Saat Blog ini baru dibuat, saya sempat memasukkan sebuah tulisan tentang “Kecerdasan Budaya”. Dalam tulisan tersebut saya beberapa kali menyebut  istilah “lintas budaya”, “konflik budaya”, “interaksi budaya” dan sebagainya. Tentunya ada di antara pembaca yang mulai bertanya apa sebenarnya yang dimaksud dengan budaya, khususnya dalam konteks tulisan itu? Mungkin tidak semua orang punya pemahaman yang sama tentang arti Budaya. Saya sendiri baru kira-kira 20 tahun lalu, baru mendalami apa sebenarnya yang dimaksud dengan budaya. Tulisan ini akan sedikit bergaya ilmiah karena tentunya saya harus mendukung apa yang saya kemukakan dengan rujukan (referensi) yang bisa dipertanggung jawabkan. Tapi saya akan usahakan agar tetap mudah dan dianggap perlu dibaca.

APA ITU BUDAYA?
Pada bulan Agustus tahun 1998 saya membantu Dr. Neal D. Goodman, seorang pelatih interaksi lintas budaya melaksanakan pelatihan Pembentukan Team Kerja Multi Budaya untuk para manajer dan tenaga profesional Indonesia dan  asing yang bekerja pada sebuah perusahaan yang bergerak dalam sektor migas asal USA. Sewaktu para peserta diminta menjabarkan apa arti budaya,  jawaban mereka seragam yaitu; “budaya ada hubungannya dengan tarian daerah, kesenian, pakaian tradisional dan kebiasaan-kebiasaan lain yang kasat mata”. Jawaban mereka sama sekali  tidak salah. Dalam bahasa Indonesia memang ada dua kata terkait budaya yang biasa digunakan yaitu “budaya” dan “kebudayaan”. Budaya dalam arti kebudayaan memang mencakup hal-hal di atas.  Tetapi, hanya sedikit orang yang memahami arti dan elemen budaya yang lebih dalam.

Masyarakat awam, dan sayangnya juga banyak, pejabat pemerintah, politisi dan tokoh masyarakat yang mengartikan budaya sebagai  “produk-produk budaya” seperti bangunan, kerajinan, patung, pakaian, makanan, seni tari dan musik dan berbagai jenis  upacara. Makanya kita sering melihat spanduk berbunyi; “Cintailah Budaya Sendiri” tapi gambar yang dipajang adalah foto anak-anak berpakaian adat dan orang sedang menari. Pemerintah Indonesia pun agaknya termasuk kelompok yang terakhir ini. Misalnya pembentukan Departemen Pariwisata, Kesenian, dan Kebudayaan di era Presiden SBY (saat ini Dirjen Kebudayaan sudah kembali ke Kementrian Dik-Nas lagi). Semua bisa menebak apa arti ‘Kebudayaan’ dalam nama departemen (kementrian)  tersebut.

Dalam bahasa Inggris, hanya ada satu kata untuk budaya yaitu “culture” dan itupun seringkali dipahami secara berbeda. Definisi budaya tidak hanya satu. Prof. Nancy Adler, dalam bukunya (1991, hal. 14), para pakar antropologi pun tidak hanya memberikan arti kebudayaan secara tunggal. Salah satu definisi kebudayaan menurut mereka adalah: “suatu keutuhan yang sifatnya kompleks, dimana pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, tata cara, dan kebiasaan ataupun kemampuan lain termasuk di dalamnya, yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”

Prof. Adler mengemukakan bahwa dua pakar yaitu  Kroeber dan Kluckhorn telah  memberikan definisi yang paling lengkap dan diterima keabsahannya oleh para ilmuwan tetapi saya tidak akan kutip di sini karena terlalu ruwet dan jelimet bagi kita yang orang “awam”.
Tetapi, dengan berpegang kepada definisi tersebut diatas Prof. Adler selanjutnya mengatakan bahwa budaya atau kebudayaan itu harus:
• (i)….dimiliki bersama oleh semua atau hampir semua anggota suatu kelompok sosial, atau
• (ii)….diwariskan generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam kelompok tersebut;
• (iii)…..sebagai dasar atau  acuan untuk moral, hukum, dan tata cara yang menentukan perilaku

