Tulisan ini adalah Bagian ke 2 atau lanjutan dari tulisan saya dengan judul yang sama. Saya akan memulainya dengan memasang sebuah foto kulit buku tulisan (Alm.) Prof. Kuncaraningrat, Guru Besar Antropologi UI.

Foto Cover buku Prof. Kuncaraningrat

Latar belakang pendidikan saya dan beliau berbedanya sangat jauh tapi sejak saya masih di bangku SMP pun saya juga sudah tertarik dengan pelajaran sejarah dan antropologi. Saat buku tipis yang beliau tulis itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1974 tapi saya baru membelinya pada tahun 1998 atau 24 tahun kemudian. Yang saya beli adalah cetakan ke 18, yang berarti sudah banyak sekali yang membacanya. Yang sangat menarik perhatian saya adalah apa yang ditulisnya di halaman 45. Beliau menulis bahwa sifat dan mentalitas bangsa kita yang menjauhkan kita dari jiwa pembangunan adalah:
1. Meremehkan mutu
2. Suka menerabas peraturan
3. Tak percaya pada diri
4. Tak berdisiplin murni
5. Mengabaikan tanggung jawab
Tulisan ini akan membahas tentang sifat nomor 2 dan 3.

1. DISIPLIN DAN TAAT PADA ATURAN
Kita sering sekali mendengar tentang bagaimana orang Singapura sangat disiplin, termasuk dalam kebiasaan antre dan ketaatan pada aturan tentang kebersihan. Saya punya cerita lain tapi terjadi di Malaysia. Sepuluh tahun lalu, saat menengok anak yang tinggal di Singapura, saya dan istri memutuskan untuk jalan-jalan lagi ke Kuala Lumpur, Malaysia. Tetapi kali itu, kami iseng naik bus karena ingin melihat pemandangan sepanjang jalan yang akan dilalui. Bus kami start jam 8 pagi dari pangkalannya di suatu tempat dan setelah menyeberang jembatan yang membentang di selat antara Singapura dan Malaysia kami sudah melewati Johor Baru. Setelah melewati pemeriksaan passport, bis kami meluncur di jalan tol yang bagus dan nyaman menuju Kuala Lumpur.  Saya yang sengaja duduk di kursi di belakang pengemudi mengamati bahwa bus yang kami naiki selalu berada di jalur kiri dan meluncur dengan kecepatan antara 80 – 100 km/jam. Bila terpaksa mendahului truk yang berjalan lebih lambat maka setelahnya ia akan segera balik lagi ke jalur paling kiri. Hal itu mengingatkan saya kepada perilaku pengemudi bus besar yang pernah kami naiki di Eropa bila berada di jalan raya antar negara (Jerman : Auto Bahn), walaupun di sana tentunya bus dan kendaraan lambat harus berada di jalur paling kanan karena aturannya berbeda.

Ketika saya bertanya kepada pengemudi cadangan yang duduk di sebelah pengemudi  yang bertugas, mengapa tidak tancap saja untuk lewati truk-truk yang lambat itu? “Kan jalur kanan kosong? Jawabannya mengejutkan saya: “Tidak perlu Bapak, kami diberi waktu untuk tiba di Kuala Lumpur dalam waktu 5 jam dari Singapore dan dengan istirahat 30 menit di Rest Area, kita akan tiba sesuai target”. Lalu dia tambahkan: “Bila kami tertangkap oleh Polisi, telah melewati batas maksimum kecepatan, laisen (SIM) kami akan dicabut”.

Saya mengangguk-angguk kagum. Betapa taatnya kerabat kita orang Malaysia yang aslinya serumpun dengan kita kepada aturan dan tata krama di jalan raya. Pernyataannya yang terakhir tentang rasa takut kalau SIMnya dicabut juga menunjukan bahwa pihak penegak hukum di sana lebih tegas dan keras dalam menjalankan tugas mereka.

Ketika tentang pengemudi bis Malaysia itu saya ceriterakan kepada seorang teman, ia  bercerita bahwa ia juga pernah naik bus dari Singapura sampai ke Hatjai (Thailand selatan) dan perilaku pengemudinya persis seperti apa yang saya  ceritakan. Kemudian, seorang teman baik yang Pati POLRI (sekarang sudah pensiun)  mengomentari sebagai berikut: “Itu adalah bagian dari budaya bangsa. Tentu kita juga ingin seperti itu Pak, tapi jika sudah kembali ke Indonesia kembali ikuti keadaan yang ada. Petugas  juga pusing. Jika kami menerapkan aturan dengan tegas maka kami akan dinilai “nganeh-nganehi”.

Benar sekali bahwa disiplin di jalan raya adalah SALAH SATU dari cerminan budaya bangsa. Sebenarnya, 20 sampai 30 tahun lalu, disiplin Bangsa Singapura dan Malaysia juga tidak sebagus seperti sekarang. Tetapi para pemimpin mereka kompak dan sepakat bahwa kalau mereka mau maju dengan cepat, mereka harus segera mengubah budaya itu dan salah satu caranya adalah melalui penegakan aturan dan hukum dengan tegas. Saat saya mampir di Dubai awal bulan Januari 2017 ini, saya mendapat informasi dari seorang warga negara Indonesia yang bekerja disana bahwa penegak hukum di Republik Emirat Arab sangat keras dan tegas dalam menghukum pelanggar undang-undang lalu lintas. Apalagi terhadap pelaku tindak pidana.

