PENGANTAR – APAKAH ORGANISASI PUNYA BUDAYA?

Sebuah organisasi, apapun bentuknya, adalah sekumpulan orang yang berkumpul (walaupun pada awalnya mungkin dikumpulkan) secara fisik, psikologis atau spiritual untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang disepakati. Dengan demikian, seperti juga kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sudah lama berkumpul untuk bekerja sama dan bekerja bersama-sama, seperti sebuah suku dan bangsa, akan memiliki apa yang disebut “budaya”. Yang dimaksud dengan “budaya” dalam konteks ini, yang paling menonjol adalah; pola pikir yang sama, keyakinan dan sistem nilai, yang secara sadar atau tidak, telah disepakati dan dipegang teguh oleh semua anggota (pegawai/karyawan) organisasi tersebut yang ditunjukkan dalam cara bersikap dan berperilaku, baik oleh pegawai biasa ataupun pejabat pimpinan, terhadap:

  • Pekerjaan masing-masing,
  • Tugas-tugas dan tanggung jawab masing-masing,
  • Perusahaan tempat mereka bekerja dan harta milik perusahaan tersebut,
  • Sesama rekan kerja, pejabat atasan dan bawahan (untuk yang punya) saat berinteraksi (berhubungan dan berkomunikasi untuk urusan pekerjaan atau apapun).

Bisa diamati juga bagaimana sikap dan perilaku orang-orang dalam organisasi tersebut, dari pejabat tertinggi sampai tingkat terbawah saat menghadapi dan berinteraksi dengan berbagai pihak di luar organisasi tersebut, misalnya;

  • Pelanggan dan calon pengguna produk/jasa yang mereka hasilkan dan jual,
  • Para pemilik modal,
  • Pejabat dari lembaga eksekutif, yudikatif atau legislatif,
  • Masyarakat umum biasa, khususnya yang tinggal di sekitarnya
  • Para pencari kerja

Contoh-contoh sikap dan perilaku tersebut dapat kita alami sendiri saat kita sendiri berurusan, baik untuk membeli produk atau jasa mereka, memasok barang atau jasa, melamar pekerjaan atau untuk urusan lain, dengan sebuah perusahaan atau dengan sebuah instansi pemerintahan. Atau bisa juga bukan kita yang berurusan tapi kebetulan menyaksikan atau mengamati bagaimana orang-orang (pegawai/karyawan dan pejabat) di perusahaan dan instansi tersebut bersikap dan berperilaku kepada orang lain saat punya urusan yang sama. Anda bisa mulai mengamati saat anda baru saja memasuki pintu gerbang kantor atau pabrik saat dilayani oleh petugas Pengamanan. Atau saat anda masuk ke sebuah toko yang menjual barang yang anda ingin beli ataupun hanya melihat-lihat atau masuk ke sebuah swalayan untuk berbelanja. Di bawah ini saya berikan sejumlah contoh tentang budaya organisasi dan anda bisa menilai apakah budaya-budaya yang saya ceriterakan akan positif pengaruhnya pada kinerja organisasi tersebut atau sebaliknya.

SIKAP DAN PERILAKU DALAM MELAYANI PELANGGAN ATAU PEMBELI

Belum berapa lama saya dan istri berbelanja di sebuah toko swalayan raksasa di Jakarta. Saat saya membaca label yang tertempel di kaleng sejenis produk yang dipamerkan di rak untuk mengetahui kandungan bumbunya, tiba-tiba seorang karyawati supermarket tersebut yang kebetulan lewat, tanpa saya minta membantu, berhenti dan berkata: “Yang itu rasa sayur pak, yang ini rasa daging”! Saya menengok dan sambil tertawa saya berkata; “Terima kasih ya Mbak. Biarkan saya membacaya sendiri, OK?” Tapi bukannya minta maaf, ia malah menjawab dengan nada kurang ramah: “Saya kan cuma mau bantu Pak, apa salah?” Karena karyawati itu ketus maka saya menjadi agak marah dan berkata kepadanya; “Lho, kok kamu ngajak ribut pelanggan? Kalau saya perlu bantuan, saya akan panggil kamu”. Ia pergi dengan wajah kesal.

