Oleh: H. Achmad S. Ruky, SE (Unpad), MBA (Melbourne), DBA (TUP)*
Sebutan atau predikat “profesional” sudah sangat popular di Indonesia. Sebutan itu aslinya diberikan bagi orang yang menjalankan sebuah profesi sebagai sumber nafkah, misalnya petinju, penyanyi dan juga penjahat. Tetapi, penggunaan yang lebih umum adalah untuk merujuk sekelompok orang yang menjalankan profesi tertentu yang hanya bisa dilakukan setelah melalui pendidikan yang tinggi, khusus, dan memakan waktu cukup lama misalnya dokter, notaris, dan pengacara. Akhirnya, pekerja yang menduduki posisi kunci dalam perusahaan dan institusi pemerintahan juga dikelompokkan sebagai tenaga profesional. Contohnya para eksekutif, manager dan tenaga spesialis (fungsional). Tetapi, tenaga teknisi dan operator ahli tidak masuk dalam kelompok itu.
Batasan atau defininis lama untuk profesional semua kelompok tersebut memang LEBIH DIKAITKAN PADA KEAHLIAN mereka yang dianggap sangat “mumpuni”. Karenanya banyak orang yang merasa dirinya termasuk kelompok professional, menyebut diri sebagai “kaum professional”. Tetapi, para pakar manajemen di dan para eksekutif top dunia telah sepakat bahwa ada beberapa syarat lain bagi seseorang untuk bisa disebut sebagai seorang profesional. Salah satu dari para pakar itu adalah Profesor David H. Maister dari Universitas Harvard, Amerika Serikat ang telah menulis beberapa buah buku tentang profesionalisme adalah. Dalam salah satu bukunya yang penulis miliki, berjudul “TRUE Professionalism” ia menegaskan bahwa sebutan professional bukanlah merujuk kepada jenis profesi atau pekerjaan yang kita lakukan tetapi lebih merujuk kepada cara bagaimana kita melakukan atau melaksanakan pekerjaan/profesi kita. Predikat professional harus diberikan oleh mereka yang kita layani atau berikan jasa kita dan kita dibayar oleh mereka yang mungkin pelanggan, nasabah, pasien atau warga biasa yang harus kita layani.
Selanjutnya, dalam bukunya itu, Prof. Maister menjelaskan tentang 5 (lima) buah elemen profesionalisme yaitu:
- Selalu berpegang pada prinsip 3 “C” yaitu; Care (Perhatian serius), Concerned (Memikirkan terus) dan Committed (“Komit”).
- Tingkat Passion (kecintaan pada profesi) disertai disiplin diri yang sangat tinggi.
- Strive for Excellence (Selalu berusaha mencapai keunggulan, baik dalam kompetensi maupun dalam kinerja)
- Memegang Teguh Integritas dan Kode Etik.
- Kompetensi Teknis (Hard dan Soft Competencies terkait) yang mumpuni!
Dari 5 (lima) buah elemen profesionalisme yang diberikan oleh Prof. Maister tersebut, bila dikaitkan dengan konsep kompetensi terlihat jelas bahwa ada 4 (empat) buah lebih mewakili elemen kompetensi yang disebut ATTITUDE yaitu elemen nomor 1, nomor 2, nomor 3 dan nomor 4. Sedangkan yang mewakili elemen SKILLS hanya 1 (satu) buah yaitu elemen nomor 5 (lima) yaitu yang terbawah dalam daftar diatas. Foto buku Prof. David Maister dan foto buku saya yang berjudul KOMPETEN dan PROFESIONAL ada dihalaman terakhir.
Etos Kerja Profesional
Pada bulan Maret 2013, saat itu sebagai Komisaris Independent PT Krakatau Steel (Pers.) Tbk. saya diundang oleh Direktur Produksi untuk memberi ceramah singkat tentang ETOS KERJA dalam acara Innovation & Quality Day di pabrik utama di Cilegon. Sampai sehari sebelum acara saya masih belum 100% yakin apa yang saya akan bicarakan karena saya belum pernah mendalami bidang ini. Penjelasan Jansen Sinamo, seorang yang digelari “guru” ethos kerja hanya berbunyi bahwa “Kerja adalah Rahmat, Amanah, Panggilan, Aktualisasi, Ibadah, Seni, Kehormatan, dan Pelayanan”.
