Sebagai praktisi dan pembelajar ilmu manajemen, komunikasi adalah satu dari beberapa topik yang menarik minat saya. Topik-topik terkait komunikasi, termasuk komunikasi antar individu, komunikasi individu dengan “massa” dan komunikasi lintas budaya suku dan bangsa banyak saya pikirkan, renungkan dan saya pelajari. Catatan ringkas ini merupakan beberapa contoh dari apa yang telah saya amati dan pelejari.
KOMUNIKASI EFEKTIF
Apa itu komunikasi efektif? Banyak orator, da’i dan motivator publik yang bisa disebut sebagai komunikator hebat. Mereka piawai dalam menyampaikan pesan dan gagasan secara jelas dan mudah dicerna oleh pendengar mereka yang bisa sampai ratusan bahkan ribuan jumlahnya. Tetapi, apakah komunikasi yang mereka lakukan efektif? Itu soal lain lagi. Sebuah proses komunikasi disebut efektif bila selama dan setelah proses komunikasi selesai, terjadi 3 (tiga) hal berikut:
- Pesan yang disampaikan oleh penyampai pesan dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh penerima pesan;
- Penerima pesan menyetujui/menyukai isi pesan tersebut dengan penuh;
- Penerima pesan melaksanakan apa yang disampaikan oleh pengirim pesan yang bisa berarti melaksanakan apa yang diminta oleh pengirim pesan melalui pesannya.
Dalam konteks komunikasi antara orator politik, da’i dan profesi lain yang sejenis dengan pendengar mereka sangat sulit diketahui apakah komunikasi yang terjadi itu benar-benar efektif dalam arti bahwa 3(tiga) hal yang disebut di atas itu benar-benar telah terjadi. Dalam banyak kasus mungkin juga tidak ada yang peduli dengan hal itu.
Tetapi dalam konteks komunikasi organisasional situasinya sangat berbeda. Komunikasi yang terjadi cenderung dan didorong untuk bersifat interaktif dalam arti bahwa komunikasi itu terjadi dua arah dan akan terjadi terus menerus baik secara formal maupun informal. Efektivitas dari komunikasi yang dilakukan dapat dan biasanya memang harus segera dievaluasi dari apa yang telah terjadi setelah komunikasi itu berlangsung. Efektivitas dalam melakukan komunikasi adalah kunci sukses dalam menjalankan organisasi. Lalu, apa saja kunci sukses bagi komunikasi organisasional agar efektif? Tentang hal itu akan dijelaskan di bawah ini.
KUNCI SUKSES UNTUK KOMUNIKASI EFEKTIF.
Ada 4(empat) buah kunci sukses untuk komunikasi efektif dalam organisasi sebenarnya berada pada tubuh kita sendiri. Mereka adalah:
- HATI. Hati mencerminkan perasaan. Kondisi hati (perasaan) yang positif akan menghasilkan komunikasi yang tulus/sungguh-sungguh (sincere) bukan yang bersifat manipulatif atau akting panggung. Selain itu, orang bijak akan menahan diri (cooling down) untuk tidak membuat pernyataan dan menjawab pertanyaan yang mungkin keliru dan kelak harus disesalinya karena sulit untuk ditarik kembali bila perasaan mereka sedang gundah, galau dan “panas”.
- MATA. Kedua mata kita harus digunakan untuk mengamati dan menilai situasi saat kita berkomunikasi, termasuk gerak tubuh, mata dan wajah lawan bicara kita. Menatap mata dan wajah lawan bicara dalam komunikasi memberi indikasi bahwa kita memperhatikan apa yang disampaikan oleh lawan bicara kita. Menatap mata lawan bicara selama berkomunikasi sudah menjadi etika pergaulan internasional.
- TELINGA. Tuhan memberi kita dua telinga agar kita mau lebih banyak mendengarkan. Mendengarkan dari dua sisi dan dua arah apa yang dibutuhkan klien, calon pembeli, atasan, bawahan, rekan, pasien, dll atau untuk mencoba menyimpulkan permasalahan yang sedang dihadapi mereka. Kata kuncinya adalah “mendengarkan” bukan mendengar. Mendengarkan mengindikasikan bahwa kita secara sengaja dan aktif menyimak apa yang orang lain katakan. Mendengar bisa berarti tidak sengaja.
- MULUT. Sebaliknya, Tuhan hanya memberi kita SATU buah mulut. Artinya, seorang komunikator efektif belum tentu yang selalu berbicara. Ia justru akan berusaha untuk lebih banyak BERTANYA dan mendengarkan. Bertanya adalah alat yang paling efektif utk memperoleh data dan informasi akurat dan lengkap yang kita perlukan untuk membuat kesimpulan yang tepat. Cara bertanya yang tepat juga dapat digunakan untuk memotivasi lawan bicara agar mau lebih terbuka menyampaikan buah pikirannya atau isi hatinya.