Peristiwa lain terjadi di sebuah cafe di Cilandak, Jakarta Selatan. Saya bersama istri dan anak bungsu masuk ke sebuah cafe dengan nama dalam bahasa Inggris dan hanya menyajikan makanan “Barat”. Saya ingin mencoba makan “Steak Sandwich” panggang tetapi makanan itu tidak ada dalam buku menu mereka. Saya bertanya kepada pelayan yang menemui kami dan ia mengkonfirmasi bahwa restoran tersebut tidak menyediakan makanan itu. Tadinya saya akan memesan makanan lain tetapi sambil menunjuk foto “Hamburger” dengan jarinya, pemuda pelayan itu berkata; “Makanan yang ini juga dibuat dari roti dan daging kok Pak!” Anak saya yang melihat wajah saya sudah mulai “gelap” langsung menyenggol kaki saya agar saya tidak “meledak”. Akhirnya kami pindah ke cafe lain yang para pelayannya tetap “menghormati” semua tamu mereka walaupun yang bertampang “kampung”.

Saya sebenarnya merasa kasihan juga kepadanya tapi saya menyesalkan bahwa manajemen toko swalayan dan restoran itu kelihatannya tidak atau belum memberi pelatihan yang cukup kepada karyawan mereka, padahal untuk bisnis seperti itu, pelayanan kepada pelanggan adalah salah satu dari “faktor-faktor kunci untuk sukses”. Waktu saya ceriterakan pengalaman tersebut kepada peserta sebuah acara penanaman budaya organisasi di perusahaan tempat saya menjadi Advisor, beberapa orang memberi komentar sebagai berikut, yang membuat saya cukup terkejut.

  1. “Pak, kita harus punya rasa kasihan pada orang2 “kecil”. Sebaiknya karyawan2 yang kurang sopan itu jangan langsung ditegur apalagi dilaporkan langsung ke manager mereka. Kalau mereka dipecat bagaimana? Kan kasihan”
  2. “Pak, jangan mengukur Indonesia menggunakan standar negara-negara Barat yang sudah maju. Level pendidikan karyawan masih rendah. Kasihan karyawan kecil itu.”

Tiap orang yang bekerja dalam dunia bisnis harus tahu bahwa ada beberapa sektor bisnis yang salah satu “faktor kunci untuk sukses”-nya adalah kualitas pelayanan oleh staf dan karyawan, selain tentunya kualitas produk atau jasa mereka. Misalnya pada sektor hospitality (Hotel dll), Penerbangan, Restoran, Retail, dan Pelayanan Kesehatan (RS). Pada sektor bisnis ini, yang persaingannya sudah sangat keras, hampir semua staf dan karyawan berhadapan langsung dengan pembeli produk atau jasa mereka. Sikap dan perilaku karyawan yang oleh tamu/pelanggan dirasakan tidak menghormati mereka bisa berdampak FATAL. Pelanggan bisa pindah dengan mudah ke saingan. Karena itu, mentolerir perilaku buruk karyawan kepada tamu dengan alasan KASIHAN adalah sebuah sikap yang tidak membantu membangun SDM berkualitas. Para supervisor/manajer yang bertanggung jawab atas kinerja unit operasinya harus segera tahu bila ada tamu/pelanggan yang komplen. Pada banyak perusahaan bagus, para direktur atau bahkan pemilik perusahaan seringkali “blusukan” untuk mengamati sendiri situasi. Hal itu agak berbeda pada sektor industri bahan baku atau bahan setengah jadi yang penjualannya dilakukan melalui distributor kemudian di perusahaan yang pernah memiliki monopoli di sektornya sering berkembang budaya organisasi feodalistik dan birokratis. Sikap dan perilaku ramah terhadap “orang luar” hanya terlihat bila orang luar itu adalah pejabat dari instansi yang punya “kekuasaan”.

MAIN “POLITIK” DI KANTOR

Sejak tahun 1990an, topik ini sempat populer sebagai bahan bahasan dalam seminar, artikel dan buku terutama di negara-negara “Barat”. Yang dimaksud dengan “main politik di kantor” bukanlah masuknya berbagai Partai Politik ke dalam lingkungan perusahaan atau instansi tapi adalah maraknya penggunaan cara dan taktik yang biasa digunakan oleh para politikus untuk mendapat kekuasaan (power) atas lawan-lawannya. Cara tersebut seringkali dipakai baik oleh para pejabat atau pegawai biasa pada semua tingkatan dalam organisasi perusahaan atau instansi tersebut. “Power” tersebut lalu digunakan untuk mendapat pesetujuan atau dukungan untuk mendapat anggaran lebih besar, proyek baru, dan lain sebagainya. Tapi sering ditemukan bahwa itu lebih sering digunakan untuk mengejar tujuan pibadi misalnya untuk dapat jabatan atau naik pangkat (promosi).

