Banyak tulisan dan pembahasan di blog dan media sosial tentang teknik pengembangan tim kerja dan tim kerja multi budaya yang bersumber pada teori dan konsep yang dipopulerkan oleh para ahli dan konsultan yang berasal dari berbagai negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Di bawah ini saya akan menyajikan dua contoh tentang kekompakan tim yang bersumber dari apa yang sebagian besar dari anda pasti tahu tetapi belum pernah menyadarinya bahwa mereka adalah kasus-kasus nyata yang bagus untuk dijadikan sebagai contoh.

1. GRUP ORKES DANGDUT SONETA & RHOMA IRAMA
Begitu baca judul di atas, pasti akan ada yg bereaksi; “Apa? Belajar apa dari Rhoma?, dan cemoohan lain”. Kita abaikan dulu sisi “lain” dari kehidupan Rhoma Irama atau impiannya untuk jadi Presiden. Ditambah lagi dengan kasus anaknya yang ternyata pecandu narkoba.

Lepas dari semua cemoohan terhadapnya harus diakui bahwa grup musik Dangdut SONETA yg didirikan dan dipimpinnya adalah satu-satunya kelompok musik Indonesia yang dari aspek usia, mampu menyaingi grup musik legendaris Barat seperti the BeeGees, Rolling Stone dan lain-lain (Silakan baca di Wikipedia tentang Rhoma Irama).

Saya tidak mengenal Rhoma atau anggota bandnya secara pribadi, tapi sepanjang ingatan saya, orang-orangnya tetap sama sejak tahun 1970an saat mereka masih muda sampai sekarang saat mereka sudah bisa disebut kakek-kakek. Yang berganti-ganti hanyalah para gadis yang penyanyi latar tentunya.

Ada rasa penasaran dan sejumlah pertanyaan yang sudah lama tersimpan di otak saya:
1. Mengapa kelompok Soneta bisa sangat kompak?
2. Mengapa para pemainnya  sudah 45 tahun begitu setia kepada:
– Rhoma Irama?
– Satu sama lain dan
– Profesi mereka?
3. Apa yg telah “merekatkan” mereka untuk tetap bersatu:
– Apakah kecintaan mereka pada musik dangdut?
– Apakah kecintaan pada Rhoma pribadi?
– Apakah karena kesejahteraan yang terjamin?
– Atau karena gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Rhoma?

Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menjadi topik menarik untuk dijadikan studi ilmiah, untuk mendapat gelar S2 atau S3 ilmu Psikologi atau Manajemen. Mungkin karena obyek studinya adalah grup Dangdut di “cap” sebagai kesukaan masyarakat kelas bawah jadi dianggap kurang bergengsi?

Saya masih berpikir-pikir, apakah saya perlu turun tangan sendiri untuk mencari jawaban untuk semua pertanyaan saya tersebut

2. PARA PEMAIN SEPAKBOLA KELAS DUNIA sebagai contoh Tim Kerja Multi Budaya.
Bila saya menyaksikan pertandingan sepakbola kelab papan atas Eropa ada yang menarik bagi saya di luar aspek teknis persepakbolaan yang sebenarnya jauh di luar kompetensi saya.

Hal yang menjadi pemikiran saya adalah MENGAPA tim-tim sepakbola profesional Eropa seperti MU, MC, AM, RM, Roma dll. yang lebih dari separuh anggota mereka terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda dalam bahasa, warna kulit dan budaya kok bisa bermain sangat kompak dan berjaya.

Karena penasaran, hal itu pernah saya diskusikan dengan DR. Neil Goodman seorang pelatih komunikasi lintas budaya, yang didatangkan oleh sebuah perusahaan minyak A.S pada tahun 1999 lalu dan saya menjadi co-trainernya. Sesuai dengan bidang keahliannya yaitu komunikasi, ia berpendapat bahwa karena saat bertanding semua anggota hampir tidak bisa berkomunikasi secara verbal kecuali dengan bahasa isyarat.  Maka menurut pendapatnya, kemungkinan terjadi kesalahpahaman dan perselisihan menjadi berkurang.

Setelah saya analisis lagi, saya melihat ada 3 alasan di bawah ini yang buat saya lebih masuk akal, mengapa kekompakan itu terjadi.

Pertama, para profesional SALING MENGHORMATI. Para pesepakbola profesional yang “ditarik” (dibeli) oleh kelab-kelab kelas dunia adalah kelompok pemain berkelas “dunia” dari negara atau benua manapun dia berasal. Mereka pasti sudah pernah “berhadapan” sebagai lawan dalam banyak pertandingan sehingga sudah saling “kenal” dan tahu kehebatan masing-masing. Dengan demikian maka pada saat mereka tergabung dalam satu kelab mereka selalu saling menghormati, apapun warna kulit mereka dan dari negeri manapun mereka berasal.

Kedua, mereka FOKUS PADA TUJUAN YANG SAMA. Sebagai sebuah tim, mereka punya tujuan dan sasaran yang sama yaitu menjadi juara. Bila mereka gagal terus-menerus maka reputasi mereka sebagai pemain profesional akan rusak dan karir mereka juga selesai.

Ketiga, mereka sudah mampu  “BERBICARA DALAM BAHASA YANG SAMA”. Sebagai pemain “pro” yang mumpuni mereka sudah sangat menghayati peran masing-masing dalam timnya. Mereka sudah mampu memperkirakan ke arah mana kawan dan lawan akan bergerak atau kepada siapa bola harus diarahkan. Tidak perlu komunikasi verbal lagi.

Itulah yang saya yakini.

Selamat Beraktivitas.