Beberapa tahun lalu saya menulis sebuah “catatan” (artikel pendek) tentang keteraturan dan kerapian (“well organized”) sebagai salah satu ciri manajer profesional. Seorang keponakan saya, seorang Rektor senior di sebuah PTN sempat membaca catatan saya tersebut memberi komentar sebagai berikut: “Saya selalu berusaha untuk “well organized” dalan melaksanakan tugas pekerjaan saya. Saya membuat sasaran dan rencana kerja untuk mencapainya tahunan dan bulanan dan berusaha mengikutinya. Anggota team saya juga membiasakan diri dengan cara kerja saya. Tetapi ternyata sangat menjengkelkan menjadi seorang yang sangat “well organized” tapi pimpinan organisasi yaitu atasan saya justru tidak pernah punya rencana dan jadwal atau mungkin punya tetapi tidak dikomunikasikan ke semua jajaran bawahannya.
Ia melanjutkan: “Segala kegiatan sering bersifat dadakan, seolah-olah tanpa rencana. Tiba-tiba Rapim, lalu dipanggil instansi pusat, disuruh bikin paparan. Akhirnya kami menyesuaikan diri….saya tidak lagi membuat jadwal harian…
Hanya ada target mingguan, bulanan (ini pun sekarang sering meleset). Bila kita punya atasan sepertu itu, apa yang harus saya lakukan?”
Dalam bahasa “slang” (gaul) Inggris-Amerika, orang atau atasan yang memiliki ciri-ciri yang disebut oleh keponakan saya tersebut disebut “Jerk”. Arti kata “Jerk” dalam kamus umum adalah “hentakan” atau “guncangan” tapi dalam bahasa gaul, istilah “jerk” punya arti; “brengsek”, “egois”, “tidak peduli pada perasaan orang”, dan yang paling parah, “tidak peduli apa kata orang tentang dirinya”. Orang “jerk” bukanlah seorang yang kurang pendidikan, malahan bisa sebaliknya, yaitu orang yang sekolahnya sangat tinggi. Tetapi sikap dan perilaku seperti itu adalah sebuah kebiasaan yang sudah menempel dengan sangat kuat karena tidak pernah ada orang yang cukup disegani memintanya untuk merubahnya.
Saya sendiri juga pernah dua kali mengalami bekerja dibawah atasan seperti yang disebutkan oleh keponakan saya tersebut dan benar, sangat merasa frustrasi dan jengkel. Pertama saat bekerja pada sebuah perusahaan Migas AS di Kaltim pertengan tahun 80an. Dalam kasus pertama yang di perusahaan migas AS di Kaltim itu, GM yang “jerk” itu dipetisi oleh hampir semua manajer asing dan akhirnya diperingatkan oleh CEO dan secara terbuka mengakui dan berusaha mengubahnya.
Dalam kasus kedua, terjadi dalam sebuah perusahaan besar berstatus Tbk, dimana saya bekerja sebagai Direktur SDM. Setelah 4 tahun saya bekerja di perusahaan tersebut, terjadi reorganisasi pada jajaran Direksi. Perusahaan mengangkat seorang Direktur Keuangan baru dan Direktur Keuangan yang lama diangkat menjadi Chief Operating Officer (COO) yang mengkoordinir semua Direktur. Presiden Direktur hanya fokus ke bidang marketing dan hubungan “luar” (politik).
Sang COO itu punya gaya memimpin yang “unik”. Perputaran roda organisasi sepenuhnya dikendalikan olehnya. Rapat Direksi yang biasanya dilaksanakan dengan mengikuti jadwal yang dibuat untuk selama setahun tiba-tiba tidak diberlakukan. Ia sendiri yang menentukan kapan rapat diadakan. Bisa mulai jam 8 malam, bisa pada hari Sabtu yang sebenarnya adalah libur akhir minggu. Beberapa kali ia meminta orang berkumpul jam 9.00 pagi tetapi ia sendiri baru muncul jam 12.00 siang dengan alasan harus bertemu pejabat dulu di tempat lain. Sejak itu, semua orang sulit sekali membuat jadwal dan rencana kerja sendiri.