Selanjutnya, Prof. Geert Hofstede (Belanda) yang pada tahun 1983 saat melakukan penelitian disponsori oleh IBM juga berkunjung ke Indonesia memberikan definisi budaya sebagai:
– “pembudidayaan pola pikir secara kolektif yang akhirnya membedakan para anggota kelompok orang tertentu dari kelompok lainnya….interaksi menyeluruh dari berbagai karakter umum yang mempengaruhi reaksi suatu kelompok terhadap lingkungannya.”

Prof. Schein (1985):
“budaya adalah bagaimana sekelompok orang memecahkan masalah mereka.”,

Prof. Robbins (1990, hal.483):
“nilai-nilai dan praktek utama yang memberikan warna pada karakter suatu negara (bangsa?).

Prof. Kuntjaraningrat, Alm. (1997, hal.5). Budaya adalah “keseluruhan upaya dan pemikiran manusia yang dibiasakan melalui proses belajar, termasuk di dalamnya hasil-hasil dari upaya dan pemikiran tersebut.” Kata ‘culture’ berasal dari bahasa Latin ‘colere’ yang berarti ‘melakukan atau menggarap’ karena berkaitan dengan persiapan bertanam dan aktivitas pertanian lainnya. Ia selanjutnya mengatakan bahwa “budaya” atau “kebudayaan” dapat digambarkan seperti sebuah piramida berlapis tiga. Lapisan teratas adalah hal-hal yang dapat dilihat dengan kasat mata seperti bentuk bangunan, pakaian, tarian, musik, teknologi, dan barang-barang lain. Lapisan tengah adalah perilaku, gerik gerik dan adat istiadat yang juga seringkali dapat dilihat sedangkan bagian bawah adalah kepercayaan-kepercayaan, asusmsi dan nilai-nilai yang mendasari lapisan-lapisan yang di atasnya”.

DR. Von Trompenaars (1994, hal.8):
“kebudayaan adalah seperti bawang yang berlapis-lapis. Untuk memahaminya, kita harus mau mengupas lapisan-lapisan tersebut satu per satu. Lapisan luarnya adalah mirip dengan lapisan teratas dari piramida Kuncaraningrat sedangkan lapisan dalam terdapat nilai dan norma yang lebih sulit untuk diidentifikasi”.

DR. Neal Goodman (1998, slide):
“budaya atau kebudayaan bisa digambarkan sebagai sebuah  gunung es. Puncak dari gunung es tersebut terdiri atas elemen-elemen kebudayaan seperti tata cara, tradisi, makanan, perilaku, kesenian, dan hal-hal lain yang mudah dikenali atau kasat mata. Di bawah permukaan air terdapat ratusan elemen, termasuk didalamnya dimensi-dimensi budaya, nilai, kepercayaan, perilaku, persepsi, dan lain-lain yang tak terlihat. Karena berada “dibawah air” maka  keberadaannya seringkali  tidak disadari oleh banyak orang (lihat Ilustrasi no.1) di bawah.

LALU APA ITU NILAI-NILAI  BUDAYA (CULTURAL VALUES)?