GUNAKAN MULUT UNTUK BERTANYA DAN MEMINTA PENJELASAN TAMBAHAN
Saya tidak pernah lupa sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1987 saat saya baru saja dipilih oleh teman-teman menjadi Ketua Umum PMPI, (yang sekarang disebut PMSM). PMPI menyelenggarakan sebuah seminar bertempat di Ruang Serbaguna Gedung Depnaker RI di Jakarta. Alm. Prof. Selo Sumarjan Ph.D, sosiolog dari UGM dan mantan Sekretaris Pribadi almarhum Sultan Hamengku Buwono IX, kami undang sebagai pembicara utama dan saya bertindak sebagai Ketua sekaligus moderator untuk sesi beliau. Topik yang beliau sampaikan dan cara menyampaikannya sangat menarik bagi semua peserta walaupun beliau bukan eksekutif bisnis.
Pada saat beliau akan menutup ceramahnya dan sebelum saya memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya atau memberikan tanggapan, beliau berceritera sebagai berikut: “Saya amati, orang Jepang sangat pelit berbagi pengetahuan dan ilmu. Mereka lebih berusaha menggali ilmu orang lain dan menyimpannya. Buktinya adalah sebagai berikut: beberapa kali saya diundang untuk berbicara di sana. Setiap kali masuk pada sesi tanya jawab, yang saya dengar adalah hanya pertanyaan. Mereka minta penjelasan tambahan atau penjelasan ulang tentang suatu teori atau konsep”.
Kemudian beliau melanjutkan: “Situasi tersebut berbeda dengan Indonesia. Hampir tiap seminar atau konferensi dijadikan kesempatan oleh orang kita untuk pamer ilmu dan pengetahuan. Mereka bukan bertanya tetapi lebih suka menyampaikan pendapat dan apa yang mereka tahu tentang topik yang dibahas. Saya yakin, itu adalah salah satu sebab mengapa orang Jepang bisa sangat cepat maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Ceritera Prof. Selo membuat yang hadir, termasuk saya, tersipu-sipu dan mereka yang sudah siap memamerkan pengetahuannya urung melakukannya.
LEBIH BANYAK MENGGUNAKAN TELINGA DARIPADA MULUT
Di bawah ini adalah ceritera menarik lain dari Jepang yang saya baca dalam sebuah buku tentang komunikasi berjudul: “How to be the Lion of the Podium”.
Seorang Profesor Theologi A.S. yang tertarik mempelajari falsafah Zen, sebuah sekte Budha, berkunjung ke Biara Zen terbesar di Jepang dan diterima oleh Pendeta Kepala. Profesor tersebut didampingi oleh seorang penerjemah. Setelah mereka berbincang selama kira-kira satu jam, tiba-tiba Profesor itu berkata : “Maaf Pak Pendeta, rasanya sudah satu jam kita berbincang, tapi saya kok tetap belum bisa memahami falsafah sekte anda?”. Pendeta Kepala menarik nafas panjang lalu sambil tersenyum, tanpa menjawab pertanyaan profesor ia mengambil poci air teh dan menuangkannya ke cangkir profesor yang isinya belum sempat diminumnya. Profesor mencegah: “Oh, jangan, nanti air teh akan tertumpah”. Tapi Pendeta tetap menumpahkan air sampai meluber ke meja dan sambil tersenyum berkata: “Itulah yang terjadi antara kita selama satu jam tadi.
“Saya terus menuang air tapi anda tidak berusaha meminumnya. Maksud saya, saya berusaha menjelaskan dengan panjang lebar apa yang kami percayai, yakini dan lakukan tapi anda sama sekali tidak berusaha menyimak. Anda lebih banyak memakai mulut anda untuk menyela dengan mengajukan pendapat dan argumentasi yang anda sudah siapkan lama. Padahal bila untuk sementara anda kosongkan saja dulu kepala anda dan menyimak dengan baik penjelasan yang saya berikan, semua yang telah anda pelajari dan yakini selama puluhan tahun juga tidak akan hilang begitu saja dari otak anda” kata pendeta sambil tersenyum. Profesor tersipu malu dan meminta maaf. Ia sadar bahwa selama satu jam berbincang, ia tidak bersikap sebagai pendengar yang baik. Akhirnya Profesor dan Pendeta melanjutkan lagi perbincangan mereka selama satu jam dalam suasana yang berbeda dan lebih produktif.
Bila dalam sebuah lokakarya atau rapat, ada seorang peserta yang “ngeyel” maka saya langsung ingat pada ceritera di atas.
Mudah-mudahan bermanfaat!
Kera yang paling kiri tidak menggunakan matanya, yang di tengah tidak mau menggunakan telinganya untuk mendengarkan dan yang paling kanan tidak menggunakan mulutmya untuk bertanya.