Dari tahun 2011 sampai tahun 2016 saat saya menjadi Komisaris Independen lalu Komisaris Utama di sebuah BUMN yang beroperasi di sektor industri dasar, saya dan semua rekan Komisaris hampir setiap 2 (dua) minggu sekali “turun ke lapangan”. Baik itu untuk melihat kemajuan pembangunan pabrik baru dan renovasi pabrik lama atau melihat serta mendengar sendiri permasalahan yang dihadapi. Pada tahun 2013, saat kembali melakukan peninjauan di “lapangan” saya jadi ingat pada kata “blusukan” yang saya yakin berasal dari bahasa Jawa. Kata blusukan menjadi sangat populer dalam masa 5 (lima) tahun terakhir gara-gara kebiasaan Presiden Joko Widodo yang sejak masih sebagai Gubernur DKI punya kebiasaan mendatangi daerah-daerah pinggiran di DKI termasuk yang tergolong kumuh.
Di tempat-tempat yang ia datangi itu ia menyapa dan berbincang dengan warga dan melihat sendiri kondisi dan situasi kehidupan warga. Ia juga turun sendiri memeriksa gorong-gorong dan beberapa pekerjaan lain dan bila perlu berbasah-basah dan berkotor-kotor. Mungkin itulah arti kata blusukan yang sebenarnya. Sejak ia menjadi Presiden RI, kebiasaan itu tetap ia lakukan sampai sekarang. Basuki Tjahaya Purnama yang menggantikannya sebagai Gubernur DKI juga mengikuti kebiasaan Presiden Jokowi.
Apapun arti yang sebenarnya, kegiatan “blusukan” seperti itu sebenarnya adalah sebuah “gaya” manajemen dan kepemimpinan yang sudah lama dikenal dan dianjurkan dalam lingkungan korporasi. Pada tahun 1982, dalam buku mereka “In Search of Excellence” yang kemudian meledak jadi “best seller”
(terjual 6 juta copy), Tom Peters dan Bob Waterman, dua orang konsultan senior dari biro konsultan McKensey menyimpulkan bahwa eksekutif perusahaan yang sukses menghabiskan banyak waktu untuk berada di “lapangan”. Apakah itu di pabrik, pasar, bandara, stasiun, atau pelabuhan. Tujuan mereka adalah untuk melihat sendiri apa yang terjadi dan mendengar secara langsung keluhan atau saran dari pekerja tentang masalah operasional yang dihadapi. Atau mendengar keluhan dan komentar dari pelanggan dan sesekali memberi contoh kepada pekerja penjualan tentang cara memberi pelayanan yang sempurna. Gaya manajemen seperti itu mereka namai “MBWA” yaitu singkatan dari “Management by Wondering Around” = Mengelola dengan cara “Blusukan”.
Bukankah ajaran Ki Hajar Dewantara yang berbunyi “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani” juga menganjurkan kepada para pemimpin untuk seringkali berada di “lapangan”? Keduanya agak mirip tetapi artinya tidak persis sama. Ajaran Ki Hajar lebih fokus pada cara memimpin “pasukan” (jajaran internal), sedangkan M.B.W.A juga memberikan perhatian kepada pihak luar misalnya “pelanggan”. Dalam kaitan dengan institusi pemerintahan, mereka adalah warga masyarakat yang harus dilayani.
Tetapi sebagai Komisaris kami berada dalam posisi yang tidak boleh terlalu sering “blusukan” agar tidak menyaingi anggota Dewan Direksi. Demikian pula dengan tujuan “blusukan”. Tujuan kami hanyalah untuk melihat dengan mata sendiri dan mendengar langsung permasalahan yang dihadapi dan kemajuan yang dicapai tetapi tidak boleh memberi petunjuk atau keputusan langsung. Itu hanya boleh dilakukan melalui Dewan Direksi.
Seorang manajer muda sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang bagus kepada saya: “Apakah BLUSUKAN bisa disamakan dengan “Gemba” yaitu sebuah gaya manajemen perusahaan Jepang yang sangat populer di Indonesia?” Arti “Gemba” atau aslinya dalam bahasa Jepang “GeNba” secara harfiah adalah “tempat kejadian”. Seorang reporter TV yang melaporkan langsung sebuah peristiwa dari tempat terjadinya akan berkata bahwa ia melaporkan peristiwa yang terjadi dari “genba”, yaitu tempat kejadian perkara (TKP). Dalam industri, yang dimaksud dengan Genba adalah tempat atau lokasi terjadinya proses produksi, inspeksi, penyimpanan, penjualan dan pelayanan kepada pelanggan.
Intisari dari Blusukan, Gemba, Management by Wondering (Walking) Around adalah sama yaitu pimpinan “turun”(datang) ke “lapangan”, untuk melihat sendiri apa yang sedang terjadi. Perbedaannya ada dalam tindak lanjutnya. Dalam MBWA dan Gemba, para pimpinan bekerja sama dengan para operator, atau tenaga penjualan untuk memecahkan masalah-masalah teknis operasional yang berdampak pada produktivitas, kualitas dan penjualan.
Dari pengalaman dan pengamatan saya sendiri, untuk industri, khususnya industri manufaktur, “Gemba” mempunyai kelebihan dibanding dua gaya yang lain (Blusukan dan MBWA). “Gemba” dan “Kaizen” yang berarti penyempurnaan kecil-kecil tapi bersifat kontinyu sudah dilembagakan sebagai prosedur kerja formal. Gemba, Kaizen, dan lain-lain akan menjadi “budaya” kerja di sebuah perusahaan asalkan diterapkan secara serius dan konsisten bukan untuk tujuan pencitraan.
Dalam “blusukan”, pimpinan yang “turun” belum tentu siap membuat keputusan terkait tindakan yang harus dilakukan. Tujuan dari “blusukan”nya pun mungkin hanya sekedar untuk mengumpulkan data dan informasi dengan cara melihat dan mendengar langsung. Selain itu, kegiatan blusukan oleh para politikus
lebih sering dilakukan hanya untuk tujuan “pencitraan”.
Selamat bekerja.