Dalam bagian awal saya mengemukakan bahwa para antropolog, sosiolog dan  psikolog membedakan budaya  dan “kebudayaan”. Menurut  mereka, budaya itu dapat diibaratkan bawang. Lapisan-lapisan luar adalah berbagai “produk” budaya yang disebutkan di atas dan sikap serta perilaku anggota masyarakat, suku atau bangsa pemilik budaya tersebut. Lapisan lapisan yang terdalam adalah “KEYAKINAN” dan “NILAI-NILAI” yang dipegang teguh oleh semua anggota masyarakat atau kelompok. Nilai dalam konteks ini tidak ada kaitan dengan angka atau harga. Nilai adalah sebuah sikap, pendirian atau cara yang diberi nilai tinggi oleh seseorang, sebuah suku, kelompok atau bangsa. Keyakinan dan Nilai kemudian
menjadi dasar atau alasan untuk menghasilkan “produk-produk” budaya dan untuk bersikap serta berperilaku seperti yang selalu mereka tunjukan. Ini adalah pemahaman yang lebih tepat

Kemudian, para pakar dan praktisi manajemen di semua negara juga menganut pemahaman yang sama. Bagi mereka, budaya dalam kontek organisasi dan manajeman adalah sejumlah “nilai” yang dipegang teguh orang-orang  yang ada dalam organisasi tersebut serta sikap dan perilaku yang mereka  tunjukan sehari-hari terhadap  rekan, atasan, bawahan dan orang “luar” yang mereka harus layani. Itulah yang kemudian dikenal sebagai “budaya organisasi”. Sebuah hal yang menarik bahwa anggota POLRI sudah menggunakan slogan “Budayakan Disiplin Berlalu Lintas”. Kata “budaya” dalam slogan itu tentunya merujuk ke sikap dan tingkah laku, bukan pada kesenian dan upacara upacara.

“Nilai-nilai Budaya atau Kultural” adalah nilai-nilai  yang disepakati oleh semua anggota masyarakat, suku atau bangsa. Sedangkan yang dimaksud dengan “Sistem Nilai Kultural” pada dasarnya adalah urutan dari semua nilai yang dipegang oleh sebuah kelompok, suku atau bangsa berdasarkan derajat penting nilai-nilai tersebut. Sistem Nilai Individu bisa berbeda tapi bisa juga sama dengan Sistem Nilai Kultural. Sistem Nilai Kultural suatu bangsa akan berbeda dengan bangsa lain walaupun bisa  ada 1 (satu) atau 2 (dua) nilai yang derajatnya sama. Perbedaan itu disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain sejarah bangsa dan negara masing-masing, kondisi geografis, sistem politik, agama yang dominan dan tingkat pendidikan warganya.

Dibawah ini ada 4 (empat) buah contoh untuk urutan 5 (lima) buah nilai kultural yang menempati peringkat  tertinggi yang saya peroleh dari DR. Elashmawi pakar komunikasi lintas budaya dari Amerika Serikat. Apa dasar yang digunakan oleh DR. Farid Elashmawi atau darimana beliau memperolehnya saya tidak sempat mencatatnya.

INDONESIA;
1. Hubungan
2. Keamanan Keluarga
3. Status Sosial
4. Keharmonisan Kelompok
5. Spiritualisme

JEPANG
1. Hubungan
2. Keharmonisan Kelompok
3. Keamanan Keluarga
4. Kebebasan
5. Kerjasama

JERMAN
1. Prestasi Individu
2. Ketepatan Waktu
3. Kesempurnaan
4. Ketertiban
5. Privasi

AMERIKA SERIKAT
1. Kesetaraan
2. Kebebasan
3. Keterbukaan
4. Kemandirian
5. Kerjasama

Tabel di atas menunjukan   perbedaan dan persamaan antara dua bangsa “Barat” yaitu bangsa Amerika Serikat dan Jerman dan juga antara dua bangsa itu dengan dua bangsa Asia yaitu Jepang dan Indonesia. Pada Tabel yang menampilkan peringkat  tertinggi 5 buah nilai yang dipilih oleh bangsa Indonesia terlihat satu hal yang menarik yaitu bahwa STATUS SOSIAL menjadi salah satunya. Itu menjelaskan tentang perbedaan sikap dan perilaku yang ditunjukan oleh bangsa kita saat berinteraksi antar sesama. Dengan mengetahui bahwa ada perbedaan dalam tata nilai masing2, tiap bangsa/suku akan paham mengapa bangsa/suku lain mungkin bereaksi (bersikap atau berperilaku) berbeda ketika dihadapkan pada sebuah situasi yang sebenarnya sama. Dengan demikian maka seharusnya kesalahpahaman dan konflik tidak perlu terjadi. lihat ilustrasi No.2

