Sebelum masuk ke intisari tulisan ini, kita harus sepakati dulu tentang definisi dan arti dari istilah “Profil Kompetensi” yang sekarang jadi sangat terkenal itu. Mengapa? Karena saya beberapa kali menemukan definisi yang rancu dan cenderung asal comot diberikan oleh berbagai lembaga dan individu yang berprofesi sebagai “konsultan” manajemen sumber daya manusia. Profil Kompetensi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah “daftar” yang berisi persyaratan-persyaratan yang dikelompokkan dalam:

  1. Semua jenis keahlian,
  2. Semua pengetahuan,
  3. Sikap, dan
  4. Perilaku,

yang harus dipenuhi oleh orang yang yang akan ditunjuk untuk menduduki sebuah jabatan atau melaksanakan sebuah pekerjaan tertentu, agar ia berhasil melaksanakannya, minimal memenuhi standar kinerja yang ditetapkan.

Bagi yang sedang mempelajari atau sedang menerapkan konsep kompetensi, khususnya untuk jabatan-jabatan manajerial dan eksekutif, ceritera atau kisah ini akan sangat menarik dan relevan. Menurut pengalaman saya, salah satu cara untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan kita tentang kompetensi yang dituntut oleh jabatan-jabatan tinggi, baik dalam organisasi pemerintahan, kemiliteran, kepolisian, maupun organisasi bisnis adalah dengan mempelajari riwayat hidup para tokoh atau pemimpin terkenal yang dianggap sukses dan menjadikan mereka sebagai model kompetensi.

Dalam tulisan ini, saya akan berceritera tentang seorang Jenderal Angkatan Darat A.S., bernama (Alm.) Dwight D. Eisenhower, yang kemudian menjadi Presiden A.S. dua masa jabatan (1953 – 1963). Sebenarnya saya telah berusaha mencari salah seorang tokoh nasional untuk menjadi model, tetapi saya mendapatkan informasi yang cukup dan rinci tentang mereka. Selain daripada itu, pemilihan salah satu dari tokoh tersebut dikhawatirkan akan disangka sebagai usaha untuk mempopulerkan mereka. Jenderal Eisenhower yang memiliki nama kecil “Ike” (Aik) punya riwayat hidup yang sangat menarik untuk dibaca. Tulisan ini saya susun sendiri dengan mengambil bahan dari berbagai sumber termasuk biografi sampai film-film perang klasik.

Jenderal Eisenhower adalah seorang Pahlawan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II yang perjalanan karir militernya sempat tidak terlalu mulus. Selama menjadi taruna Akademi Militer, Ike memang bukan seorang bintang. Berbeda dengan Jenderal MacArthur yang 5 tahun lebih senior darinya. MacArthur sempat menjadi Komandan  Resimen Taruna selama di Akademi Militer dan lulus dengan nilai tertinggi. MacArthur yang ganteng dan flamboyan selalu mendapat kesempatan terlibat dalam berbagai operasi militer. Pada saat diangkat sebagai KSAD pada tahun 1930 ia dicatat sebagai KSAD termuda dalam sejarah militer A.S. Ia adalah seorang “aristokrat” dalam kemiliteran karena ayahnya pun adalah seorang Letnan Jenderal AD A.S. selama perang saudara berlangsung (1863 – 1869) dan memiliki karir yang cemerlang dan sering memperoleh berbagai medali kehormatan.

Sebaliknya, Ike hanyalah anak ke 3 dari 7 orang anak lelaki warga sederhana, seorang buruh pabrik dari Abillene, Texas. Ike hanya bisa masuk Akademi Militer berkat prestasinya yang bagus dalam bidang olah raga Football yang sangat digemari di negerinya. Masuknya ke Akademi Militer pun terlambat 2 tahun karena ia harus bekerja dulu sebagai buruh pabrik bubuk gandum karena tidak punya uang untuk masuk ke universitas. Selama karirnya di AD sejak lulus Akademi Militer West Point pada tahun 1915, ia selalu diberi tugas sebagai tenaga “staf” walaupun sempat ditugaskan sebagai instruktur dan pengamat. Ia sangat kecewa karena tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam pertempuran sesungguhnya di daratan Eropa selama PD I. Antara awal tahun 1920 – 1924, sebagai Letnan I ia sempat bertugas di Panama menjadi staf dari Brigjend Fox Conner yang dikenal sebagai perwira intelektual AD A.S. Jenderal Conner adalah mentor dan pembimbing Ike untuk menjadi perwira yang juga pemikir.