Beberapa cara atau taktik yang banyak dipakai dari yang paling “sopan” sampai ke cara yang bisa dianggap sebagai “sadis” adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan jasa, bantuan atau “perhatian” di luar tugas atau kewajiban sampai yang menerima merasa sangat berhutang budi.
  2. Membangun atau menjadi bagian dari jaringan atau kelompok atas berbagai dasar misalnya; almamater, angkatan, suku (daerah).
  3. Mencari “backing” dari pejabat penting di institusi Negara, Daerah atau Parpol atau menjadi bagian dari satu atau lebih kelompok kuat di luar organisasi (perusahaan).
  4. Mengumpulkan (bila perlu dengan menjebak) bukti-bukti tentang perbuatan “tidak terpuji” atasan atau pejabat tertentu dan menggunakannya untuk menekan atau “memeras” mereka.

Bila cara main politik sudah lebih banyak digunakan untuk tujuan-tujuan pribadi, maka cara itu sudah menjadi “budaya” organisasi itu. Bila anda berada di dalamnya maka semua balik ke nurani anda; “take it” or “leave it”. Bila anda punya posisi dengan “power” yang lumayan, anda bisa menghilangkan permainan politik di satuan kerja anda tapi untuk menghindar sepenuhnya sulit sekali. Bagaimanapun, “power” yang diperoleh dengan cara main politik tidak akan langgeng. Bagi profesional sejati, andalan utama haruslah tetap berupa “track record” positif dan integritas yang tinggi.

Selama 35 tahun saya berkarir di beberapa perusahaan, saya selalu menemukan orang main politik walaupun rata2 pada tahap “kelas sedang” saja. Tapi, saya tetap konsisten untuk tidak ikut-ikutan “bermain”. Saya tetap berprinsip bahwa selama saya menunjukkan bahwa saya kompeten, punya hubungan baik dengan siapapun atas dasar saling menghargai, menghasilkan kinerja yang diharapkan, punya integritas dan tetap mendapat kepercayaan dan dukungan atasan, cukuplah. Tentu saja saya juga menekankan pada tim kerja saya yang saya pimpin untuk tidak melakukan hal-hal buruk yang bisa dijadikan sebagai alat untuk memojokkan kami, misalnya “membengkokkan” peraturan untuk keuntungan sendiri atau kelompok.  Orang-orang “dekat” saya sering bilang bahwa saya terlalu “naif”, “steril” dan kaku, tapi itulah saya. Dalam kenyataannya, dulu, setiap kali ada “head hunter” atau perusahaan yang akan “membajak” saya, mereka hanya menyelidiki kompetensi saya, prestasi yang saya capai dan integritas saya. Bukan kelihayan saya dalam bermain politik!

BUDAYA ORGANISASI FEODALISTIK

Pada tahun 2011, saat pertama kali saya menjadi Komisaris Independen di sebuah perusahaan Negara, tiap kali saya tiba di kantor, begitu masuk halaman, anggota Satpam yang menjaga pintu gerbang akan segera berkomunikasi melalui HT dengan rekannya yang berjaga di lobby. Begitu saya keluar dari mobil, anggota Satpam yang di lobby tersebut akan keluar dan membuka pintu mobil, lalu menawarkan untuk membawakan tas (yang saya selalu tolak), lalu mengawal saya menuju Lift. Ia menekan tombol Lift dan mengawal saya terus sampai di lantai tempat ruang kerja saya. Pintu ruangan juga dibuka oleh anggota Satpam (yang tidak bisa saya tolak karena pintu hanya bisa dibuka oleh ID Card mereka!).

