Dalam lingkungan korporasi dikenal sebuah paduan atau kombinasi gaya kepemimpinan yang dikenal dengan istilah “Good Guy AND Bad Guy”. Harap diperhatikan cara menulisnya. Bukan Good Guy VS. (= lawan) Bad Guy tetapi Good Guy AND Bad Guy. Mengapa? Karena si Bad Guy sebenarnya “sekongkol” dan “kompak” dengan si Good Guy. Dalam organisasi tersebut, salah seorang pejabat tinggi yang mempunyai posisi penting, bisa orang kedua (Wakil) dalam hierarki, bisa juga pimpinan salah satu direktorat/divisi utama.

“The Bad Guy” akan berperan sebagai orang yang sikapnya sangat kaku dan keras. Ia akan menunjukkan sikap tidak toleran terhadap hal-hal yang tidak atau kurang baik, misalnya kelambatan, kelalaian atau pemborosan, (apalagi kecurangan). Gaya dan cara bicaranya juga biasanya tanpa basa basi dan cenderung kasar. Pejabat tersebut memang sudah menyiapkan diri untuk berperan seperti itu, punya citra sebagai “Bad Guy” dan punya banyak “musuh”. Itulah peran yang ia mainkan dalam mendorong atau melakukan perbaikan dan penyempurnaan melalui penataan ulang sistem atau penerapan yang sudah ada secara cepat dan siap menghadapi penolakan terbuka atau diam-diam.

Sebaliknya, orang nomor satu atau pimpinan tertinggi di organisasi tersebut akan memainkan peran yang “agak” sebaliknya. Ia membangun citra sebagai “bapak” yang ramah, halus cara bicaranya dan mau mendengarkan serta menampung semua keluhan walaupun tidak membuat keputusan apapun, apalagi mencela “The Bad Guy”. Tugas atau peran beliau memang menenangkan kembali suasana organisasi yang telah terguncang akibat tindakan orang keduanya tersebut dengan menggunakan wibawa dan sikapnya. Dalam organisasi bisnis, “permainan” tersebut sering pula dimainkan oleh Tim yang dibentuk untuk melakukan negosiasi. Apakah dengan pihak luar (pemasok barang atau jasa) atau dengan Serikat Pekerja. Satu atau dua orang anggota tim akan memainkan peran sebagai “bad guy” yang bersikap “keras”, provokatif dan “ngeyel” sedangkan Ketua Tim Negosiasi dan anggota Tim lainnya akan berperan sebagai “good guy”.

Kedua peran yang kontradiktif tersebut sebenarnya sudah mereka sepakati dan rancang sebelum atau begitu dua orang itu berhasil menduduki jabatan-jabatan mereka. Apa yang akan dilakukan oleh si “Bad Guy” akan dibicarakan dulu dan disetujui oleh si “Good Guy” dalam sebuah pembicaraan pribadi, tanpa disaksikan orang lain termasuk sekretaris atau ajudan mereka. Semua bawahan mereka malah mungkin menyangka bahwa si “Bad Guy” sedang ditegur atau dimarahi oleh si “Good Guy”. Dalam memainkan perannya, si “Bad Guy” tidak akan bertindak “untuk” atau “atas nama” si “Good Guy”. Dia siap untuk menanggung semua risiko akan dimusuhi, dikritik dan dicaci maki (di belakangnya).

Gaya atau bisa juga disebut “permainan” seperti itu juga diadopsi dan diterapkan oleh pimpinan dalam pemerintahan. Kalau di Kementerian, akan efektif bila yang memainkan peran sebagai “Bad Guy” adalah Wakil Menteri, bila jabatan itu ada. Tentu saja “gaya” dan permainan peran itu hanya bisa dilaksanakan secara efektif bila orang nomor 1 yang berperan sebagai “the Good Guy” dan orang nomor 2 yang yang memainkan peran sebagai “the Bad Guy” memiliki visi, tujuan dan cita-cita yang sama yaitu melakukan perubahan dan perbaikan. Bila persamaan dan kekompakan itu tidak ada, “permainan” itu tidak bisa dilakukan. Orang nomor 1 cenderung akan memainkan peran yang dominan dan pejabat yang ingin melakukan perubahan akan frustrasi. Kita telah melihat banyak contoh dan kasus pada tingkat nasional ataupun pada tingkatan daerah di Indonesia.

Sebuah contoh yang paling menarik pernah terjadi saat Presiden Joko Widodo masih Gubernur DKI dan Basuki Tjahaya Purnama sebagai Wakil Gubernur. Banyak orang, termasuk saya mengira bahwa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memainkan peran sebagai “the Bad Guy” dan sebaliknya Gubernur Joko Widodo memainkan peran sebagai “the Good Guy”. Tetapi setelah Basuki (Ahok) menggantikan Jokowi sebagai Gubernur, Basuki sudah terlalu menikmati berperan sebagai “The Bad Guy” dan tetap memainkan peran itu dan ia harus menerima resikonya.

Dalam masa pemerintahan Presiden SBY tahun 2004 – 2009, Wakil Presiden Jusuf Kalla memainkan peran sebagai “the Bad Guy” dan SBY sebagai “the Good Guy” walaupun kelihatannya sering tidak terlalu kompak. Sayangnya dalam era pemerintahan SBY berikutnya, Wapres Budiono kelihatannya juga ingin tercatat sebagai “the Good Guy” juga. Di jajaran Kabinet, kita melihat Dahlan Iskan saat menjabat sebagai Meneg BUMN yang sebenarnya orang nomor 1 di Kementeriannya justru memainkan sendiri peran sebagai “the Bad Guy”. Sebaliknya, hampir semua Wakil Menteri dengan kekecualian Denny Indrayana di Kemenkumham, lebih berusaha menjadi “Good Guys No. 2”. Mungkin karena mereka tidak ingin menyaingi orang No. 1 di Kementeriannya. Dalam era Presiden Jokowi sekarang ini, kita sempat melihat Sudirman Said mencoba memainkan peran sebagai “The Bad Guy” tetapi rupanya sepak terjangnya kurang mendapat dukungan sehingga ia tergeser. Saat ini saya belum melihat ada Menteri yang diberi misi khusus untuk berperan sebagai “The Bad Guy” lagi.

Jakarta, Januari 2017