Kemudian Ike ditugaskan untuk menjadi staf dari Jenderal Pershing dengan tugas menyusun sejarah perang yang melibatkan tentara A.S. Tugas itu menyebabkan ia harus sering mengunjungi beberapa negara Eropa, sebuah pengetahuan yang ternyata sangat bermanfaat baginya belasan tahun kemudian. Dari tahun 1930 sampai tahun 1939, Ike ditugaskan untuk menjadi Kepala Staf Pribadi Jendral MacArthur yang waktu itu sudah menjadi KSAD. Ike malah dibawa ke Filipina waktu MacArthur diminta menjadi penasihat AD Filipina. Dalam sebuah buku dikisahkan bagaimana selama Ike menjadi Kepala Staf-nya, MacArthur memperlakukan Ike seperti seorang ajudan, malah kadang-kadang seperti pelayan dengan cara yang dapat disebut penuh penghinaan.

Beberapa pimpinan AD dan rekan-rekannya sesama perwira mengakui Ike sebagai seorang yang sangat cermat dan mumpuni dalam merencanakan operasi-operasi militer. Selama bekerja di bawah MacArthur, Ike selalu ditugaskan melakukan semua kajian strategis, membuat rencana dan konsep, termasuk konsep pidato MacArthur. Ia juga harus sering melakukan lobby dan negosiasi dengan para pejabat di Kementerian Pertahanan, Gedung Putih (Istana), para politikus dan menghadapi media. Akhirnya ia menjadi sangat matang dalam pekerjaan tersebut, berbeda dengan MacArthur yang disebut sebagai serdadu yang “naif”.  Pada tahun 1939, Ike sudah tidak tahan lagi menjadi pembantu MacArthur dan mengundurkan diri dan dikembalikan pusat.  Pada saat itu ia masih berpangkat Mayor yang telah disandangnya selama 15 tahun. Begitu ia tiba  kembali di A.S. dari tugasnya di Filipina sebagai Kepala Staf MacArthur, maka peluang untuk memimpin pasukan lapangan didapatnya. Ia sempat dua kali ditugaskan memimpin pasukan di dua tempat yang berbeda.

Pada saat Jepang menyerang Pearl Harbor, Jenderal Marshall yang saat itu Kepala Staf Gabungan AB memanggilnya ke Washington untuk diberi tugas memimpin penyusunan perencanaan operasi perang. Kemudian dia diangkat sebagai Komandan pasukan Sekutu yang harus menaklukkan pasukan Jerman di seluruh wilayah Afrika Utara, dalam PD II, dengan pangkat Mayor Jenderal. Pada saat itu Jenderal MacArthur sudah menjadi Panglima Pasukan Sekutu melawan Jepang di wilayah Pasifik dan Asia.  Setelah sukses mengalahkan Jenderal Erwin Rommel, Panglima Pasukan Jerman di Afrika yang digelari “Serigala Gurun Pasir”, Ike diangkat menjadi Komandan  Pasukan A.S. yang bertempur di Eropa dengan pangkat Jenderal penuh. Akhirnya ia ditunjuk menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu di Eropa dengan pangkat Jenderal Besar (Bintang 5) dengan tugas memimpin pasukan gabungan dari berbagai negara yang akan memberikan pukulan terakhir kepada Hitler dan menaklukkannya. Kenaikan pangkat dari Kolonel menjadi Jenderal Bintang 1 akhirnya menjadi Bintang 5 dicapainya hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun!

Ike juga dikenal sebagai seorang pekerja sangat keras tapi juga keras pada dirinya sendiri. Sayangnya, karena stres setelah mengalami luka di bahunya sewaktu muda sehingga tidak bisa lagi bermain football, ia menjadi  perokok berat. Ketika usianya telah lanjut, tubuhnya sebenarnya agak rapuh dan digerogoti beberapa macam penyakit. Ia adalah pemimpin yang tegas dan berwibawa dan punya kemampuan membangun serta mengefektifkan tim kerja yang dipimpinnya. Diceriterakan bahwa pada hari pertama ia tiba di kota London setelah diangkat sebagai Komandan Pasukan Sekutu, pada tengah malam ia mendatangi kelab tempat para perwira Sekutu berkumpul dan menghibur diri.  Ketika ia masuk ke kelab tersebut, ia menemukan kelab itu penuh sesak oleh perwira yang sedang bergembira ria dan sebagian sudah mulai mabuk. Ia perintahkan salah seorang pengawalnya menembakkan pistol ke udara dan seketika semua yang ada di sana memperhatikan kehadirannya. Secara singkat ia minta semua orang yang ada di sana untuk bubar dan kembali ke barak masing-masing. Ia juga memerintahkan pengurus untuk menutup kelab tersebut selamanya.