Tiga puluh tahun lalu, sebagai Direktur di sebuah perusahaan makanan raksasa dengan jumlah karyawan hampir 10.000 orang, saya melakukan perjalanan dinas ke Medan. Tidak disengaja, dalam pesawat Garuda di kelas Bisnis saya duduk di sebelah seorang teman kuliah di Unpad. Saat itu ternyata ia juga Direktur di salah satu PTPN yang berlokasi di Sumatera Utara. Ketika kami mendarat di Medan begitu pintu terbuka, tiba-tiba seorang pria masuk dan dengan sigap mengambil tas kerja dan tas pakaian teman tersebut dari tempat bagasi kabin dan membawanya turun diikuti teman saya yang berjalan melenggang menuju pesawat kecil yang menunggu yang akan menerbangkan mereka ke kota di mana perkebunan tersebut berada. Saya menjinjing sendiri tas kerja dan tas pakaian dan mencari sopir yang menjemput saya di luar.
Saya memang telah meminta Kepala Pabrik disana untuk hanya mengirim kendaraan saja untuk menjemput saya. Ia harus tetap berada di tempat kerja yang merupakan tanggung jawab utamanya.

Dua buah ceritera di atas adalah dua buah contoh dari banyak ciri Budaya Organisasi yang bersifat feodalistik. Pelayanan dan perlakuan istimewa untuk para pejabat senior seperti itu selalu membuat saya merasa rikuh. Kebetulan, cara-cara seperti itu tidak ada di perusahaan multi nasional dan perusahaan nasional besar tempat saya dulu bekerja sampai mencapai level GM dan Direktur. Beberapa pimpinan perusahaan dan pengusaha sukses yang saya kenal baik selalu bersikap dan berperilaku jauh dari feodalistis. Kebiasaan tersebut telah membuat mereka (dan saya) tidak mengalami apa yang disebut “sindroma pasca kekuasaan” setelah jadi orang “biasa” lagi. Saya malah bisa menikmati status sebagai orang “biasa” tanpa canggung.

Beberapa tahun lalu saya membuat tulisan yang sama dan menyebarkannya di beberapa media sosial dan ternyata menerima sekitar 40 buah komentar yang pada dasarnya bernada kurang “sreg” dengan budaya organisasi seperti itu. Beberapa tanggapan tersebut antara lain di bawah ini.

  1. Dari seorang pengusaha muda: “Saya pernah menyaksikan contoh yang lebih buruk. Seorang Bupati dari luar Jawa yang sehat walafiat, tiap kali mau main golf, selalu bawa kacung sendiri yang membantunya memakaikan sepatunya di depan banyak orang. Bayangkan kalau dia jadi Presiden”
  2. Dari seorang teman yang Sekretaris Jenderal sebuah Kementerian. “Saya lihat budaya feodal tersebut masih terdapat di banyak BUMN kita. Saya pernah mengalami langsung kondisi tersebut waktu praktik kerja di salah satu BUMN di Jember sekitar tahun 1977. Saya surprised sekali bagaimana sifat feodal sangat terasa di lingkungan perusahaan tersebut. Seorang pejabat di sana diperlakukan dan dilayani oleh para karyawan sebagaimana kita lihat di film-film lama yang menggambarkan cara hidup orang Belanda di jaman penjajahan dulu. Saya bersukur tidak mengalami hal yang sama di BUMN di mana saya pernah bersama-sama dengan Bapak (maksudnya saya).”

Beberapa tambahan catatan dari saya tentang contoh perilaku yang kontradiktif dengan budaya feodalistik.

  1. Waktu saya bekerja di Roy M Hufficton inc (sekarang Vico)  perusahaan minyak AS di Kalimantan Timur thn 1982-1985 lalu, suatu hari pemegang saham utama yaitu Mr Roy M Huffington datang. Dalam resepsi penyambutan di mana para manajer dan istri diundang, Mr Huffington menyambut dan menyalami semua orang di pintu dan pada waktu semua akan pulang membantu membukakan pintu mobil untuk istri para manajer yang mengemudikan mobil sendiri!
  2. Akhir tahun 1994, waktu akan terjadi pergantian Presiden Direktur perusahaan tempat saya bekerja sebagai Direktur, saya diminta datang ke kantor pusat di Stuttgart, Jerman untuk memberikan briefing kepada Presiden Direktur baru tersebut tentang Indonesia dan budaya Indonesia sebelum ia datang ke Indonesia. Baru saja saya duduk ia menawari saya kopi dan saya jawab “ya”. Saya mengira ia akan menelepon seseorang untuk minta dibawakan kopi tetapi ternyata ia pergi ke mesin pembuat kopi untuk membuatnya sendiri. Saya tergesa-gesa menemaninya sambil ngobrol dan membawa kopi hasil buatannya.

