Pengantar
Pada awal tahun 1976, sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan multi nasional yang berlokasi di kota Bogor, penulis mempunyai beberapa pengalaman yang unik. Penulis yang belum lama kembali dari sebuah negara “barat” setelah meraih gelar MBA, ingin sekali menerapkan gaya-gaya manajemen “efektif” yang pernah dipelajarinya, misalnya gaya demokratis, partisipatif dan sebagainya. Hasilnya membuat penulis menjadi frustrasi. Ternyata semua “bawahan” penulis selalu mengharapkan penulis untuk membuat hampir semua keputusan dan selalu memberi tahu mereka apa yang harus mereka kerjakan. Setelah hampir 3 tahun berusaha melakukan perubahan pada sikap dan cara kerja mereka, hasil yang penulis ingin peroleh, yaitu mempunyai sebuah tim kerja yang efektif, tetap tidak maksimal. Demikian pula gaya berbicara penulis yang disebut agak “cespleng” dan agresif ternyata menjadikan penulis agak dijauhi oleh sebagian dari mereka dan beberapa orang rekan.

Pada tahun 1978 – 1979, saat penulis bekerja pada sebuah perusahaan asing asal Inggris, atas rekomendasi seorang teman yang penulis telah lupa namanya, seorang Profesor dari fakultas bisnis University of Hongkong meminta waktu penulis untuk bertemu dan meminta pendapat penulis tentang hasil penelitiannya di Indonesia, khususnya di Jawa. Profesor tersebut memaparkan hasil penelitiannya tentang perbedaan dalam gaya memimpin yang diterapkan oleh manajer Indonesia (Jawa) dan manajer asing (Amerika Serikat). Ia menceriterakan tentang seorang manajer Indonesia yang memimpin bagian produksi pada sebuah perusahaan minuman ringan asal Amerika Serikat di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Bila menggunakan standar orang Amerika Serikat dan bangsa-bangsa “Barat” lainnya, atasannya dan rekan-rekannya yang bangsa Amerika Serikat menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang sangat otoriter. Tetapi, ia ternyata juga seorang manajer yang sangat efektif dan dinilai selalu berprestasi tinggi. Bagian yang dipimpinnya selalu menunjukkan kinerja yang unggul, baik dari ukuran produktivitas, capaian kualitas, efisiensi biaya ataupun dalam ketenangan hubungan dengan pekerja.

Karena prestasinya tersebut, maka ia dipromosikan menjadi Direktur Produksi yang kebetualan kosong karena direktur yang lama dialihkan ke pabrik yang berada di negara lain. Karena promosi tersebut, maka ia pindah ke kantor pusat di Jakarta. Sebagai gantinya, perusahaannya menempatkan seorang profesional muda asal Amerika Serikat yang pernah menempuh pendidikan Master of Business Administration. Manager muda ini kemudian menerapkan konsep dan teori kepemimpinan yang ia pelajari dalam program MBA dan pelatihan-pelatihan di negaranya, misalnya tentang gaya manajemen partisipatif, Teori Y dari McGregor dan lain-lain yang ia kuasai. Tetapi, ia pun mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh penulis yang diuraikan pada awal bagian ini. Setelah pertemuan dengan profesor tersebut, penulis memang berpikir cukup keras tentang mengapa hal itu bisa terjadi dan apa penyebabnya? Pada saat itu penulis sama sekali tidak berpikir terlalu jauh bahwa masalah yang penulis hadapi ternyata berkaitan dengan sistem nilai budaya nasional dan lokal (daerah). Apa saja kaitannya? Akan diuraikan dalam bagian-bagian selanjutnya.

Pengaruh Nilai-nilai Budaya
Saat memasuki era tahun 1990an, penulis mulai terekspos pada studi tentang budaya organisasi dan pengaruh budaya nasional pada budaya organisasi. Penulis menghadiri berbagai seminar, konferensi dan membaca beberapa buku dan makalah tentang topik itu. Sejumlah pakar budaya “kelas dunia” yang justru datang dari negara “Barat” ternyata telah memberikan “peringatan” untuk berhati-hati dalam menerapkan konsep dan teori manajemen yang berasal dari “Barat” di negara/bangsa lain. Para pakar itu antara lain adalah Prof. Geert Hofstede (Belanda, 1983), DR. Fons Trompenaars, dan Prof. Nancy J. Adler, seorang profesor dalam ilmu perilaku organisasi dari McGill University, USA.