Dari “penggalian” yang saya lakukan diketahui bahwa kata “etos” (Ingeris – ethos) berasal dari kata bahas Yunani ethikos. Wikipedia menjelaskan bahwa ethos adalah “alasan atau motif mendasar bagi sebuah sikap dan perilaku seseorg, kelompok, suku atau bangsa”. Jadi, Rudy Hartono, pemain bulu tangkis Indonesia menjadi Juara All England sampai 8 X pasti punya etos tertentu yang sangat kuat. Demikian pula dengan bangsa yang bersemangat sangat tinggi utk membangun perekonomiannya dan ingin mengalahkan bangsa lain. Etika ethic adalah sebuah kata lain yang bersumber pada “ethikos”. Etika lebih terkait dgn moral dan didefinisikan sebagai “prinsip-prinsip yang dipegang teguh” (rules of conducts) dalam bekerja atau bertanding.
Atas dasar pengalian-penggalian itu, “etos kerja profesional” saya asumsikan sebagai alasan atau motif untuk bekerja (dan belajar) sangat keras sekali. Saya yakin bahwa motif-motif dan alasan tersebut sangat bersifat individual dan berbeda untuk tiap tahapan hidup kita. Artinya bila saat saya masih berusia 25 – 55 tahun saya harus menjawab pertanyaan “mengapa saya suka bekerja dan belajar sangat keras” maka jawaban saya adalah;
- Sebagai wujud “Tanggung Jawab Profesional”. Bila saya sudah bersedia menerima sebuah jabatan maka saya wajib melaksanakan tugas2 saya dengan sebaik-baiknya.
- Sebagai wujud “Tanggung Jawab Pribadi”. Saya harus memastikan bahwa kesejahteraan istri dan anak-anak terutama masa depan 3 orang anak perempuan saya akan terjamin.
- Untuk mendapat kepuasan dan bisa membuktikan diri.
Tetapi, bila sekarang saat sudah berusia 80 th. saya ditanya lagi mengapa masih bekerja keras? Jawaban saya adalah; “Karena itu sudah menjadi kebiasaan saya”.
Catatan Khusus Tentang Integritas dan Kode Etik
Dari 5 (lima) buah elemen profesionalisme yang diberikan oleh Prof. David Maister diatas, yang nomor 4 (empat) berbunyi: “Memegang Teguh Integritas dan Kode Etik”. Sering sekali kita membaca dan mendengar istilah “integritas” digunakan dinegeri kita ini. Menurut Wikipedia, kata integritas (“integrity”) berasal dari kata bhs Latin “integer” yang arti sebenarnya adalah: keseluruhan atau lengkap. Integritas adalah konsistensi seseorang dalam menerapkan semua tindakan, nilai, metoda, prinsip, ekspektasi, dan yang dihasilkannya. Dalam konteks etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran atau ketepatan dari tidakan/perilaku seseorang. Orang-orang yang memiliki integritas adalah orang selalu bertindak, bersikap dan berperilaku atas dasar nilai nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip yang kata mereka, mereka pegang teguh.
Jadi bila sesorang atau satu kelompok berkata bahwa mereka anti korupsi karena itu bertententangan dengan nilai, keyakinan dan prinsip mereka maka integritas mereka akan diuji. Sebenarnya ada istilah lain dalam bahasa Inggris yaitu “hipocrisy” yang artinya adalah adalah sikap, perilaku dan tidakan yang tidak konsisten (tdk sejalan) dengan prinsip, nilai2 dan keyakinan yang mereka selalu gembar gemborkan. Orang-orang yang bersikap “hipocricy” disebut “hipokrit”. Saya tidak tahu apakah “hiprokrit” bisa di Indonesiakan menjadi “munafik”? Sebuah contoh yang barangkali cocok adalah, sebulan atau awal bulan Januari lalu, ada seorang karyawan “Cleaning Service” pada sebuah bank syariah menemukan uang sebanyak Rp.100 jt dan mengembalikan uang tersebut kepada fihak Bank.
Oleh pimpinan sebuah partai politik, karyawan tersebut dipuji setinggi langit di banyak media dan diberi hadiah pergi Umroh bersama istri dan ayahnya. Lebih jauh lagi, karyawan “cleaning service” tersebut lalu ditawari jadi “Caleg” partai tersebut karena dianggap memiliki integritas yang tinggi. Tetapi kemudian, Presiden Partai Politik itu ditahan dan diperiksa oleh KPK karena menjadi tersangka terlibat dalam kasus penyuapan proses impor sapi dan kemudian dijatuhi hukuman oleh Pengadilan karena terbukti bersalah.
Jakarta, 5 Februari 2024