Sebenarnya saya tidak bermaksud membahas topik ini dengan terlalu mendalam tetapi sebagian besar tentu bertanya-tanya: “Apakah keburukan budaya organisasi feodalistis itu dan apa dampak negatif bagi kinerja organisasi”. Dalam organisasi-organisasi (perusahaan, atau institusi pemerintahan, dan lain-lain) yang kental sekali budaya feodalistisnya dengan mudah akan terlihat bahwa tiap orang akan berusaha memberikan pelayanan yang istimewa kepada semua jajaran pimpinan dimulai dengan atasan langsung, terus sampai ke yang paling atas. Pelayanan istimewa juga diberikan kepada pejabat institusi lain yang dianggap punya “posisi” tinggi dari organisasi tersebut, misalnya para pemegang saham perusahaan, atau anggota Iembaga legislatif, penegak hukum dan pengawas institusi pemerintahan.

Waktu, energi, dan perhatian pegawai pada semua jajaran lebih banyak dipakai untuk memuaskan pribadi para atasan dan pimpinan. Sebaliknya, para pemangku kepentingan lain, yang terutama para pengguna produk atau jasa (terutama pelayanan publik), dan pemasok bahan dan jasa justru malah dianggap warga negara “kelas dua”. Semua keluhan hanya dilayani sekedar basa basi saja. Selain itu, karena atasan/pimpinan dianggap “penguasa” maka kepemimpinan otokratis akan mudah sekali berkembang dan akibatnya: inovasi, kreativitas dan keberanian untuk mengambil inisiatif sukar berkembang. Mengapa program Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah sejak 9 tahun lalu minim sekali dampak positifnya dalam bentuk peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik adalah karena yang masih menjadi sasaran utama untuk diubah dan diperbaiki adalah peraturan dan aturan, bukan budaya organisasi. Ada berita menarik terkait isi catatan ini dalam berita ini.

BERLOMBA MENERAPKAN KONSEP MANAJEMEN UNTUK PENCITRAAN

Setelah lama sepi sejak Taylor menggagas “Manajemen Ilmiah” awal abad 20 lalu, mulai awal 1970an, korporasi dan instansi pemerintah menjadi pasar empuk untuk berbagai konsep dan teknik manajemen. “MBO”, Sistim Merit, TQC, Visi, Misi, Kaizen, 5S/5R, ISO, “Seven Habits”, “Balanced Score Card”, Budaya Korporasi, Kompetensi, Transformasi Organisasi (sekarang Reformasi Birokrasi), dan “Human Capital” menjadi topik-topik hangat untuk seminar, lokakarya dan lain sebagainya. Belum lagi produk-produk “lokal” yang juga dipasarkan dengan sangat agresif. Bila ada manajer dan eksekutif yang tidak kenal dengan konsep-konsep tersebut di saat konsep itu sedang populer, ia akan dianggap ketinggalan jaman.

Sayangnya, hanya sedikit perusahaan Indonesia yang benar-benar berhasil menerapkan satu atau beberapa konsep itu sampai menjadi semacam “BUDAYA KERJA” mereka. Lebih banyak yang coba-coba menerapkan konsep-konsep baru tersebut untuk tujuan “pencitraan” yaitu agar dianggap sebagai perusahaan yang sudah menerapkan manajemen modern. Misalnya, sejak pertengahan 1980an sampai pertengahan 1990an, seminar dan konvensi TQC/PMT/ISO dan Gugus Kendali Mutu diadakan di mana-mana. Apalagi saat Alm. Laksamana L (P) Sudomo menjadi Menteri Tenaga Kerja dan cukup keras mendorong perusahaan untuk menerapkan konsep-konsep tersebut. Tetapi sejak terjadi “krismon” tahun 1997, kegiatan itu menjadi sepi dan perusahaan-perusahaan yang biasanya rajin ikut dalam kegiatan-kegiatan tersebut juga “menghilang”. Selain karena krisis, penyebab lainnya adalah karena menteri-menteri baru dalam bidang-bidang terkait tidak paham atau tertarik pada konsep-konsep tersebut.