Bagaimana pengaruh nilai-nilai budaya terhadap sikap dan perilaku manusia dengan contoh-contohnya dapat dibaca dalam buku saya yang berjudul “Tenaga Profesional Berkelas Global”. Buku itu diterbitkan oleh  PT Intipesan Tahun 2016.

DAFTAR KEPUSTAKAAN:
Bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan tentang Budaya bangsa & Budaya organisasi silahkan membaca buku-buku ini.

  • Adler,   Nancy  J.   (1991).   International  Dimension  Of  Organizational Behavior (2nd Edition).  Boston : PWS – Kent Publishing Company.
  • Dananjaya, Andreas  A.  (1986).   Sistim Nilai Manajer Indonesia.   Jakarta:  PT. Pustaka Binaman Pressindo.
  • Deal,  Terence  E.  &   Kennedy, Allen  A.  ( 1982). Corporate Culture : England,  Penguin Books Ltd.
  • Dresser, Norine (1996). Multicultural Manners.  Canada: John Wiley & Sons.
  • Elashmawi,  Farid.  &   Harris,  Philip  R.  (1993).   Multicultural Management  New Skills for Global Success.    Texas:  Gulf  Publishing Company.
  • Franz Magnis-Suseno (1996), Etika Jawa (Javanese Ethics). Jakarta :  P.T. Gramedia Pustaka Utama.
  • Goodman, Neal D.  “ Improving Intercultural Interactions:  Models For Cross – cultural Training Program”  Published  By Richard W. Brislin and Yomoko Yoshida, Sage Publications, Thousand Oaks, California, 1994.
  • Kuntjaraningrat, (1997) Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
  • Lewis,  Richard   D.  (1996).  When Cultures Collide, Managing Successfully Across  Cultures.   London :  Nicholas  Brealey  Publishing
  • Lubis, Mochtar.  (1990).  INDONESIA, Land Under The Rainbow.  Singapore, Oxford University Press.
  • Maddox,  Robert  C. (1993). Cross Cultural Problems  in InternationalBusiness; The Role of The Cultural Integration Function.   Westport, CT  :  Quorum Books
  • Mann, Richard.  (1997).  Expats In Indonesia, Guide To Living Conditions And Cost.  England:  Gateway Books.
  • Mann, Richard. (1998).  The Culture Of Business In Indonesia. England: Gateway Books.
  • Moran,  Robert T.  & Harris,  Phillip R. (1982).  Managing Cultural Synergy. Texas :  Gulf  Publishing  Company
  • Moran,   Robert T. & Harris,  Phillip R. (1982).  Managing Cultural Conflict. Texas  :  Gulf  Publishing Company
  • PE/A, Consulting Group   “What is The Value Of Intercultural Training?”,  a paper presented to a limited audience, Jakarta, 1995.
  • Robbins,  Stephen   P.  ( 1990 ).   Organizational Behavior:  Concepts, Controversies  and Applications.  ( 4th Edition ).  India  :  Prentice – Hall Inc.
  • Schein, E. (1985). Organization Culture And Leadership.  San Fransisco, USA : Jossey- Baas
  • Schuetzendorf,  Michael. (1989)  “Aspects of The Indonesian Culture Which Could Become  Restraining Factors  In Human Resources  Development of  Indonesia”. An unpublished paper, Jakarta, March  1989.
  • Sheridan, Greg.  (1999)  “Asian Values Western Dreams; Undertsnading The New Asia”,  Sydney, Australia : Allen & Unwin
  • Trompenaars, Fons. (1994)  Riding The Waves Of Culture –  Understanding Diversity In Global Business. London, England: The economist Books