Diceriterakan pula, pada saat Jenderal Patton yang dikenal sebagai komandan kavaleri yang brilian tapi berangasan menjadi berita di berbagai media di A.S. karena menempeleng dan menodongkan pistol kepada seorang prajuritnya yang sedang dirawat di RS karena dianggapnya berpura pura sakit, Ike menegur dan menasihatinya dengan baik. Jenderal Patton mengakui bersalah dan menitikkan air mata karena merasa menyesal. Menjelang hari “H” dan jam “J” dari pelaksanaan operasi pendaratan besar-besaran pasukan Sekutu di Normandy-Perancis yang adalah permulaan dari operasi besar untuk menaklukkan Jerman, beberapa komandan pasukan bawahannya sudah mulai tidak sabar, misalnya Jenderal Omar Bradley, Jenderal Patton, dan lain lain. Ike menegaskan bahwa ia tidak mau ada anggota pasukan yang mati sia-sia karena tenggelam dihantam ombak yang dikenal ganas, bukan karena bertempur. Karena itu, sejak perencanaan operasi ia telah meminta diberi beberapa perwira yang ilmuwan berlatar belakang bidang ramalan cuaca. Keputusan final pelaksanaan pendaratan ia buat berdasarkan pada perhitungan para perwira tersebut tentang waktu di mana gelombang di selat Channel agak tenang, bukan pada ramalan paranormal. Ternyata keputusannya tepat sekali.

Kompetensi lain yang diakui oleh banyak orang adalah dalam hal membangun dan memimpin tim yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepribadian dan latar belakang terutama budaya nasional yang berbeda. Untuk melakukan serangan terakhir mengalahkan Hitler dan sekutunya, ia harus menyatukan pendapat para pemimpin pemerintahan dan militer beberapa negara Eropa yang menjadi sekutu A.S. seperti PM Churchil (Inggris), Jenderal Charles de Gaulle (Perancis) dan Jenderal Montgomerry (Inggris) yang dikenal sebagai tokoh-tokoh legendaris dan punya “kebanggaan” diri yang tinggi. Setelah perang selesai, Ike kembali ke A.S. dan dielu-elukan sebagai pahlawan besar. Ia sempat cuti dari A.D. Untuk menjadi Rektor Universitas Columbia tapi tahun 1950 kembali ke tugas aktif untuk menjadi Panglima Pasukan NATO berkedudukan di Eropa.

Sewaktu ia bertugas di Eropa, ia dibujuk oleh Partai Republik untuk menjadi calon Presiden pada tahun 1953 dan ternyata terpilih. Dalam pemilihan presiden tersebut ia mengalahkan Jenderal MacArthur yang pernah menjadi “boss”-nya selama 9 tahun (yaitu saat di mana ia banyak belajar menghadapi atasan yang “sulit”). Tahun 1957 Eisenhower mendapat serangan jantung cukup serius tapi dinyatakan sembuh. Kemudian ia maju lagi dalam pemilihan presiden untuk masa jabatan ke 2 kali dan terpilih lagi dengan suara yang lebih besar dari pemilihan tahun 1953. Kumpulan dari semua kompetensi yang dimilikinya ternyata sangat “pas” dan telah memudahkannya memperoleh sukses dalam melaksanakan tugas-tugas besar yang diembannya dan juga selama menjadi Presiden Amerika Serikat ke 34.

Dari ceritera tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk jabatan-jabatan sangat senior dalam organisasi, apa yang telah ditulis oleh para pakar, tepat sekali. Kompetensi-kompetensi utama yang dituntut oleh jabatan senior adalah:

  1. Menetapkan visi (gambaran makro tentang masa depan yang akan dihadapi dan diinginkan) secara tepat dan merumuskan strategi untuk mencapainya. Bukan lagi tentang cara memenangkan tiap pertempuran atau perang seperti yang dibanggakan oleh Jenderal Mac Arthur.
  2. Kemampuan mempersatukan anggota-anggota timnya yang berbeda latar belakang dan keahlian kemudian mencapai konsensus yang mengikat semuanya.
  3. Kemampuan untuk mempengaruhi dan meyakinkan atasan, stakeholder yang memiliki kekuasaan (politikus), dan masyarakat umum dan khusus (misalnya konsumen) baik secara langsung maupun melalui media.
  4. Pekerja keras, komit, tegas dan berdisiplin, termasuk keras pada dirinya sendiri.
  5. Tentu saja memiliki integritas yang tidak diragukan.

Mudah-mudahan bermanfaat.