Penyebab UTAMA gagalnya penerapan sebuah konsep, sistem atau teknik manajemen baru, apakah itu BSC, KPI, SMK, Kompetensi, atau “budaya organisasi” sebenarnya adalah absennya dukungan dari semua jajaran Pimpinan Puncak terutama dari orang no. 1. Guyonan populer tapi sinis pada tahun 1990an adalah bahwa; “Kalau pimpinan puncak cuma komat kamit tapi tidak benar-benar komit, jangan harapkan bahwa program tersebut akan berjalan secara langgeng”. Biasanya hanya 1 atau 2 pimpinan yang punya inisiatif dan jajarannya yang sangat sibuk (dan frustrasi). Pimpinan lainnya hanya hadir dalam upacara ritual yang bernuansa retorik. Akhirnya ketika muncul konsep yang lebih baru akan langsung dibeli dan dicoba diterapkan dengan tujuan menjaga citra.

BUDAYA JAGA MUKA

Alm. DR.  Zainal Soejais, Ak. (Mantan Dirut PT Pupuk Kaltim), pernah menulis pesan kepada saya sebagai berikut: “Tanggung jawab moral seorang pimpinan melekat pada tugasnya yang semestinya memberikan arahan kepada bawahan dan sekaligus mengawasinya. Tanggung jawab moral bisa beruiung ke pengunduran diri. Tetapi di Negara kita, hal itu amat langka. Malah banyak pejabat yang menolak dengan alasan takut dikira lari dari tanggung jawab.” Pak Soejais benar. Selama hidup saya, baru pada awal tahun 2017 dua orang pimpinan sebuah perusahaan penerbangan mengundurkan diri karena ada pilot perusahaan tersebut yang tertangkap mengkonsumsi narkoba sebelum terbang. Sebelumnya saya tidak pernah mendengar ada pejabat sipil, militer dan pimpinan perusahaan yang secara ksatria mengundurkan diri karena rasa tanggung jawab mereka. Di Jepang sana masih ada Menteri yang mengundurkan diri karena rasa malu. Malahan sebelum PD II mereka akan melakukan bunuh diri dengan cara “harakiri” yang sekarang sudah dilarang. Tapi Indonesia memang bukan Jepang.

Yang menarik adalah bahwa atasan dari pejabat yang di”copot” atau dialihkan selalu dengan tegas mengatakan bahwa alih tugas itu tidak ada kaitan dengan peristiwa si pejabat, yang dialih tugaskan sebenarnya tanggung jawab. Tujuannya adalah agar pejabat yang dicopot tidak hilang muka (tidak merasa dipermalukan). Kelihatannya ada 3 alasan mengapa “muka” para pejabat yang dicopot itu harus “dijaga”. Pertama, sikap tersebut adalah cerminan budaya organisasi instansi pemerintah dan banyak perusahaan Indonesia yang masih paternalistik. Dalam budaya tersebut, hubungan atasan – bawahan adalah seperti orang tua dan anak dan rasa kasih dan kasihan “ayah/ibu terhadap anak” tentu sangat kuat sekali. Kedua, karena dengan pencopotan bawahan tersebut maka muka atasannya juga akan tercoreng. Ketiga, karena para atasan tersebut mungkin ber-“hutang budi” pada bawahan yang dicopot. Selama budaya “jaga muka” dan “kasihan” itu masih kuat sekali akan sukar bagi organisasi apapun untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan sikap “siap salah” pada jajaran  pimpinannya.

BUDAYA ORGANISASI “SAKIT” DAN BAGAIMANA MENYEMBUHKANNYA?

Apa yang disebut sebagai budaya organisasi “sakit” dan apa ciri-cirinya? Selain dari contoh-contoh yang sudah diberikan di atas, sebuah organisasi yang berbudaya lemah atau tidak sehat akan menunjukkan 4 gejala di bawah ini:

