disebabkan kurangnya sanksi dan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Mungkin juga akibat pola pengasuhan yang mereka terima ketika kecil. Di desa dan kota kecil, anak-anak kecil banyak yang bebas berkeliaran tanpa pengawasan dan disiplin ketat dari orang tua.
- Kurang rasa tanggung jawab. Orang kurang memiliki rasa tanggung jawab dan mau menanggung kesalahan sendiri terutama jika menyangkut masalah ekonomi dan keuangan. Agaknya ini disebabkan oleh kemiskinan dan tekanan hidup yang memaksa orang untuk memiliki banyak pekerjaan sampingan. Lagipula nilai tradisional yang berorientasi kepada atasan juga memperburuk mentalitas ini.
Terakhir, Prof. Kuntjaraningrat juga mengatakan bahwa orang Indonesia menganut budaya malu dalam arti mereka yang terlibat skandal atau korupsi baru merasa malu jika ketahuan. Tetapi dalam hal yang terakhir apakah yang dikatakan beliau ini masih berlaku pada saat ini (tahun 2017) rupanya sukar sekali ditemukan. Kelihatannya orang cenderung sudah tidak punya lagi rasa malu dan cenderung “malu-maluin” kata orang Jakarta. Lubis (1997, hal.24) mendukung pengamatan Kuntjaraningrat terutama yang berkaitan dengan karakteristik yang berorientasi vertikal. Lubis yang yakin hal ini adalah warisan sistem feodal yang kuat tertanam dalam masyarakat kita menganggap hal inilah yang menjadi penghambat utama bagi pertumbuhan demokrasi modern di Indonesia. Sayang sekali bahwa pengamatan Kuntjaraningrat dan Lubis juga lebih bersifat anggapan stereotip tanpa mengupas nilai-nilai dan karakteristik budaya yang melatarbelakangi sikap dan karakter yang dianggap negatif dan menghambat itu.
Prof. A. S. Munandar (Alm.)
Berkaitan dengan anggapan stereotip yang negatif tentang karyawan Indonesia yang melekat pada manajer asing dan juga manajer Indonesia, Prof. Munandar dalam salah satu tulisannya yang dikutip oleh “Manajemen” edisi Oktober 1999 mengemukakan sebuah kenyataan yang menarik sekaligus mengejutkan. Ternyata anggapan negatif yang bersifat stereotip tentang orang Indonesia khususnya Jawa telah melekat pada bangsa asing sejak hampir satu abad yang lalu. Menurut Prof. Munandar, seorang Belanda bernama Julius Herman Boeke pada tahun 1910 melakukan penelitian untuk menyusun disertasinya telah membuat kesimpulan sebagai berikut: “Orang Jawa tidak akan berjalan bila ia dapat berdiri diam, tidak akan berdiri bila ia dapat duduk, dan tidak akan duduk jika ia dapat berbaring. Demikian pula orang Madura dan Bawean”. Tegasnya, orang Jawa itu malas! Munandar mengatakan bahwa tentunya kesimpulan itu akan menjadikan telinga kita merah tetapi itulah kenyataan bahwa stereotip negatif tentang orang Jawa dan orang Indonesia telah begitu melekat sejak ratusan tahun. Tetapi yang dikhawatirkan adalah terjadinya apa yang oleh para ahli ilmu perilaku seperti Munandar disebut “self fulfilling prophecy” yaitu; “karena orang Indonesia dianggap malas, lalu diperlakukan sebagai orang malas maka kita benar-benar berlaku sebagai orang yang malas”