DR. Trompenaars, yang orang Belanda, menulis di dalam bukunya RIDING THE WAVES OF CULTURE – Understanding the Diversity in Global Business (1994) sebagai berikut: “the management gurus such as Frederick Taylor, Henry Fayol, Peter Druckers, Tom Peters and others who come from western countries – made the wrong assumption that there was one best way of organizing and managing”. Dalam bukunya tersebut, Trompenaars menyatakan dengan tegas bahwa apa yang diasumsikan oleh orang-orang yang dianggap sebagai pakar yang berasal dari sejumlah negara barat, terutama Amerika Serikat, sama sekali tidak berlaku secara universal. Ini kata Trompenaars; “Asumsi yang dibuat oleh Taylor, Druckers, Peters (dan McGregor, Herzberg dan lain-lain) adalah benar bagi orang Amerika Serikat, sedangkan asumsi Henry Fayol adalah tepat untuk orang Perancis (karena Fayol adalah bangsa Perancis). Tetapi asumsi mereka semua tidak benar dan tepat untuk bangsa lain”.

Sebenarnya, Prof. Nancy J. Adler, dalam bukunya berjudul: “International Dimension Of Organizational Behavior”(1991; 151) telah lebih dulu menunjukkan tentang adanya sejumlah konsep, prinsip dan teknik dalam manajemen yang diusulkan atau ditawarkan oleh para pakar “barat” dengan asumsi bahwa konsep, prinsip dan teknik tersebut akan dapat diterapkan di mana saja. Dua dari konsep atau teknik yang sangat relevan dengan masalah kepemimpinan yang disebut oleh Adler adalah yang berkaitan dengan “Gaya Kepemimpinan” (Leadership Styles) dan “Motivasi” yang keduanya akan dijelaskan di bawah ini.

  1. Gaya Kepemimpinan.
    Adler mengatakan bahwa banyak peneliti dan penulis (termasuk para sarjana dan penulis Indonesia) yang berpikir dan menganggap bahwa teori-teori dan konsep manajemen Amerika (USA) bisa diterapkan di mana saja di dunia ini. Padahal sebagian besar manajer yang adalah praktisi, lebih yakin karena telah mengalaminya sendiri, bahwa mereka harus menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka dengan latar belakang budaya orang yang mereka pimpin. Dengan kata lain, para manajer ini setuju dengan konsep “contingency” dalam kepemimpinan yaitu “contingent” terhadap budaya setempat. Dengan berpegang pada hasil penelitian Geert Hofstede (1983) yang dilakukan di 60 negara di dunia, termasuk Indonesia, Adler menyatakan bahwa teori-teori seperti Teori X dan Y dari McGregor, Likert’s System Four dan Managerial Grid dari Blake and Mouton – yang dikembangkan di USA tidak tepat untuk diterapkan “di mana saja”.
    Karyawan di negara yang masyarakatnya menerima kenyataan bahwa “kekuasaan tidak pernah dibagi merata ” (High Power Distance) mengharapkan bahwa atasan akan memberi perintah atau petunjuk tentang apa yang harus dikerjakan dan membuat keputusan yang perlu. Hanya di negara yang masyarakatnya “sangat demokratis” karyawan akan menuntut agar para atasan menerapkan gaya partisipatif dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Tetapi, sampai hampir 2 dekade di abad ke 21 ini, penulis masih beberapa kali menemukan para penulis dan praktisi yang melakukan penelitian untuk bahan penulisan disertasi guna memperoleh gelar doktor masih tetap dengan yakinnya menggunakan hasil penelitian orang di negara-negara lain sebagai rujukan mereka.
  2. Motivasi
    Banyak sekali teori motivasi yang mencoba menjawab pertanyaan tentang variabel apa yang berpengaruh pada tingkat produktivitas pekerja dan kepuasan kerja mereka; apa yang mendorong pekerja untuk berperilaku tertentu, apa yang mengarahkan dan menyalurkan energi mereka untuk mencapai tujuan perusahaan, dan banyak lagi pertanyaan yang berkaitan dengan motivasi. Sebagian terbesar dari teori motivasi yang sekarang popular adalah yang dikembangkan oleh pakar Amerika Serikat dan dites terhadap orang Amerika Serikat. Adler dan juga Hofstede menyatakan bahwa teori-teori tersebut tidak pasti berlaku di luar Amerika Serikat dan kita harus berhati-hati menggunakannya. Misalnya, pada sejumlah negara seperti Yunani dan Jepang ternyata “Security Needs” lebih berpengaruh terhadap motivasi daripada “Self Actualization” seperti diajarkan oleh pakar Amerika Serikat yang menganut teori Abraham Maslow. Sedangkan untuk mayoritas warga Indonesia, Malaysia, dan Pakistan, “Social Needs” cenderung mendominasi faktor pendorong motivasi.