  1. Para pimpinan dan semua jajaran mengalami demam “EGP” yaitu singkatan “Emangnya Gue Pikirin”. Gejala-gejalanya adalah bila saat menghadapi masalah-masalah di bawah ini
    1. Pengguna produk/jasa atau masyarakat yang harus dilayani menyampaikan keluhan atau pengaduan,
    2. Kinerja manusia, peralatan, dan manajemen terus memburuk.
    3. Banyak pejabat dan anggota melakukan pelanggaran termasuk yang bersifat KKN dan tindak pidana korporasi,maka semua jajaran akan bersikap “egp”.;
  2. Para pimpinan dan jajaran bawahan juga menderita demam “MBA” (Memble Aje): tidak ada kreativitas, inovasi dan inisiatif untuk mencipatakan perbaikan, penyempurnaan apalagi sesuatu yang baru yang akan berdampak positif bagi organisasi.
  3. Para pimpinan dan jajaran bawahan juga menderita demam “S3”. Jenis penyakit organisasi ini adalah bahwa untuk mendapat promosi jabatan, mendapat kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan, dan hal-hal baik lainnya, pegawai/anggota lebih yakin pada jalur “S3” yang merupakan singkatan dari: salam, senyum, setor, dan dukungan politik dari luar daripada pada aturan/sistem yang ada dan pejabat bidang SDM yang dianggap punya “power” dianggap hampir sebagai “Dewa”. Para rekanan pun memilih jalur “S3” agar dapat order dan dibayar cepat.
  4. Menderita Pusing. Semua jajaran hanya ber”pusing-pusing”, tidak tahu mau pergi ke arah mana.

Bila organisasi yang sakit dengan gejala-gejala seperti itu adalah sebuah korporasi (perusahaan), mereka akan segera mati karena  ditinggal oleh para pelanggan dan pemasok atau “dicaplok” oleh perusahaan yang lebih kuat lalu dibedah dan dikanibal.

Bagaimana menyembuhkan organisasi sakit seperti itu? Seperti manusia, pertama-tama ia harus sadar dan mengakui bahwa ia sakit. Bila itu telah ada, maka proses penyehatan bisa dilakukan segera. Ada dua pendekatan yang biasa digunakan untuk mengubah budaya organisasi. Pertama mengikuti petunjuk dalam buku-buku yang ditulis oleh para luar negeri. Mulai dengan membentuk tim yang disuruh “menggali” sejumlah NILAI budaya yang dianggap kunci untuk membangkitkan kembali perusahaan tersebut dengan “melibatkan” semua jajaran. Kemudian mensosialisasikan “nilai-nilai” tersebut melalui acara dan upacara-upacara khusus. Setelah beberapa tahun berlalu, yang tertinggal biasanya hanya sisa-sisa materi sosialisasi (poster, buku, dll) sedangkan demam-demam EGP dll masih tetap menghinggapi orang yang ada dalam organisasi tersebut. Mengapa? Karena seluruh upaya lebih bersifat pencitraan tanpa komitmen penuh dari seluruh jajaran pimpinan (Yang ada hanya “komat-kamit”).

Cara kedua dipakai oleh beberapa perusahaan Indonesia dan ternyata telah menghasilkan perubahan yang langgeng dan menjadikan mereka sebagai   perusahaan unggul. Di antara BUMN adalah PT Pegadaian, lalu PT Kereta Api Indonesia sejak era Ignatius Jonan dan juga PT Semen Indonesia, era Dwi Sucipto.

Mereka mengubah budaya perusahaan mereka nyaris tanpa banyak ritual, kampanye atau pelatihan yang pakai tangis-tangisan segala macam. Mereka malah tidak menyebutnya sebagai “program perubahan budaya”. Yang mereka lakukan adalah menerapkan kebijakan, aturan dan sistem kerja baru yang sejalan dan senapas dengan nilai-nilai budaya baru yang mereka ingin tanamkan disertai dengan tindakan tegas dan pemberian contoh-contoh. Cara seperti itu juga digunakan oleh pemimpin negara seperti Alm. Jend. Park Chung Hee (Korea Selatan) yang berhasil mengubah negaranya menjadi negara industri yang sekarang sudah menyaingi Jepang. Perubahan budaya hanya akan terjadi bila diberi contoh oleh pimpinan puncak. Bukan hanya “komat kamit”. Mungkin ada yang bertanya mengapa Group Astra tidak masuk dalam daftar contoh? Group Astra sudah sejak awal berdirinya telah membangun dan mengembangkan budaya organisasi mereka dengan ciri-ciri dan cara yang khas mereka. Jadi Astra tidak ikut menjadi contoh.
Jakarta 5 Februari 2017