Kesimpulannya untuk membentuk disiplin dan taat aturan suatu bangsa pada tahap awal harus ada sanksi/ denda yang berat. Aturan harus terus menerus ditegakkan dan pelanggaran diberi sanksi. Begitu dilonggarkan, maka berbagai kebiasaan buruk akan mulai lagi.

2. BUDAYA ANTRI
Tahun 1981, dalam perjalanan “backpacking” di Eropa, saya ikut antri di Pusat Pelayanan Turis di kota Paris, Perancis untuk mendapatkan sebuah kamar di hotel yang murah. Saya berada di belakang seorang pemuda bule berambut pirang. Ketika hampir tiba di loket tiba-tiba seorang pemuda berambut hitam mencoba menyerobot untuk mendahului. Pemuda berambut pirang menghalangkan tangannya dan berkata dalam bahasa Inggris logat Amerika: “Hai Bung, antrinya dimulai di belakang”. Pemuda berambut hitam, yang kemudian saya tahu orang Yunani (karena ia bilang),  bereaksi keras dan bersungut-sungut mengomel dalam bahasa Inggris semampunya menyebut orang Amerika tersebut sombong dan sebagainya. Pemuda Amerika  itu hanya senyum-senyum saja dan tidak melayaninya bertengkar.

Tanpa diduga, sebuah pengalaman lain yang mirip juga menimpa saya pada tahun 1995. Saat itu saya sebagai Direktur di Group perusahaan Mercedes Benz di Jakarta. Saat jam makan siang saya ke Pasaraya Blok M untuk membeli souvenir bagi seorang rekan kerja yang akan kembali ke Jerman. Pada saat antri di depan kasir, sesuai petunjuk besar yang berbunyi HARAP ANTRI, tiba-tiba seorang gadis muda yang kalau melihat gaya dan penampilannya sepertinya terpelajar, nyelonong ke muka mendahului saya. Sambil tersenyum saya tegur dengan halus: “Maaf mbak, antrinya mulai dari belakang!” Tetapi diluar dugaan saya, ternyata ia bereaksi dengan keras dan berkata: “Alaah, sok disiplin”  tapi sambil tetap berputar balik dan menuju ke belakang. Padahal saat itu saya berpakaian rapi berdasi tapi tanpa jas yang saya tinggal di mobil. Mendapat reaksi seperti itu saya hanya  menggeleng-gelengkan kepala berusaha mengendalikan mulut saya yang biasanya tajam (he 3x). Selain itu, saya bingung juga apakah cara menegur yang saya gunakan itu salah.

Tahun 1996 saya dan istri sempat mengunjungi Yunani. Sejak tiba di bandara Athena kami sudah disuguhi dengan hal-hal yang mengingatkan saya kembali akan peristiwa di Paris 15 tahun lalu. Kami melihat bahwa disiplin antri dan menghormati aturan pada bangsa itu (saat itu) memang masih sama tingkatnya dengan bangsa-bangsa dari negara yang masih berkembang termasuk Indonesia.

BANGSA INDONESIA BISA  BERUBAH.
Seorang teman mengirim sebuah pesan yang menarik sekali berbunyi sebagai berikut: “Pak Ruky, saya sebelum lebaran ke stasiun kereta api Rawabuntu di daerah Bekasi itu. Ternyata bersih sekali pak, seperti di luar negeri. Berbeda dengan Stasiun Tanah Abang dan Gambir. Karena penasaran, saya ngobrol dengan Kepala Stasiunnya saya salami. Memang “made by purpose” pak yang bersih begini. There is a system…and alive, kalau mau, sebenarnya kita bisa pak.”

Tidak diduga, pada hari saya menerima pesan tersebut, Harian Kompas memuat sebuah artikel tentang Sosok Dirut PT KAI saat itu yaitu Ignatius Jonan (sekarang  Menteri ESDM). Paragraf penutupnya berbunyi sebagai berikut: “Dari kereta api kita bisa bercermin, bahwa sesungguhnya Indonesia mampu berubah. Disiplin, kerja keras, dan kejujuran bisa dibangkitkan kembali melalui contoh-contoh langsung.”

Bagi yang belum sempat membacanya, artikel lengkapnya di bawah ini.

http://m.kompas.com/news/read/2012/08/31/15443791/Jonan..Mengubah Indonesia sebuah artikel tentang Sosok Dirut PT KAI saat itu yaitu  Ignatius Jonan (saat ini Menteri ESDM).

Semoga Presiden Joko Widodo tetap kukuh dengan niat beliau melakukan revolusi mental. Mari kita mendukungnya.
Insya Allah berhasil. Amin