Hasil Penelitian Prof. Andre Laurent (Insead, 1983)
Sebuah studi tentang gaya kepemimpinan yang disukai oleh berbagai bangsa dilakukan oleh Prof. Andre Laurent dari INSEAD (Perancis) pada tahun 1983 dan sangat menarik untuk diketahui. Ia melakukan penelitian terhadap sejumlah manajer dan eksekutif yang pernah mengikuti pendidikan di INSEAD, baik pada program MBA ataupun pada Program Pengembangan Eksekutif jangka pendek mereka. Kebetulan, penulis juga menjadi salah satu dari ratusan responden untuk penelitian beliau. Salah satu dari pertanyaan atau pernyataan yang diajukan oleh Laurent yang berbunyi: “It is important for a manager to have at hand precise answers to most of the questions that his subordinates may raise about their work”  (Adalah penting bagi seorang manajer untuk selalu siap dengan jawaban yang benar untuk sebagian besar pertanyaan yang mungkin diajukan oleh anak buah tentang pekerjaan mereka pada setiap saat).

Dari grafik pada halaman-halaman berikut terlihat sekali perbedaan yang sangat ekstrim dalam tingkat persetujuan dari manajer yang berasal dari Eropa Utara dan USA yang cenderung tidak setuju dengan pernyataan tersebut dibandingkan dengan jawaban orang Perancis, Italia, Indonesia dan Jepang yang cenderung sangat setuju. Bangsa-bangsa Jepang, Indonesia, Italia dan Perancis mengharapkan bahwa atasan mereka haruslah seorang “super manajer” yang bisa menjawab pertanyaan apa saja dan memecahkan persoalan apa saja yang diajukan anak buah mereka setiap saat. Sedangkan orang Amerika, Inggris, dan Eropa Utara tidak menuntut hal yang demikian. Dalam kasus yang pertama, seorang manajer yang mengatakan kepada anak buahnya; “anda harus berusaha memecahkan masalah anda sendiri dan jangan minta bantuan kepada saya” cenderung akan mengalami kemerosotan dalam kewibawaannya. Untuk memahami grafik pertama harus dipahami dulu arti dari pernyataan-pernyataan yang diberi nomor-nomor 1, 2, dan 3 yang tidak penulis terjemahkan dalam tulisan ini.

Gambar 1 : Hasil Survey Prof. Andre Laurent – INSEAD (1983)

Gambar 2. “Gaya Kepemipinan” yang dipilih oleh  para manajer dari sejumlah negara termasuk Indonesia (Penelitian Andre Laurent – INSEAD 1983)

Hasil penelitian Prof. Andre Laurent tersebut mengukuhkan anggapan banyak pakar manajemen dan kepemimpinan “barat” bahwa manajer Indonesia cenderung menjadi “penganut teori X”-nya McGregor. Demikian pula manajer “barat” yang lama bekerja di Indonesia cenderung “tertulari” gaya tersebut karena tekanan situasi dan kondisi. Bila seorang manajer harus memimpin sejumlah anak buah dengan mentalitas selalu minta petunjuk dan mengharapkan atasan memecahkan semua persoalannya padahal manajer tersebut harus sukses dalam waktu singkat, maka dia hanya mempunyai satu pilihan, yaitu menyesuaikan gaya dan perilakunya dengan harapan dan tuntutan anak buah. Dalam kasus di atas tentunya dia akan dianggap sebagai seorang “penganut Teori X” dan mungkin sebagai “benevolent autokrat” oleh para pengamat. Para manajer Jepang yang mempunyai skor tertinggi setelah manajer Indonesia ternyata mengombinasikan gaya mereka dengan gaya partisipatif yang tidak otoriter!

Pesan Penutup
Dengan memuat tulisan ini, penulis sama sekali tidak bermaksud menyarankan agar para pengajar ilmu manajemen, manajemen sumberdaya manusia dan para praktisi yang senang belajar, untuk menolak atau mengabaikan materi rujukan dan hasil penelitian asal negara lain. Tetapi yang penulis sarankan adalah agar selalui berpikir kritis apakah hasil penelitian-penelitian tersebut akan sama bila diterapkan pada bangsa kita dan di negara kita. Mungkin lebih tepat bila mengadopsi saja metode penelitian, analisis dan model yang mereka telah gunakan dan mencobanya pada bangsa kita dan kemudian teliti hasilnya. Bila hasilnya sama berarti sudah terjadi perubahan dalam sistem nilai budaya secara radikal.

Jakarta, April 2018