Catatan ringan untuk awal minggu.
Salah seorang sahabat saya, Didik Kuntadi, dalam salah satu tulisannya pernah menyatakan bahwa pakaian itu hanyalah “bungkus”. Katanya, yang jauh lebih penting adalah “isi” bungkusan itu. Dari satu sisi saya sangat setuju sekali dengan pernyataan itu. Tetapi ada pepatah dalam bahasa Belanda yang sering saya dengar sejak awal tahun 1970an yang berbunyi: “Kleren Maken De Mens” yang dalam bahasa Ingerisnya: “Clothes make a man”. Pepatah tersebut mengajarkan bahwa “potongan” dan keserasian pakaian yang dikenakan seorang pria akan menentukan kesan orang terhadap pria tersebut. Yang dimaksudkan oleh pepatah tersebut bukan berarti bahwa pakaian harus dibuat dari bahan yang mahal atau bermerek terkenal. Yang dimaksudkan adalah “tepat”, serasi dan rapi.
Jadi sekarang kita tahu mengapa para pendiri bangsa dan negara kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, Dr. Wahidin, dan M.H. Thamrin selalu berpakaian rapih misalnya jas dan dasi. Bila berpakaian tradisional pun pasti rapi sekali. Apalagi Bung Karno dengan stelannya yang khas. Demikian pula bila kita melihat foto pria dan wanita Belanda, Pribumi dan Cina di era itu selalu terlihat berpakaian rapi. Rupanya mereka memegang teguh ajaran Belanda tersebut. Saat ini, pakaian era 1850 -1950 sudah ditinggalkan oleh para pejabat dan politikus. Pertama untuk memberi kesan hidup sederhana, kedua karena suhu bumi yang makin panas. Kalau pakai jas dan sejenisnya di luar ruangan ber AC akan terasa sangat tidak nyaman sekali.
Berpakaian TEPAT dan RAPI adalah sebuah tuntutan bagi para profesional. Pakaian yang tepat adalah pakaian yang cocok dengan profesi masing2 sesuai dengan harapan orang. Pakaian teknisi mesin dan pakaian pengacara, eksekutif bank dan birokrat pasti berbeda.
Lalu bagaimana dengan pakaian dikategorikan sebagai pakaian santai (casual)? Di negeri Singapura, orang yang berpakaian santai yang datang ke kantor2 pemerintah untuk mendapat pelayanan atau melewati petugas Imigrasi di bandara tetap dilayani dengan baik. Tetapi di Indonesia, masih banyak instansi pemerintah yang berkeberatan bila ada tamu yang berpakaian santai. Tahun 2013 lalu ada seorang dosen sebuah universitas di daerah Jawa Tengah berceritera ke sebuah media bahwa ia telah ditolak dan tidak dilayani di sebuah kantor pemerintah karena dianggap tidak berpakaian sopan.
Beberapa tahun lalu, seorang kenalan yang eksekutif perusahaan Ingeris berceritera pada saya bahwa tiap kali ia berkunjung ke negara di Asia termasuk Indonesia ia selalu tiba di bandara dengan berpakaian resmi (jas lengkap dengan dasi) agar diperlakukan dengan ramah oleh petugas Imigrasi. Tetapi, dari pengalaman saya pribadi, ternyata hal itu juga terjadi di Ingeris, negara2 Eropa dan Arab. Beberapa kali saya berkunjung ke Arab Saudi untuk melakukan ibadah Umroh, saat mendarat di bandara saya selalu memakai jas “blazer”. Saya perhatikan bahwa sikap para petugas imigrasi disana juga lebih ramah. Aneh ya?
Ternyata “bungkus” itu jiga masih tetap penting Bro!Hehehehe.