Seorang keponakan lain yang saat ini bekerja pada sebuah perusahaan multi nasional saat itu dan ditempatkan di Amsterdam, Belanda memberikan pendapat dan pengalamannya menghadapi pimpinan yang “jerk”. Ia menulis kepada saya sebagai berikut:
“Sebagai seorang Sr. Director Expatriate dengan wilayah tanggung jawab mencakup Asia, Timur Tengah dan di Eropa saya punya atasan (VP/CEO), teman kerja dan bawahan dari berbagai macam bangsa dan budaya. Beberapa kali saya punya atasan yang harusnya professional tetapi masih juga punya sifat-sifat “Jerk”, termasuk tidak “well organized” itu.
Menghadapi pimpinan model begitu saya tidak mau ikut ikutan menjadi “jerk” dan mengikuti gaya kerja “boss” itu. Tetapi saya memilih memberikan “perlawanan” dan sedikit “pembelajaran” kepadanya, tentunya tetap dengan cara santun dan beretika. Karena semua bangsa & budaya pada prinsipnya menghargai sopan santun dan etika, terutama di lingkungan kerja dimana “respect and fairness” telah ditetapkan sebagai “general rule”.
Misalnya apabila dia mengundang meeting untuk hal-hal yang tidak urgent/darurat pada waktu-waktu yang tidak wajar, saya akan menolak hadir dengan memberitahu dia sebelumnya termasuk dengan alasan sebenarnya (bukan dibuat-buat). Atau apabila dia memberikan tugas yang tidak terencana sebelumnya, bukan sesuatu yang bersifat sangat kritis dan dengan tenggat waktu yang tidak realistis, saya akan diskusikan dengannya bahwa saya mengikuti aturan tentang “how to allocate resources and set priorities better”. Kalau dia ngotot (because of just being jerk), saya akan bilang bisa tetap saya kerjakan tugas tersebut tetapi beberapa hal penting lain apa boleh buat harus diprioritas ulang dan dia harus menyetujui itu”.
“Intinya kalau ada orang (atasan, rekan kerja, bawahan) yang berlaku jerk dan tidak profesional, saya tidak mau ikut-ikutan jadi jerk menghadapinya. Stay professional and be professional”. Alhamdulillah selama 25 tahun lebih saya bekerja sejak saya lulus UI (17 th di perusahaan ini yang 15 tahun terakhir ditempatkan di luar negeri) dengan prinsip ini tidak pernah ada masalah dengan performance rating dan bonus dan tidak perlu cari pekerjaan baru diluar.”
Pandangan keponakan saya tersebut menunjukan kematangan dirinya. Saat saya mengalami persoalan yang sama yaitu punya seorang pimpinan “jerk” yang saya ceriterakan diatas, response saya sangat berbeda. Selama 1 tahun saya bekerja dibawah pimpinan “jerk” itu saya merasakan bahwa dia memang melakukannya dengan sengaja. Ada tujuan yang tersembunyi. Oleh karena itu, ketika saya menerima tawaran dari sebuah perusahaan multi nasional untuk jadi direktur SDM di perusahaan itu langsung saja saya ambil.
Tentu ada pertanyaan: “apakah gaya “jerk” itu sama sekali tidak boleh dipakai”? Jawabannya adalah bahwa dalam situasi atau kondisi tertentu sang pemimpin justru diharapkan bertindak sebagai “jerk” dan mungkin otoriter. Bila pimpinan harus membuat keputusan yang sebenarnya tidak populer pun tidak akan ada orang yang protes. Misalnya dalam menghadapi bencana alam seperti gempa didaerahnya, seorang Kepala Daerah yang bertindak otoriter untuk menyelamatkan rakyat yang terancam oleh banjir malah akan didukung. Demikian pula bila mereka mengambil tindakan drastis lain agar banjir tidak terulang lagi. Demikian pula dalam perusahaan yang menghadapi krisis (kerugian yang terus menerus), tidak akan ada yang protes bila pimpinan puncak bertindak otoriter untuk menyelamatkan perusahaan. Tetapi begitu kondisi sudah stabil dan organisasi sedang berkembang baik, orang-orang “jerk” akan dimusuhi karena justru akan menyulitkan orang lain dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Semoga bermanfaat.
Jakarta, Januari 2017